ANALISIS  HUKUM  PUTUSAN
  MAHKAMAH KONSTITUSI  
  Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tgl 13 FEB. 2012,  
  Tentang Status Anak Luar Kawin
 
Oleh: Syafran Sofyan, SH,SpN,MHum
    
  Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI 
 
  I.    UMUM : 
           
  Mahkamah  Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
  ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
  bersama-sama dengan Mahkamah Agung.  
  Pasal 24 ayat 2 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (UUD
  NRI TH 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
  Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
  umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
  peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). 
  Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
  pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman
  merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
  menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah
  suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili
  perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD
  1945. 
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD
  NRI TH 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai
  dengan d UU 24/2003, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut : 
  a.    menguji undang-undang terhadap UUD NRI Th.1945; 
  b.    memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
  kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945; 
  c.    memutus pembubaran partai politik; 
  d.    memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 
 
  II.    PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA
    
             Nomor
  46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012. 
           
  Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU
  No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.
  Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono
  agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara
  di era Soeharto memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum
  Moerdiono. 
Putusan
  Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi
  pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara
  permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 
Berdasarkan Pasal  51 ayat 1
  UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki
  kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
  kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
   
  a.    perorangan warga Negara Indonesia; 
  b.    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
  sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
  Indonesia yang diatur dalam undang-undang; 
  c.    badan hukum public atau privat; atau 
  d.    lembaga Negara 
Dengan
  demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Th.1945
  harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu : 
1.  
   kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1
  UU 24/2003 
  2.    kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
  diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang
  dimohonkan pengujian. 
 Pemohon mengajukan uji materiil terhadap : 
   
    
UUD NRI Th. 1945 
 | 
    
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan 
 | 
    
    
Pasal 28 B ayat 1 
“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
    keturunan melalui perkawinan yang sah “ 
 | 
    
Pasal 2 ayat 2 
“ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
    perundang-undangan yang berlaku “ 
 | 
    
    
Pasal 28 B ayat 2 
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
    dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
    diskriminasi “ 
 | 
    
Pasal 43 ayat 1 
“ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
    mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “ 
 | 
    
    
Pasal 28 D ayat 1 
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
    perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
    hadapan hukum “ 
 | 
    
  
 | 
    
 
       Mahkamah
  Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan sebagian permohonan para
  pemohon.  Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan
  yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi. 
           Pencatatan secara administratif
  yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum
  penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang
  berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat
  dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga
  perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul
  dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya
  dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai
  akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak
  diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran
  yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55
  UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan
  dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan
  pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif
  dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. 
          Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan
  dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
  semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga
  didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki
  tersebut sebagai bapak. 
         
  Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur / administrasi
  perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika
  tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar
  perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar
  kehendaknya. 
      Komisi perlindungan anak Indonesia
  (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta
  kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau
  tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak
  dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK
  beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak
  diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan. 
 
            Menurut ketua Komnas
  perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang
  Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah
  dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah
  untuk memperoleh hak keperdataannya. 
        “Jadi putusan MK kemarin memberikan
  hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya
  itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak
  mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya,
  nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan
  keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus
  diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan.
  Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat
  mendasar dan konstitusional”. 
          Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar
  Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa
  menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak. 
  Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali
  mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat.
  Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap
  status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
  terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
  dipersengketakan. 
             Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU
  Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
  mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
  laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
  dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
  darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. 
 “Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak
  luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris
  sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah?. 
           
                  Dari
  sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris,
  hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris
  diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang
  menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua
  orangtuanya. Ada kekhawatiran didalam praktik dimasyarakat, tiba-tiba akan
  bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak
  luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian
  dari warisan tersebut. 
  
   
    
Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan 
 | 
    
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 
 | 
    
    
Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris
    yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan
    bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab
    Undang-Undang Hukum Perdata.  
Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat
    bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan.
    Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal
    mendapat 1/3 bagian waris.  
Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli
    waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap
    akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang
    ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat
    dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.  
Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli
    waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar
    anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris
    tidak dapat dibuat. 
 | 
    
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat
    membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah
    dengan ayahnya.  
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan
    anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya
    dengan ahli waris lainnya. 
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga
    masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan
    ia akan mendapatkan warisannya.  
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya
    pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal
    keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar
    kawin ini adalah anak dari pewaris. 
Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi
    permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris. 
 | 
    
 
  
III.  
   PEMBAHASAN 
A.  
   Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
  dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Anak luar kawin yang
  diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang
  diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak
  luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti
  Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga)
  kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan
  penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283
  KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak
  mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata. 
         Pembagian seperti tersebut
  dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
  ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status
  anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang
  sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi
  kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata, dapat
  diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang
  yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda. 
          Demikian pula berdasarkan ketentuan
  Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda
  dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang,
  undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti,
  kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling
  menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak
  sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti
  ini tidak  diberikan untuk anak zina. 
          Perbedaan antara anak luar kawin
  dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang
  menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau
  kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan
  badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau
  tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina
  adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang
  laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat
  perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang
  dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang
  antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling
  menikahi (Pasal 31 KUHPerdata). 
          Dengan demikian anak luar kawin
  dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara
  seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat
  perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi,
  anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal
  280 KUHPerdata). 
  Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran,
  kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah).
  Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal
  280 KUHPerdata). 
  Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan
  terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan
  bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan
  "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak
  ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan
  atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya.
  Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak
  itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa
  pun. 
  Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan,
  bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas
  adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan
  dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang
  mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan
  demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti
  yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum
  secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan
  pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil
  dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut anak sah berada di bawah
  kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan
  anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian
  sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata. 
 Untuk
  dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat
  sebagai berikut : 
a.  
   Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus
  memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli
  waris melalui  pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam
  Pasal 874 KUHPerdata. 
  b.    Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah
  ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh
  Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan
  seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si
  anak menghendakinya. 
  
          Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata
  memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu
  hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi
  lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris.
  Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin
  baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih
  lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya
  memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam
  Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang
  dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan
  batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan
  bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan
  di luar perkawinan yang sah. 
UU
  No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu: 
  a.    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
  hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya; 
b.  
   Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam
  Peraturan Pemerintah. 
         Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal
  4 menyebutkanPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
  sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
  Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
  hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” 
         Namun perkawinan tersebut harus
  dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil
  bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang
  diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan
  untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan
  kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya. 
         UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2
  menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
  perundang-undangan yang berlaku”. 
 Begitu
  pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: 
a.  
   Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
  perkawinan harus dicatat. 
  b.    Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan
  oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22
  Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. 
         Walaupun pernikahan siri dianggap sah
  secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan
  pengantin sudah cukup umur; namun perkawinan tersebut juga harus sah secara
  hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak
  yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum
  merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan
  hukum dengan ibu yang melahirkannya. 
              Dari lima rukun nikah itu
  tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan
  harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits
  Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika
  pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya  tetap dianggap anak
  sah. 
          Sebuah Hadits Sahih yang
  diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
  bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan
  pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu,
  dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki
  tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya.
  Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak
  terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan
  sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena
  perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya. 
 
              Pasal 42 Undang-Undang No.
  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu
  anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan
  Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau
  ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
  Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat
  menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau
  ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
  Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat
  menentukan kedudukan hukum dari anak-anak. 
 B.  
   Kedudukan Anak Luar Kawin 
           Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata,
  seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang
  tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak
  luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki
  hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya. 
  Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan
  anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan
  keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.
  1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa
  Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu
  peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh
  pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun
  1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini
  KUHPerdata. 
 
  Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang
  No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk
  menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang
  tuanya. 
Pengakuan
  terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan : 
1.  
   Pengakuan sukarela 
          
  Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh
  seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya
  (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan
  adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak
  (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata. 
Pengakuan
  sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281
  KUHPerdata, yaitu : 
a.  
   Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata,
  untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau
  kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan
  sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut. 
  
  b.    Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan
  pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta
  perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272
  KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi
  seorang anak sah. 
c.  
   Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik
  seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata. 
 d.    Dengan akta yang dibuat
  oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan
  sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2)
  KUHPerdata. 
 2.  
   Pengakuan Paksaan 
        Pengakuan anak luar kawin dapat pula
  terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar
  perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya
  kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu
  diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289
  KUHPerdata. 
           Anak luar kawin yang dapat
  diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir
  dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara
  mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak
  sumbang). 
        Menurut KUHPerdata ahli waris yang
  berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : 
a.    Golongan I :
  Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di
  dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata. 
  b.    Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara
  atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855,
  856, dan 857 KUHPerdata. 
  c.    Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis
  lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858
  ayat (1) KUHPerdata. 
  d.    Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping
  sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat
  (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata. 
 C.    Peran
  Notaris dalam Pembuatan Akta Warisan untuk Anak Luar Kawin 
  Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan
  sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah dengan membuat: 
a.  
   Akta Pembatalan, merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris
  untuk membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah pernah dibuat sebelumnya
  dan untuk kemudian dibuat Akta Pembagian Waris yang baru, dalam akta ini anak
  luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris, dicantumkan sebagai
  ahli waris dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang; 
b.  
   Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk
  menyelesaikan sengketa waris dengan cara bermufakatan, dan membagi waris
  menurut undang-undang. 
  c.    Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta
  ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya
  terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan Akta Pembagian Waris
  tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta Perjanjian
  Pelepasan Hak Tuntutan, dibuat tanpa membatalkan Akta Pembagian Waris yang
  telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat
  pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan
  tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini
  juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan kompensasi dari
  ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris. 
IV.  
   Penutup. 
        Dengan adanya putusan Mahkamah
  Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis)
  sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak
  biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan
  syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak
  biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun
  demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari
  anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut saya dalam hal ini tetap perlu
  dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut
  sebagai ahli waris yang sah. 
       
  Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat
  sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan
  perkawinan menurut agama dan kepercayaannya  sehingga tidak menimbulkan
  pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan
  diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud. 
  
 | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar