ANALISIS HUKUM PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tgl 13 FEB. 2012,
Tentang Status Anak Luar Kawin
Oleh: Syafran Sofyan, SH,SpN,MHum
Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI
I. UMUM :
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Pasal 24 ayat 2 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (UUD
NRI TH 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah
suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili
perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD
1945.
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD
NRI TH 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai
dengan d UU 24/2003, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
a. menguji undang-undang terhadap UUD NRI Th.1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
II. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Nomor
46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU
No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.
Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono
agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara
di era Soeharto memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum
Moerdiono.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi
pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Berdasarkan Pasal 51 ayat 1
UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki
kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a. perorangan warga Negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum public atau privat; atau
d. lembaga Negara
Dengan
demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Th.1945
harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu :
1.
kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1
UU 24/2003
2. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian.
Pemohon mengajukan uji materiil terhadap :
UUD NRI Th. 1945
|
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan
|
Pasal 28 B ayat 1
“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah “
|
Pasal 2 ayat 2
“ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku “
|
Pasal 28 B ayat 2
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi “
|
Pasal 43 ayat 1
“ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “
|
Pasal 28 D ayat 1
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum “
|
|
Mahkamah
Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan sebagian permohonan para
pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan
yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.
Pencatatan secara administratif
yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum
penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang
berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat
dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga
perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul
dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya
dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai
akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak
diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran
yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55
UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan
dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan
pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif
dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.
Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan
dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga
didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki
tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur / administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika
tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar
kehendaknya.
Komisi perlindungan anak Indonesia
(KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta
kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau
tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak
dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK
beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak
diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan.
Menurut ketua Komnas
perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang
Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah
dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah
untuk memperoleh hak keperdataannya.
“Jadi putusan MK kemarin memberikan
hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya
itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak
mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya,
nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan
keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus
diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan.
Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat
mendasar dan konstitusional”.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar
Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa
menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali
mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat.
Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap
status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
dipersengketakan.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU
Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
“Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak
luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris
sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah?.
Dari
sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris,
hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris
diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang
menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua
orangtuanya. Ada kekhawatiran didalam praktik dimasyarakat, tiba-tiba akan
bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak
luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian
dari warisan tersebut.
Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan
|
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
|
Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris
yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan
bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat
bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan.
Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal
mendapat 1/3 bagian waris.
Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli
waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap
akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang
ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat
dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.
Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli
waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar
anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris
tidak dapat dibuat.
|
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat
membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah
dengan ayahnya.
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan
anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya
dengan ahli waris lainnya.
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga
masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan
ia akan mendapatkan warisannya.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya
pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal
keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar
kawin ini adalah anak dari pewaris.
Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi
permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris.
|
III.
PEMBAHASAN
A.
Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Anak luar kawin yang
diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang
diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak
luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti
Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga)
kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan
penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283
KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak
mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian seperti tersebut
dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status
anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang
sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi
kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata, dapat
diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang
yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan
Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda
dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang,
undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti,
kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling
menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak
sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti
ini tidak diberikan untuk anak zina.
Perbedaan antara anak luar kawin
dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang
menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau
kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan
badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau
tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina
adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat
perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang
dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang
antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling
menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).
Dengan demikian anak luar kawin
dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat
perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi,
anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal
280 KUHPerdata).
Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran,
kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah).
Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal
280 KUHPerdata).
Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan
terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan
bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan
"ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak
ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan
atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya.
Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak
itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa
pun.
Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan,
bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas
adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan
dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang
mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan
demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti
yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum
secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan
pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil
dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut anak sah berada di bawah
kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan
anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian
sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.
Untuk
dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat
sebagai berikut :
a.
Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus
memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli
waris melalui pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam
Pasal 874 KUHPerdata.
b. Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah
ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh
Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si
anak menghendakinya.
Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata
memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu
hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi
lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris.
Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin
baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih
lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya
memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam
Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang
dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan
batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan
di luar perkawinan yang sah.
UU
No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
a. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
b.
Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal
4 menyebutkanPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Namun perkawinan tersebut harus
dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil
bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang
diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan
untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan
kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2
menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Begitu
pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
a.
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Walaupun pernikahan siri dianggap sah
secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan
pengantin sudah cukup umur; namun perkawinan tersebut juga harus sah secara
hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak
yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum
merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu
tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan
harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits
Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika
pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya tetap dianggap anak
sah.
Sebuah Hadits Sahih yang
diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan
pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.” Dari hadits itu,
dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki
tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya.
Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak
terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan
sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena
perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya.
Pasal 42 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan
Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat
menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat
menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.
B.
Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata,
seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang
tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak
luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki
hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.
Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan
anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan
keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa
Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu
peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh
pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini
KUHPerdata.
Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk
menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang
tuanya.
Pengakuan
terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan :
1.
Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh
seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya
(ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan
adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak
(ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pengakuan
sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281
KUHPerdata, yaitu :
a.
Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata,
untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau
kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan
sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.
b. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan
pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272
KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi
seorang anak sah.
c.
Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik
seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
d. Dengan akta yang dibuat
oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan
sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2)
KUHPerdata.
2.
Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula
terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar
perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya
kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu
diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289
KUHPerdata.
Anak luar kawin yang dapat
diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir
dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara
mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak
sumbang).
Menurut KUHPerdata ahli waris yang
berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
a. Golongan I :
Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di
dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b. Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara
atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855,
856, dan 857 KUHPerdata.
c. Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis
lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858
ayat (1) KUHPerdata.
d. Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping
sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat
(2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.
C. Peran
Notaris dalam Pembuatan Akta Warisan untuk Anak Luar Kawin
Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan
sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah dengan membuat:
a.
Akta Pembatalan, merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris
untuk membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah pernah dibuat sebelumnya
dan untuk kemudian dibuat Akta Pembagian Waris yang baru, dalam akta ini anak
luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris, dicantumkan sebagai
ahli waris dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang;
b.
Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk
menyelesaikan sengketa waris dengan cara bermufakatan, dan membagi waris
menurut undang-undang.
c. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta
ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya
terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan Akta Pembagian Waris
tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta Perjanjian
Pelepasan Hak Tuntutan, dibuat tanpa membatalkan Akta Pembagian Waris yang
telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat
pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan
tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini
juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan kompensasi dari
ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris.
IV.
Penutup.
Dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis)
sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak
biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan
syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak
biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun
demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari
anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut saya dalam hal ini tetap perlu
dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut
sebagai ahli waris yang sah.
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat
sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan
perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak menimbulkan
pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan
diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar