Sabtu, 19 Juli 2014

MAKALAH AGAMA ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN II



MAKALAH
AGAMA ISLAM
KEMUHAMMADIYAHAN  II


OLEH           : MOHAMMAD MAULANA KUSUMA WARDANA
NIP               : 50.2010.367
FAKULTAS : HUKUM
Kelas         :
DOSEN         : DRS.MUDIRNITA’IM








Kata Pengantar

      Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Agama islam kemuhammadiyahan II.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah ini yang dijadikan pembelajaran.
      Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
       Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamin





                                                                                                                                 Palembang  , 13 mei 2011


penulis






DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………............................................1
BAB I………………………………………………………...….2
A)Penjelasan rukun Iman..………………………………………2
B)Iman kepada Qadar ada 4 tungktan….………………………..4
BAB II…………………………………….………………..……5
Rukan Islam……………………………………………..............5
A)Pengertian Rukun islam………………………………………5
B)makna islam……………………………….…………………..6
c)makna dan hakikat rukun islam……………………………….16
BAB III………………………………………..……………,,.…17
Tayamum……………………………………………………,,...17
A)pengertian Tayamum………………………………………,…17
B)sebab melakukan Tayamum…………………………………..17
C)Syarat sah Tayamum…………………………...……………...17
D)Sunah ketika tayamun………………………..…………….…18
E)Rukun Tayamum……………………………………………....18
F)Tata cara praktek tayamum……………………..……………..18
BAB IV……………………………………………….………………..20
WUDHU…………………………………………………………20
A)Pengertian wudhu………………………..…………………....20
B)Hukum wudhu……………………………..…………….…….20
C)Hikmah wudhu……………………………………..………………….….20
BAB VI……………………………………………………..............…41
A)MUkaddimah……………………………………………….…41
B)hukum dan kedudukan mandi besar…………………………….42
C)Cara mandi sunah rasulullah……………………………………43
D)Cara mandi wajib Rasulullah……………………………….…..46
BAB VII……………………………………….………..…….…..52
A)Macam-macam najis………………………………………..…..52
B)Pembagian najis…………………………….……………….….52
C)Cara menghilangkan najis…………………….………..…….…53
D)macam najis dan cara mensucikannya………………………….53
E)Berapa macam najis dan klafikasi nya…………………………..56















             BAB I

A.Penjelasan Rukun Iman
(Aqidah, Islam, Muslim, Tauhid, www.mediamuslim.info)
Sebagai salah satu syarat dari iman adalah adanya keyakinan.Dan keyakinan tersebut dapat muncul dari pengetahuan atau ilmu tentang hal tersebut.Dan masalah tersebut telah dijelaskan oleh para ulama dengan penjelasan yang tuntas dan sangat jelas bagi umat.
1.Iman kepada Allah Subhanallohu wa Ta’ala
Kita mengimani Rububiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, artinya bahwa Allah adalah Rabb: Pencipta, Penguasa dan Pengatur segala yang ada di alam semesta ini. Kita juga harus mengimani uluhiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala artinya Allah adalah Ilaah (sembahan) Yang hak, sedang segala sembahan selain-Nya adalah batil. Keimanan kita kepada Allah belumlah lengkap kalau tidak mengimani Asma’ dan Sifat-Nya, artinya bahwa Allah memiliki Nama-nama yang maha Indah serta sifat-sifat yang maha sempurna dan maha luhur.
Dan kita mengimani keesaan Allah Subhanallohu wa Ta’aladalam hal itu semua, artinya bahwa Allah Subhanallohu wa Ta’ala tiada sesuatupun yang menjadi sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, maupun dalam Asma’ dan sifat-Nya.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: “(Dia adalah) Tuhan seluruh langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beridat kepada-Nya. Adakah kamu
mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya (yang patut disembah)?”. (QS. Maryam: 65)
Dan firman Allah, yang artinya: “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah yang maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS. Asy-Syura:11)
2. Iman Kepada Malaikat
Bagaimana kita mengimani para malaikat ?mengimani para malaikat Allah yakni dengan meyakini kebenaran adanya para malaikat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan para malaikat itu, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: ”Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah mereka itu mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (QS. Al-anbiya: 26-27)
Mereka diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka mereka beribadah kepada-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’, yang artinya: ” …Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tidak bersikap angkuh untuk beribadah kepada-Nyadan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.“ (QS. Al-Anbiya: 19-20).


3. Iman Kepada Kitab Allah
Kita mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan kepada rasul-rasul-Nya kitab-kitab sebagai hujjah buat umat manusia dan sebagai pedoman hidup bagi orang-orang yang mengamalkannya, dengan kitab-kitab itulah para rasul mengajarkan kepada umatnya kebenaran dan kebersihan jiwa mereka dari kemuysrikan. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’, yang artinya: ”Sungguh, kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan… “ (QS. Al-Hadid: 25)
Dari kitab-kitab itu, yang kita kenal ialah :
1. Taurat, yang Allah turunkan kepada nabi Musa alaihi sallam, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah: 44.
2. Zabur, ialah kitab yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala  kepada Daud alaihi sallam.
3. Injil, diturunkan Allah kepada nabi Isa, sebagai pembenar dan pelengkap Taurat. Firman Allah : ”…Dan Kami telah memberikan kepadanya (Isa) injil yang berisi petunjuk dan nur, dan sebagai pembenar kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, serta sebagai petunjuk dan pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS : Al-Maidah : 46)
4. Shuhuf, (lembaran-lembaran) yang diturunkan kepada nabi Ibrahim dan Musa, ‘Alaihimas-shalatu Wassalam.
5. Al-Quran, kitab yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala  turunkan kepada Nabi Muhammad shalallohu ‘alahi wa sallam, penutup para nabi. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: ” Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil…” (QS. Al Baqarah: 185).
4. Iman Kepada Rasul-Rasul
Kita mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus rasul-rasul kepada umat manusia, Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: ” (Kami telah mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita genbira dan pemberi peringatan, supaya tiada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah (diutusnya) rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. AN-Nisa: 165).
Kita mengimani bahwa rasul pertama adalah nabi Nuh dan rasul terakhir adalah Nabi Muhammad  shalallohu ‘alahi wa sallam, semoga shalawat dan salam sejahtera untuk mereka semua. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: ”Sesungguhnya Kami telahmewahyukan kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang (datang) sesudahnya…” (QS. An-Nisa: 163).

5. Iman Kepada Hari Kiamat
Kita mengimani kebenaran hari akhirat, yaitu hari kiamat, yang tiada kehidupan lain sesudah hari tersebut.Untuk itu kita mengimani kebangkitan, yaitu dihidupannya semua mahkluk yang sesudah mati oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya:”Dan ditiuuplah sangkakala, maka matilah siapa yang ada dilangit dan siapa yang ada di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka bangkitmenunggu (putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 68)
Kita mengimani adanya catatan-catatan amal yang diberikan kepada setiap manusia.Ada yang mengambilnya dengan tangan kanan dan ada yang mengambilnya dari belakang punggungnya dengan tangan kiri. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: ” Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang punggungnya, maka dia akan berteriak celakalah aku dan dia akan masuk neraka yang menyala.” (QS. Al-Insyiqaq: 13-14).
6. Iman Kepada Qadar Baik dan Buruk
Kita juga mengimani qadar (takdir) , yang baik dan yang buruk; yaitu ketentuan yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh mahkluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya dan menurut hikmah kebijakan-Nya.
B.Iman kepada qadar ada empat tingkatan:
 1. ‘Ilmu  ialah mengimani bahwa Allah Maha tahu atas segala sesuatu,mengetahui apa yang terjadi, dengan ilmu-Nya yang Azali dan abadi. Allah sama sekali tidak menjadi tahu setelah sebelumnya tidakmenjadi tahu dan sama sekali tidak lupa dengan apa yang dikehendaki.
   2. Kitabah ialah mengimani bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang terjadi sampai hari kiamat. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: ”Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. sesungguhnya tu (semua) tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya Allah yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 70)
   3. Masyi’ahialah mengimani bawa Allah Subhanahu Wa Ta’ala. telah menghendaki segala apa yang ada di langit dan di bumi, tiada sesuatupun yang terjadi tanpa dengan kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi.
   4. KhalIalah mengimani Allah Subhanahu Wa Ta’ala. adalah pencipta segala sesuatu. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya:  ” Alah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Hanya kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.” (QS. Az-Zumar: 62-63).
Keempat tingkatan ini meliputi apa yang terjadi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri dan apa yang terjadi dari mahkluk. Maka segala apa yang dilakukan oleh mahkluk berupa ucapan, perbuatan atau tindakan meninggalkan, adalah diketahui, dicatat dan dikehendaki serta diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

BAB II

Rukun Islam
A.PENGERTIAN RUKUN ISLAM
         Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena dengan Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun kita berada. Sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia sebesar apapun.Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti dari Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.

Inilah Pilar Itu :
      Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga telah memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada kehancuran dan kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita kepada umatnya bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

لَقَدْجَاءكُمْرَسُولٌمِّنْأَنفُسِكُمْعَزِيزٌعَلَيْهِمَاعَنِتُّمْحَرِيصٌعَلَيْكُمبِالْمُؤْمِنِينَرَؤُوفٌرَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau bersabda yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan sholat, (3) menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau, “Wahai Muhammad!Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab, “Islam adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.” Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad!Beri tahukan kepada ku tentang Iman?”Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)
        Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam?Dalam hadits tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati.Sehingga jika digabungkan istilah Iman dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan.Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang durhaka.

Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima pilar:
1. Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan  
Muhammad adalah utusan Allah.
   2. Menegakkan sholat.
   3. Menunaikan zakat.
   4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
   5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.

Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama tegaknya agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.

B.Makna Islam
Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian islam yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik). Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam secara umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian juga agama para pengikut Nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan
Rasul terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik.Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَاكَانَإِبْرَاهِيمُيَهُودِيّاًوَلاَنَصْرَانِيّاًوَلَكِنكَانَحَنِيفاًمُّسْلِماًوَمَاكَانَمِنَالْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

Allah juga berfirman,
هُوَسَمَّاكُمُالْمُسْلِمينَمِنقَبْلُ
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)
Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang yang masih mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang beragama Islam.Di samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang berarti berserah diri.
1.Pilar Islam Pertama: Dua Kalimat Syahadat
        Inilah pilar Islam yang pertama dan utama yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan Islam dari diri seseorang. Demikian pula jika pilar ini hancur, maka akan ikut hancur pula bangunan Islam dari diri seseorang. Oleh karena itu sudah seharusnya seorang muslim memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu ini dalam seluruh waktu dan kehidupannya.
       Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya sekedar di lisan saja, namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah mengetahui dan meyakini hal yang dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi kesaksiannya tersebut. Jika ada seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa dia telah melihat sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia hanya berbohong maka saksi seperti ini disebut saksi palsu.Demikian juga, jika ada orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat dengan lisannya, namun ternyata hatinya tidak meyakininya, maka orang ini adalah seorang pendusta. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai orang munafik ketika mereka mengatakan bahwa mereka bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, namun Allah mendustakan persaksian palsu mereka yang tidak muncul keyakinan tersebut. Allah berfirman:

إِذَاجَاءكَالْمُنَافِقُونَقَالُوانَشْهَدُإِنَّكَلَرَسُولُاللَّهِوَاللَّهُيَعْلَمُإِنَّكَلَرَسُولُهُوَاللَّهُيَشْهَدُإِنَّالْمُنَافِقِينَلَكَاذِبُونَ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiquun: 1)
Kalimat yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah bukanlah kalimat yang ringan dan sepele.Ada makna yang sangat dalam dan konsekuensi yang sangat besar di balik kedua kalimat ini.Bahkan Allah pun menjadi saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
شَهِدَاللّهُأَنَّهُلاَإِلَـهَإِلاَّهُوَوَالْمَلاَئِكَةُوَأُوْلُواْالْعِلْمِقَآئِمَاًبِالْقِسْطِلاَإِلَـهَإِلاَّهُوَالْعَزِيزُالْحَكِيمُ

“Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan.Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Kalimat Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna:
لَامَعْبُوْدَحَقٌإِلَااللهُ
“Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَبِأَنَّاللَّهَهُوَالْحَقُّوَأَنَّمَايَدْعُونَمِندُونِهِهُوَالْبَاطِلُوَأَنَّاللَّهَهُوَالْعَلِيُّالْكَبِيرُ

“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dari makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala yang disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon, para Nabi, malaikat, orang shalih dan lain sebagainya. Namun sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk disembah dan diibadahi karena yang berhak disembah dan diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.

فَمَاأَغْنَتْعَنْهُمْآلِهَتُهُمُالَّتِييَدْعُونَمِندُونِاللّهِمِنشَيْءٍلِّمَّاجَاءأَمْرُرَبِّكَوَمَازَادُوهُمْغَيْرَتَتْبِيبٍ
“Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang.Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki sesembahan selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat memberikan manfaat pada mereka ketika datang azab Allah.
        Oleh karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali ketika kita melihat ada seorang muslim yang sudah mengucapkan kedua kalimat syahadat, namun dia masih melakukan berbagai macam bentuk peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik itu kepada orang shalih, kuburan, jin penunggu dan lain sebagainya. Di antara penyebab terjadinya hal ini adalah ketidaktahuan terhadap agama Islam yang menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini.Terlebih lagi tidak tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.
Dalam kalimat لاالهإلاالله terkandung dua aspek yang sangat penting.Yang pertama yaitu aspek peniadaan/negasi, hal ini tercermin pada kata-kata لااله (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah) yang berarti meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan pada selain Allah, apapun bentuknya.Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah An Nafyu (النفي).Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata إلاالله (kecuali Allah) yang berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk peribadatan hanyalah untuk Allah semata.Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah Al Itsbat (الإثبات).
        Kedua aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar oleh seorang muslim yang ingin merealisasikan dua kalimat syahadat ini. Karena, jika seorang muslim salah dalam memahaminya, maka ia akan salah pula dalam merealisasikannya. Contohnya bisa kita lihat pada orang-orang yang sekarang disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal), sebagian mereka (baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu bimaa yastahiq) menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan makna “tidak ada tuhan (dengan t kecil) kecuali Tuhan (dengan T besar)”. Dengan tafsiran yang salah ini, mereka menyamakan seluruh Tuhan yang ada yang disembah manusia.Ujung kesimpulan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan seluruh agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam penyebutannya.Semoga Allah membinasakan orang-orang seperti ini dan menjauhkan kaum muslimin dari pemikiran seperti ini.
        Kedua aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam Imam orang-orang yang bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah berfirman ketika menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi salam,

وَإِذْقَالَإِبْرَاهِيمُلِأَبِيهِوَقَوْمِهِإِنَّنِيبَرَاءمِّمَّاتَعْبُدُونَإِلَّاالَّذِيفَطَرَنِيفَإِنَّهُسَيَهْدِينِوَجَعَلَهَاكَلِمَةًبَاقِيَةًفِيعَقِبِهِلَعَلَّهُمْيَرْجِعُونَ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-28)
       Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan seluruh sesembahan yang disembah oleh kaumnya dengan mengatakan bahwa beliau berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan bahwa peribadatan beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah menciptakan beliau yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan kalimat لاالهإلاالله tersebut kekal untuk keturunannya.
Kemudian bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa telah ada seorang Rasul di antara manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita, teladan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

لَقَدْجَاءكُمْرَسُولٌمِّنْأَنفُسِكُمْعَزِيزٌعَلَيْهِمَاعَنِتُّمْحَرِيصٌعَلَيْكُمبِالْمُؤْمِنِينَرَؤُوفٌرَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
هُوَالَّذِيبَعَثَفِيالْأُمِّيِّينَرَسُولاًمِّنْهُمْيَتْلُوعَلَيْهِمْآيَاتِهِوَيُزَكِّيهِمْوَيُعَلِّمُهُمُالْكِتَابَوَالْحِكْمَةَوَإِنكَانُوامِنقَبْلُلَفِيضَلَالٍمُّبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah).Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)
        Makna kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu oleh Allah dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah, serta beliau adalah penutup para Nabi (Syarah Arba’in An Nawawiyah Syaikh Shalih Alu Syaikh: hadits kedua). Oleh karena itu, barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau tidaklah diberi wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka persaksiannya tidaklah sah. Hal ini banyak kita saksikan di zaman sekarang, ada orang-orang yang meragukan agama Islam. Mereka mengatakan bahwa Al Quran dan Hadits hanyalah konsep yang disusun oleh Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang kemudian konsep tersebut dijalankan oleh para sahabatnya, wal’iyadzubillah.
Barang siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk menyampaikan sesuatu yang telah diperintahkan kepada beliau, maka persaksiannya tidaklah sah.Demikian juga barang siapa yang menganggap adanya Rasul dan utusan Allah setelah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka persaksiannya tersebut tidaklah sah. Sebagaimana diklaim oleh sebagian orang yang mengatakan
bahwa ada di antara kelompoknya yang menjadi Nabi seperti Mirza Ghulam Ahmad (jazaahullahu bimaa yastahiq) atau Nabi-nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin (kafaanallahu ‘an syarrihaa) dan lain sebagainya.
Persaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki konsekuensi yaitu taat terhadap perintah beliau, membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi seluruh larangan beliau dan kita beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa. Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah taat pada Allah dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan kita dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agama kita.Membenarkan berita yang beliau bawa karena beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau adalah benar-benar Rasulullah adalah membenarkan perkataan beliau.Menjauhi seluruh larangan beliau karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan beliau hanya melarang kita dari hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan agama kita.Beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena orang yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia telah melakukan bid’ah.Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).
2.Pilar Islam Kedua: Menegakkan Sholat
       Pilar Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan sholat lima waktu. Bahkan sholat ini adalah pembeda antara seorang yang beriman dan yang tidak beriman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya yang memisahkan antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim). Oleh karena itu seorang muslim haruslah memperhatikan sholatnya. Namun sungguh suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyak kaum muslimin di zaman ini yang meremehkan masalah sholat bahkan terkadang lalai dari mengerjakannya.
Lima waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar, sholat Magrib, Sholat Isya dan Sholat Subuh. Inilah sholat lima waktu yang wajib dilakukan oleh seorang muslim. Mari kita simak sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata, “Sholat lima waktu diwajibkan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra Mi’raj sebanyak 50 waktu, kemudian berkurang sampai menjadi 5 waktu kemudian beliau diseru, “Wahai Muhammad sesungguhnya perkataan-Ku tidak akan berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50 waktu bagimu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
أَقِمِالصَّلاَةَلِدُلُوكِالشَّمْسِإِلَىغَسَقِاللَّيْلِوَقُرْآنَالْفَجْرِإِنَّقُرْآنَالْفَجْرِكَانَمَشْهُودا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra: 78)
Pada firman Allah,
أَقِمِالصَّلاَةَلِدُلُوكِالشَّمْسِإِلَىغَسَقِاللَّيْلِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”
Terkandung di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur sampai dengan Isya kemudian pada firman-Nya,
وَقُرْآنَالْفَجْرِإِنَّقُرْآنَالْفَجْرِكَانَمَشْهُوداً
“Dan (dirikanlah pula shalat) subuh.Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” terkandung di dalamnya perintah mengerjakan sholat subuh. (Lihat Syarah Aqidah al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
        Mendirikan sholat adalah kewajiban setiap muslim yang sudah baligh dan berakal. Adapun seorang muslim yang hilang kesadarannya, maka ia tidak diwajibkan mengerjakan sholat berdasarkan hadits dari Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata, “Pena diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia mimpi dan dari orang gila sampai dia sembuh.” (HR. Abu Daud No 12,78 dan 4370 Lihat di Shohih Jami’us Shaghir 3513 ).
        Walaupun demikian, wali seorang anak kecil wajib menyuruh anaknya untuk sholat agar melatih sang anak menjaga sholat lima waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan sholat, dan pukullah mereka agar mereka mau mengerjakan sholat saat mereka berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Hasan, Shahih Jami’us Shaghir 5868, HR. Abu Daud)
3.Pilar Islam Ketiga: Menunaikan Zakat
Inilah rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَاأُمِرُواإِلَّالِيَعْبُدُوااللَّهَمُخْلِصِينَلَهُالدِّينَحُنَفَاءوَيُقِيمُواالصَّلَاةَوَيُؤْتُواالزَّكَاةَوَذَلِكَدِينُالْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam orang-orang yang tidak mau membayar zakatnya,
وَلاَيَحْسَبَنَّالَّذِينَيَبْخَلُونَبِمَاآتَاهُمُاللّهُمِنفَضْلِهِهُوَخَيْراًلَّهُمْبَلْهُوَشَرٌّلَّهُمْسَيُطَوَّقُونَمَابَخِلُواْبِهِيَوْمَالْقِيَامَةِوَلِلّهِمِيرَاثُالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاللّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi.Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
       Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Abu Hurairoh dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Barang siapa yang diberikan harta oleh Allah namun dia tidak menunaikan zakatnya pada hari kiamat dia akan menghadapi ular jantan yang botak kepalanya karena banyak bisanya dan memiliki dua taring yang akan mengalunginya pada hari kiamat. Kemudian ular tersebut menggigit dua mulutnya dan berkata, aku adalah harta simpananmu, aku adalah hartamu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,
وَلاَيَحْسَبَنَّالَّذِينَيَبْخَلُونَبِمَاآتَاهُمُاللّهُمِنفَضْلِهِهُوَخَيْراًلَّهُمْبَلْهُوَشَرٌّلَّهُمْسَيُطَوَّقُونَمَابَخِلُواْبِهِيَوْمَالْقِيَامَةِوَلِلّهِمِيرَاثُالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاللّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi.Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
4.Pilar Islam Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
        Inilah rukun Islam keempat yang wajib dilakukan oleh seorang muslim yaitu berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan dengan menahan makan, minum dan berhubungan suami istri serta pembatal lain dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُكَمَاكُتِبَعَلَىالَّذِينَمِنقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُونَأَيَّاماًمَّعْدُودَاتٍفَمَنكَانَمِنكُممَّرِيضاًأَوْعَلَىسَفَرٍفَعِدَّةٌمِّنْأَيَّامٍأُخَرَوَعَلَىالَّذِينَيُطِيقُونَهُفِدْيَةٌطَعَامُمِسْكِينٍفَمَنتَطَوَّعَخَيْراًفَهُوَخَيْرٌلَّهُوَأَنتَصُومُواْخَيْرٌلَّكُمْإِنكُنتُمْتَعْلَمُونَشَهْرُرَمَضَانَالَّذِيَأُنزِلَفِيهِالْقُرْآنُهُدًىلِّلنَّاسِوَبَيِّنَاتٍمِّنَالْهُدَىوَالْفُرْقَانِفَمَنشَهِدَمِنكُمُالشَّهْرَفَلْيَصُمْهُ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena beriman dengan kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
         Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, seluruh amal anak cucu Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.Jika kalian berpuasa, maka janganlah kalian berbicara kotor atau dengan berteriak-teriak.Jika ada yang menghina kalian atau memukul kalian, maka katakanlah “aku sedang berpuasa” sebanyak dua kali.Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan bau minyak kesturi pada hari kiamat nanti.Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, bahagia ketika berbuka berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa ketika bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
          Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya orang-orang yang sering berpuasa yang akan memasuki pintu tersebut. Mereka dipanggil, “Mana orang-orang yang berpuasa?” kemudian mereka masuk ke dalamnya dan orang-orang selain mereka tidak bisa masuk.Jika mereka sudah masuk, maka tertutup pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk selain mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)


5.Pilar Islam Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu
Rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika mampu sekali seumur hidup. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَإِلَيْهِسَبِي
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh, “Umroh yang satu dengan yang selanjutnya menjadi pelebur dosa di antara keduanya dan tidak ada pahala yang pantas bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
          Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan pada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata, “Apakah pada setiap tahun wahai Rasulullah?” kemudian beliau terdiam sampai-sampai laki-laki itu bertanya sebanyak tiga kali.Kemudian beliau bersabda, “Seandainya aku katakan Iya, niscaya akan wajib bagi kalian padahal kalian tidak mampu. Biarkan apa yang aku tinggalkan karena sesungguhnya sebab kebinasaan orang setelah kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi nabinya. Jika aku perintahkan satu hal maka lakukan semampu kalian dan jika aku melarang sesuatu maka jauhilah.” (HR. Muslim).
Apakah yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan ibadah haji? Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi menjelaskan bahwa kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji terkait dengan 3 hal yaitu:
         Pertama, kesehatan berdasarkan hadits dari ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Ja’tsam yang mengadu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah sesungguhnya ayahku terkena kewajiban haji ketika umurnya sudah tua dan ia tidak mampu menaiki tunggangannya, apakah aku boleh berhaji untuknya?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kedua, memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan memiliki bekal untuk kebutuhan orang-orang yang wajib dia beri nafkah.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seorang disebut sebagai pendosa jika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Abu Daud)
Ketiga, aman dari gangguan dalam perjalanan.Karena menunaikan haji padahal kondisi tidak aman adalah sebuah bahaya dan bahaya merupakan salah satu penghalang yang disyariatkan.

Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas tentang lima pilar Islam yang kita kenal dengan rukun Islam. Semoga apa yang kami sampaikan ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya mujibbas Saailiin…
Rujukan:
    1. Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziiz Alu Syaikh
   2. Taisir Wushul Ilaa Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul, Syaikh Nu’man bin Abdil Kariim Al Watr
   3. Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz Syaikh Abdul ‘azhim Badawi
   4. Syarah Aqidah al Wasithiyyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)lussunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Muhammad bin ShaliMakna dan Hakikat Rukun Islam


 C.Makna dan Hakikat Rukun Islam
Islam dibangun di atas lima dasar, yaitu Rukun Islam. Ibarat sebuah rumah, Rukun Islam merupakan tiang-tiang atau penyangga bangunan keislaman seseorang.Di dalamnya tercakup hukum-hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. “Sesungguhnya Islam itu dibangun atas lima perkara: bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa di buIan Ramadhan” (HR. Bukhari Muslim). Bagi siapa saja yang telah mengerjakan Rukun Islam yang lima, belum berarti bahwa ia telah total masuk ke dalam Islam. Ia baru membangun landasan bagi amal-amalnya yang lain.
Rukun Islam merupakan landasan operasional dari Rukun Iman.Belum cukup dikatakan beriman hanya dengan megerjakan Rukun Islam tanpa ada upaya untuk menegakkannya.Rukun Islam merupakan training/pelatihan bagi orang mukmin menuju mardhotillah/keridhoan Allah.
• Syahadat adalah agreement (perjanjian) antara seorang muslim dengan Allah SWT [7.172]. Seseorang yang telah menyatakan Laa ilaaha ilallaah berarti telah siap untuk fight (bertarung) melawan segala bentuk ilah di luar Allah di da1am kehidupannya [29:2].
• Shalat adalah training: sebagai latihan agar setiap muslim di dalam kehidupannya adalah dalam rangka sujud (beribadah) kepada Allah [6:162]
• Zakat adalah training, yaitu sebagai latihan agar menginfakkan hartanya, karena setiap harta seorang muslim adalah milik Allah.[57:7, 59:7]. “Engkau ambil zakat itu dari orang-orang kaya mereka dan engkau kembalikan kepada orang-orang fakir mereka” (HR Mutafaqun ‘alahi).
• Shaum adalah training, yaitu sebagai latihan pengendalian kebiasaan pada jasmani, yaitu makan dan minum dan ruhani, yaitu hawa nafsu. [2:185]
• Haji adalah training, yaitu sebagai latihan dalam pengorbanan jiwa dan harta di jalan Allah, mengamalkan persatuan dan persamaan derajat dengan sesama manusia. [22:27-28]




BAB III

Pengertian Tayamum, Cara, Syarat, Rukun, Sebab & Sunat Tayammum Wudhu Dengan Debu / Tanah
A. Arti Definisi / Pengertian Tayamum
Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi wajib yang tadinya seharusnya menggunakan air bersih digantikan dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih.Yang boleh dijadikan alat tayamum adalah tanah suci yang ada debunya.Dilarang bertayamum dengan tanah berlumpur, bernajis atau berbingkah.Pasir halus, pecahan batu halus boleh dijadikan alat melakukan tayamum.
Orang yang melakukan tayamum lalu shalat, apabila air sudah tersedia maka ia tidak wajib mengulang sholatnya. Namun untuk menghilangkan hadas, harus tetap mengutamakan air daripada tayamum yang wajib hukumnya bila sudah tersedia. Tayamum untuk hadas hanya bersifat sementara dan darurat hingga air sudah ada.
Tayamum yang telah dilakukan bisa batal apabila ada air dengan alasan tidak ada air atau bisa menggunakan air dengan alasan tidak dapat menggunakan air tetapi tetap melakukan tayamum serta sebab musabab lain seperti yang membatalkan wudu dengan air.
B. Sebab / Alasan Melakukan Tayamum :
- Dalam perjalanan jauh
- Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
- Telah berusaha mencari air tapi tidak diketemukan
- Air yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan
- Air yang ada hanya untuk minum
- Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat
- Pada sumber air yang ada memiliki bahaya
- Sakit dan tidak boleh terkena air

C. Syarat Sah Tayamum :
- Telah masuk waktu salat
- Memakai tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran
- Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum
- Sudah berupaya / berusaha mencari air namun tidak ketemu
- Tidak haid maupun nifas bagi wanita / perempuan
- Menghilangkan najis yang yang melekat pada tubuh

D. Sunah / Sunat Ketika Melaksanakan Tayamum :
- Membaca basmalah
- Menghadap ke arah kiblat
- Membaca doa ketika selesai tayamum
- Medulukan kanan dari pada kiri
- Meniup debu yang ada di telapak tangan
- Menggodok sela jari setelah menyapu tangan hingga siku

E. Rukun Tayamum :
- Niat Tayamum.
- Menyapu muka dengan debu atau tanah.
- Menyapu kedua tangan dengan debu atau tanah hingga ke siku.

F. Tata Cara / Praktek Tayamum :
- Membaca basmalah
- Renggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
- Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
- Niat tayamum : Nawaytuttayammuma listibaa hatishhalaati fardhollillahi ta'aala (Saya niat tayammum untuk diperbolehkan melakukan shalat karena Allah Ta'ala).
- Mengusap telapak tangan ke muka secara merata
- Bersihkan debu yang tersisa di telapak tangan
- Ambil debu lagi dengan merenggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
- Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
- Mengusap debu ke tangan kanan lalu ke tangan kiri

























BAB IV


WUDHU
A.PENGERTIAN WUDHU’,
Dari segi bahasa, wudhu’ ialah nama bagi sesuatu perbuatan menggunakan air pada anggota-anggota tertentu.
Dari segi syara‘, wudhu’ bermaksud membersihkan sesuatu yang tertentu dengan beberapa perbuatan yang tertentu yang dimulakan dengan niat, iaitu membasuh muka, membasuh kedua-dua belah tangan, menyapu kepala dan akhirnya membasuh kedua belah kaki dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang tertentu.
B.HUKUM WUDHU’
 Hukum wudhu’ adalah seperti berikut:
1. Wajib atau fardhu, iaitu ketika hendak menunaikan ibadah seperti sembahyang, sama ada sembahyang fardhu atau sembahyang sunat, ketika hendak melakukan tawaf Ka‘bah sama ada tawaf fardhu atau sunat, ketika hendak menyentuh Al-Qur’an dan sebagainya.
 2. Sunat. Banyak perkara yang disunatkan berwudhu’, antaranya ialah untuk membaca atau mendengar bacaan Al-Qur’an, membaca atau mendengar bacaan hadith, membawa kitab tafsir, kitab hadith atau kitab fiqh, melakukan azan, duduk di dalam masjid, melakukan tawaf di ‘Arafah, melakukan sa‘i, menziarahi makam Rasulullah, ketika hendak tidur, mengusung jenazah, malah disunatkan sentiasa berada dalam keadaan berwudhu’ dan memperbaharui wudhu’.
C.HIKMAH WUDHU’
        Hikmah berwudhu’ ialah kerana anggota-anggota tersebut terdedah kepada kekotoran yang zahir seperti habuk, debu dan lain-lain serta banyak terdedah dengan dosa dan maksiat sama ada zahir atau batin.
D.FARDHU WUDHU’
  1. Berniat ketika meratakan air ke seluruh muka. Niat wudu’ adalah seperti berikut:
  Maksudnya:
 “sengaja aku mengangkat hadath kecil kerana Allah Ta‘ala”.
atau
  Maksudnya:
“Sengaja aku berwudhu’ kerana Allah Ta‘ala”.
 2. Membasuh muka. Had atau batasan muka yang wajib dibasuh adalah dari tempat tumbuh rambut di sebelah atas sehingga sampai kedua tulang dagu sebelah bawah dan lintangannya adalah dari anak telinga hingga ke anak telinga.
3. Membasuh dua tangan hingga dua siku. Bagi orang yang tiada siku disunatkan membasuh hujung anggota yang ada.
4. Menyapu sedikit kepala. Boleh disapu di ubun-ubun atau lain-lain bahagian rambut yang ada di dalam had atau kawasan kepala, tetapi yang utamanya adalah menyapu seluruh kepala.
5. Membasuh dua kaki hingga dua buku lali.
6. Tertib, iaitu melakukan perbuatan itu daripada yang pertama hingga akhir dengan teratur.
E. SYARAT-SYARAT WUDHU
Terdapat dua syarat dalam wudhu’ iaitu syarat wajib dan syarat sah.
Syarat Wajib Wudhu’
  1. Islam.
  2. Baligh.
  3. Berakal.
  4. Mampu menggunakan air yang suci dan mencukupi.
  5. Berlakunya hadath.
  6. Suci daripada haidh dan nifas.
  7. Kesempitan waktu. Wudhu’ tidak diwajibkan ketika waktu yang panjang tetapi diwajibkan ketika  
kesempitan waktu.
Syarat Sah Wudhu’
1. Meratakan air yang suci ke atas kulit, iaitu perbuatan meratakan air pada seluruh anggota yang dibasuh hingga tiada bahagian yang tertinggal.
2. Menghilangkan apa sahaja yang menghalang sampainya air ke anggota wudhu’.
3. Tidak terdapat perkara-perkara yang boleh membatalkan wudhu’ seperti darah haidh, nifas, air kencing dan seumpamanya.
4. Masuk waktu sembahyang bagi orang yang berterusan dalam keadaan hadath seperti orang yang menghidap kencing tidak lawas.


Selain itu, terdapat beberapa syarat wudhu’ mengikut ulama’ mazhab Syafi‘i, iaitu:
 1. Islam.
 2. Mumayyiz.
 3. Suci daripada haidh dan nifas.
 4. Bersih daripada apa sahaja yang boleh menghalang sampainya air ke kulit.
5. Mengetahui kefardhuan wudhu’.
6. Tidak menganggap sesuatu yang fardhu di dalam wudhu’ sebagai sunat.
 7. Menghilangkan najis ‘aini yang terdapat pada badan dan pakaian orang yang berwudhu’.
8. Tidak terdapat pada anggota wudhu’ bahan yang mengubahkan air.
9. Tidak mengaitkan (ta‘liq) niat berwudhu’ dengan sesuatu.
10. Mengalirkan air ke atas anggota wudhu’.
 11. Masuk waktu sembahyang bagi orang yang berhadath berterusan.
12. Muwalat, iaitu berturutan.

F.SUNAT WUDHU’
  Perkara sunat ketika berwudhu’ adalah sangat banyak, di antaranya ialah:
 1. Membaca “basmalah” iaitu lafaz
 2. Membasuh dua tapak tangan hingga pergelangan tangan.
3. Berkumur-kumur.
4. Memasukkan air ke dalam hidung.
5. Menyapu seluruh kepala.
 6. Menyapu dua telinga.
 7. Menyelati janggut yang tebal.
 8. Mendahulukan anggota yang kanan daripada yang kiri.
  9. Menyelati celah-celah anak jari tangan dan kaki.
 10. Melebihkan basuhan tangan dan kaki dari had yang wajib.
11. Mengulangi perbuatan itu sebanyak tiga kali.
12. Berturut-turut iaitu tidak berselang dengan perceraian yang lama di antara satu anggota dengan  
anggota yang lain yang menyebabkan anggota itu kering.
13. Menggosok anggota wudhu’ supaya lebih bersih.
14. Bersugi dengan sesuatu yang kesat.
 15. Menghadap qiblat.
 16. Membaca doa selepas berwudhu’, iaitu:
Maksudnya:
“Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah yang Esa dan tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahawa Nabi Muhammad itu hambaNya dan RasulNya. Wahai Tuhanku, jadikan aku dari golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku dari golongan orang-orang yang bersih.”

G.PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU’
 1. Keluar sesuatu daripada lubang dubur atau qubul sama ada tahi, kencing, darah, nanah, cacing, angin, air mazi atau air wadi dan sebagainya melainkan air mani sendiri kerana apabila keluar mani diwajibkan mandi.
2. Tidur yang tidak tetap punggungnya, kecuali tidur dalam keadaan rapat kedua-dua papan punggung ke tempat duduk.
3. Hilang akal dengan sebab mabuk, gila, sakit, pengsan atau pitam kerana apabila hilang akal, seseorang itu tidak mengetahui keadaan dirinya
 4. Bersentuh kulit lelaki dengan perempuan yang halal nikah atau ajnabiyyah (bukan mahram) walaupun telah mati.
 5. Menyentuh kemaluan (qubul dan dubur manusia) dengan perut tapak tangan walaupun kemaluan sendiri.
6. Murtad iaitu keluar dari agama Islam.
H.Wudhu Muslimah
Disusun oleh: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Percikan-percikan air itu membasahi poni-poni yang menyembul keluar dari jilbab yang telah kulonggarkan sedikit karena berada di tempat umum.Setelah mengambil sedikit air dari pancuran mushola di lantai basement mall besar itu, aku mulai membasahi kedua telingaku.Baru kemudian kubasahi kedua kakiku, kanan kiri… kanan kiri sampai tiga kali. Seperti itulah wudhu yang kukerjakan sampai sekitar empat tahun yang lalu. Rasanya sedih menjadi orang yang menyedihkan.Hanya dari tiga gerakan wudhu yang kusebutkan, tetapi aku telah pula melakukan lebih dari tiga kesalahan.
Pertama, ternyata tidak ada gerakan wudhu hanya sekedar membasahi ujung rambut seperti yang kulakukan.Kedua, gerakan membasuh rambut dan telinga dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu kali pengambilan air.Ketiga, gerakan pengulangan tiga kali dilakukan per anggota tubuh, bukan bergantian kanan kiri seperti itu. Keempat aku membiarkan anggota tubuhku (bagian kaki) terbuka di depan umum begitu saja. Kelima, jikapun aku menginginkan jilbabku tetap terpakai agar tidak terlihat aurat rambutku, maka ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga telah memberitahukan caranya.
Begitulah kita jika melakukan sesuatu hanya berdasarkan ilmu yang sedikit dan sekedarnya.Padahal tahu sendiri kalau wudhu itu adalah salah satu syarat sahnya shalat.Mungkin bisa dibayangkan berapa banyak kesalahan dalam shalat yang aku lakukan pada saat itu. Alhamdulillah, Allah memberi hidayah kepadaku untuk menyadari kesalahan itu dan memudahkan aku untuk mempelajari tata cara yang benar untuk wudhu dan shalat. Mudah-mudahan Allah juga memudahkan engkau wahai ukhti muslimah, jika kesalahan yang sama masih ada padamu. Aamiin ya mujibas saailiin.
Secara sederhana, wudhu yang sesuai diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dapat kita lakukan seperti ini:
Pertama, hadirkan niat dalam hatimu untuk berwudhu.Apapun ibadah yang kita lakukan tentu saja hanya kita niatkan untuk ibadah kepada Allah semata.Dan begitu banyak aktifitas harian kita yang dapat kita niatkan untuk ibadah.Nah… untuk semua niat ibadah itu, maka kita tidak perlu melafalkannya (mengeluarkan dengan suara).Apalagi mengkhususkan bacaan tertentu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya.
Kedua, bacalah bismillah.
Ketiga, basuhlah kedua telapak tanganmu 3 kali.
basuh tangan 3kali
Keempat, berkumur-kumurlah dan masukkan air ke hidung dengan sungguh-sungguh dengan telapak tangan kanan.Kemudian keluarkan air tersebut dengan tangan kiri.
Kelima, basuhlah mukamu.Muka di sini tentu saja bagian yang telah kita kenal, yaitu bagian wajah dari batas telinga kanan ke telinga kiri, dan dari tempat mulai tumbuhnya rambut sampai dagu. Untuk yang telah memiliki suami atau saudara laki-laki, perlu juga diingatkan untuk membasuh jenggot yang ada karena ia juga termasuk sebagai anggota wajah.
Keenam, membasuh tangan dimulai dengan tangan kanan.
Basuhan yang sempurna adalah basuhan yang dimulai dari ujung-ujung jari hingga siku, kemudian menggosok-gosok lengan, membasuh siku dan membersihkan sela-sela jemari. Setelah tangan kanan selesai, baru dilanjutkan membasuh dengan cara yang sama untuk tangan kiri.
Ketujuh, mengusap kepala satu kali.
Kalau anggota wudhu lainnya dianjurkan dibasuh sampai tiga kali, maka bagian ini hanya satu kali usapan (walaupun terkadang kita disarankan mengusapnya 3 kali).Bagian kepala yang dimaksud adalah seluruh rambut kita dan telinga kita. Praktek yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membasahi kedua telapak tangan dengan air, kemudian mengusap mulai dari kepala bagian depan, diusap sampai ke belakang, kemudian dibalikkan lagi usapan itu ke depan dan langsung dilanjutkan mengusap telinga dengan cara memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga sedangkan ibu jari mengusap daun telinga bagian luar. Bingung?Coba lihat gambar di bawah.Insya Allah mudah.
Kedelapan, membasuh kaki dimulai dari kaki kanan.
Membasuh kaki secara sempurna adalah dengan cara membasuh ujung-ujung jari kaki sampai mata kaki, mencuci mata kaki dan membersihkan sela-sela jari kaki. Setelah selesai membasuh kaki kanan, maka dilanjutkan dengan kaki kiri dengan cara yang sama.
Kemudian kita disunnahkan membaca dzikir setelah wudhu. Ada berbagai macam dzikir setelah wudhu yang dicontohkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang dapat kita baca. Salah satunya adalah bacaan berikut
أَشْهَدُأَنْلاَإلَهَإِلاَّاللهوَحْدَهُلاَشَرِيْكَلهوَأَشْهَدُأَنَّمُحَمَّدًعَبْدُهُوَرَسُوْلُهُ
Artinya, “Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang layak disembah kecuali Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Selesai.
Mudah bukan? Insya Allah… Kesemua gerakan wudhu tersebut terangkum dalam cara wudhu yang diperlihatkan oleh sahabat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu sebagaimana diceritakan oleh Humran bekas budak beliau,
Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu meminta air wudhu. (Setelah dibawakan), ia berwudhu: Ia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan kanannya sampai siku tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri tiga kali seperti itu juga, kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kakinya yang kanan sampai kedua mata kakinya tiga kali kemudian membasuh yang kiri seperti itu juga. Kemudian mengatakan,
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwudhu seperti wudhuku ini lalu Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian berdiri dan ruku dua kali dengan sikap tulus ikhlas, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.’” (Muttafaq ‘alaihi)
Sebatas ini dulu pembenahan kita untuk masalah wudhu.Tentang mengusap khuf, termasuk di dalamnya mengusap jilbab dan kaos kaki, mudah-mudahan Allah memudahkan penulisannya di artikel muslimah.or.id mendatang. Jangan lupa ya saudariku, praktekkan ilmu yang singkat namun sangat urgent ini!
Maraji:
   1. Al Wajiz. Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi. Pustaka As-Sunnah. Cet. 2
   2. Thaharah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. Media Hidayah.Cet 1 2004
   3. Catatan Kajian Al Wajiz bersama Ustadz Muslam 15 Maret 2004
I.Hikmah dan Keajaiban Wudhu
Hikmah dan Keajaiban Wudhu.Di dalam ajaran Islam banyak hal-hal yang berkaitan dengan suatu ibadah yang terlihat sederhana dan mudah dilakukan namun memiliki manfaat dan hasiat yang luar biasa bagi kesehatan, baik kesehatan jasmanai maupun rohani, contohnya adalah wudhu.Wudhu adalah salah satu syariat Islam. Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk membersihkan diri atau berwudhu sebelum mendirikan shalat lima waktu. (QS Al-Maidah ayat 6).Wudhu juga merupakan salah satu syarat diterimanya ibadah shalat oleh Allah SWT, namun terkadang ada sebagian umat Islam yang memandangnya biasa-biasa saja. “Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kamu, hingga dia berwudhu .”(HR. Bukhari Muslim).
J.Wudhu dan Kesehatan Jasmani
Wudhu ternyata mempunyai manfaatnya sangat besar.Itulah yang dibuktikan oleh para ahli kesehatan dunia.Salah satunya adalah Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater sekaligus neurolog berkebangsaan Austria.Ia menemukan sesuatu yang menakjubkan dalam wudhu karena mampu merangsang pusat syaraf dalam tubuh manusia. Karena keselarasan air dengan wudhu dan titik-titik syaraf, kondisi tubuh senantiasa akan sehat. Dari sinilah ia akhirnya memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Baron Omar Rolf Ehrenfels. (www.republika.co.id)
Ulama fikih juga menjelaskan hikmah wudhu sebagai bagian dari upaya untuk memelihara kebersihan fisik dan rohani.Daerah yang dibasuh dalam air wudhu-seperti tangan, daerah muka termasuk mulut, dan kaki –memang paling banyak bersentuhan dengan benda-benda asing, termasuk kotoran.Karena itu, wajar kalau daerah itu yang harus dibasuh, sebab penyakit kulit umumnya sering menyerang permukaan kulit yang terbuka dan jarang dibersihkan, seperti di sela-sela jari tangan, kaki, leher, belakang telinga, dan lainnya.Karena itu, Mochtar Salem memberi saran agar anggota tubuh yang terbuka senantiasa dibasuh atau dibersihkan dengan menggunakan air.
Berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa munculnya penyakit kulit disebabkan oleh rendahnya kebersihan kulit.Karena itu, orang yang memiliki aktivitas padat (terutama di luar ruangan) disarankan untuk sesering mungkin membasuh atau mencuci anggota badannya yang terbuka, seperti kepala, muka, telinga, hidung, tangan, dan kaki.
Mencegah penyakit dengan wudhu bisa kita cermati dan pelajari sejarah hidup Rasulullah SAW, seperti yang diungkapkan Muhammad Husein Haykal dalam bukunya Hayatu Muhammad, sepanjang hidupnya Rasulullah SAW tak pernah menderita penyakit, kecuali saat sakaratul maut hingga wafatnya. Hal ini menunjukkan bahwa wudhu dengan cara yang benar niscaya dapat mencegah berbagai macam penyakit.
Menurut sejumlah penelitian, berwudhu itu dapat menghilangkan berbagai macam penyakit.Misalnya, penyakit kanker, flu, pilek, asam urat, rematik, sakit kepala, telinga, pegal, linu, mata, sakit gigi, dan sebagainya.
Mokhtar Salem dalam bukunya Prayers a Sport for the Body and Soul menjelaskan, wudhu bisa mencegah kanker kulit.Jenis kanker ini lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang setiap hari menempel dan terserap oleh kulit. Kemudian, apabila dibersihkan dengan air (terutama saat wudhu), bahan kimia itu akan larut. Selain itu, jelasnya, wudhu juga menyebabkan seseorang menjadi tampak lebih muda.
Dalam penelitian yang dilakukan Muhammad Salim tentang manfaat wudhu untuk kesehatan, terungkap bahwa berwudhu dengan cara yang baik dan benar akan mencegah seseorang dari segala penyakit. Dalam penelitiannya itu, Muhammad Salim juga menganalisis masalah kesehatan hidung dari orang-orang yang tidak berwudhu dan yang berwudhu secara teratur selama lima kali dalam sehari untuk mendirikan shalat.
Salim mengambil zat dalam hidung pada selaput lendir dan mengamati beberapa jenis kumannya. Pekerjaan ini ia lakukan selama berbulan-bulan. Berdasarkan analisisnya, lubang hidung orang-orang yang tidak berwudhu memudar dan berminyak, terdapat kotoran dan debu pada bagian dalam hidung, serta permukaannya tampak lengket dan berwarna gelap.
Adapun orang-orang yang teratur dalam berwudhu, ungkap Salim, permukaan rongga hidungnya tampak cemerlang, bersih, dan tidak berdebu.“Sesungguhnya, cara berwudhu yang baik adalah dimulai dengan membasuh tangan, berkumur-kumur, lalu mengambil air dan menghirupnya ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya.Langkah ini hendaknya dilakukan sebanyak tiga kali secara bergantian,” kata Salim.
K.Wudhu dan Kesehatan Rohani
Ulama tasawuf menjelaskan hikmah wudhu dengan menjelaskan bahwa daerah-daerah yang dibasuh air wudhu memang daerah yang paling sering berdosa. Kita tidak tahu apa yang pernah diraba, dipegang, dan dilakukan tangan kita. Banyak pancaindera tersimpul di bagian muka.
Berapa orang yang jadi korban setiap hari dari mulut kita, berapa kali berbohong, memaki, dan membicarakan aib orang lain. Apa saja yang dimakan dan diminum. Apa saja yang baru diintip mata ini, apa yang didengar oleh kuping ini, dan apa saja yang baru dicium hidung ini? Ke mana saja kaki ini gentayangan setiap hari?Tegasnya, anggota badan yang dibasuh dalam wudhu ialah daerah yang paling riskan untuk melakukan dosa.
Rasul SAW menyatakan, wajah orang yang berwudhu itu akan senantiasa bercahaya. Rasulullah akan mengenalinya nanti pada hari kiamat karena bekas wudhu. “Umatku nanti kelak pada hari kiamat bercahaya muka dan kakinya karena bekas wudhu.”
Muhammad Kamil Abd Al-Shomad, yang mengutip sumber dari Al-I’jaz Al-Ilmiy fi Al-Islam wa Al-Sunnah AlNabawiyah, menjelaskan bahwa manfaat semua hal yang diperintahkan dalam wudhu sangatlah besar bagi tubuh manusia. Mulai dari membasuh tangan dan menyela-nyela jari, berkumur-kumur,
memasukkan air ke dalam lubang hidung, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap kepala, membasuh telinga, hingga membasuh kaki hingga mata kaki.
Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dalam bukunya Lentera Hidup menuliskan keutamaan wudhu.“Sekurang-kurangnya lima kali dalam sehari-semalam setiap Muslim diperintahkan untuk berwudhu dan mengerjakan shalat.Meskipun wudhu belum lepas (batal), disunahkan pula memperbaharuinya.Oleh ahli tasawuf, diterangkan pula hikmah wudhu itu.Mencuci muka artinya mencuci mata, hidung, mulut, dan lidah kalau-kalau tadinya pernah berbuat dosa ketika melihat, berkata, dan makan.
Mencuci tangan dengan air seakan-akan membasuh tangan yang telanjur berbuat salah.Membasuh kaki dan lain-lain demikian pula.Mereka memperbuat hikmat-hikmat itu meskipun dalam hadis dan dalil tidak ditemukan.Tujuannya adalah supaya manusia jangan membersihkan lahirnya saja, sementara batinnya masih tetap kotor.Hati yang masih tamak, loba, dan rakus, kendati sudah berwudhu, maka wudhunya lima kali seharisemalam itu berarti tidak berbekas dan tidak diterima oleh Allah SWT, dan shalatnya pun tidak akan mampu menjauhkan dirinya dari perbuatan fakhsya’ (keji) dan mungkar (dibenci).”
Buya Hamka menambahkan, wudhu itu dapat menyehatkan badan.“Kita hidup bukanlah untuk mencari pujian dan bukan pula supaya kita paling atas di dalam segala hal.Meskipun itu tidak kita cari, kalau kita senantiasa menjaga kebersihan, kita akan dihormati orang juga.”

Referensi :
Al-quran dan terjemahnya-Kementerian Agama RI.
Shahih Bukhari-Imam Bukhori
Al Jami’ Ash Shohih Al Musnad min haditsi rasulillaahi shallallaahu ‘alaihi wasallam wa sunanihi wa ayyamihi-Imam Muslim.
www.republika.co.id,
Lentera Hidup – Buya Hamka
http://id.wikipedia.org
L.setan spesialis pengganggu wudhu
Bisa kita bayangkan, bagaimana canggihnya seorang pencuri kendaraan bermotor jika setiap hari yang dipelajari dan dikerjakan adalah mencuri motor.Ada juga pencuri spesialis elektronik, dia paling ahli soal bagaimana menggondol barang elektronik di rumah orang yang sedang lengah.Ternyata, iblis juga memiliki bala tentara yang dibekali ketrampilan khusus dan ditugasi pekerjaan yang khusus pula.Iblis menggoda manusia di setiap lini, dan di setiap lini dia siapkan setan-setan “spesialis” yang pakar dalam bidangnya.
Dalam hal wudhu misalnya, ada jenis setan khusus yang beraksi di wilayah ini.Pekerjaannya fokus untuk menggoda orang-orang yang wudhu sehingga menjadi kacau wudhunya. Setan spesialis wudhu ini disebut Nabi dengan “Al-Walahan”
Nabi bersabda: “Pada wudhu itu ada setan yang menggoda, disebut dengan Al-Walahan, maka hati-hatilah terhadapnya.” (HR Ahmad)
Setan ini menggoda tidak hanya mengandalkan satu jurus saja untuk memperdayai mangsanya.Untuk masing-masing karakter pelaku wudhu, disiapkan satu jurus untuk melumpuhkannya.

1.Waspadai Setiap Jurusnya
Sebagian dipermainkan setan hingga sibuk mengulang-ulang lafazh niat.Saking sibuknya mengulang, ada yang rela ketinggalan rekaat untuk mengeja niat.
Niat memang harus dilazimi bagi setiap hamba yang hendak melakukan suatu akativitas.Akan tetapi, tak ada secuil keteranganpun dari Nabi yang shahih menunjukkan sunahnya melafazkan niat. Bahkan tidak ada dalil sekalipun berupa
hadits dha’if, mursal, atau yang terdapat di musnad maupun perbuatan sahabat yang menunjukkan keharusan atau sunahnya melafazkan niat.
Dalil yang biasa dipakai adalah hadits Nabi “segala sesuatu tergantung niatnya.” Hadits ini tidak menunjukkan sedikitpun akan perintah melafazkan niat. Jika hadits ini dimaknai sebagai niat yang dilafazkan, berarti untuk setiap amal shalih baik menolong orang tenggelam, belajar, bekerja dan aktivitas lain menuntut dilafazkan niat. Apakah orang yang melafazkan niat
ketika wudhu juga melafazkan niat ketika melakukan aktivitas amal yang lain? Kalau saja itu baik, tentunya Nabi dan para sahabat melakukannya.
Sebagian lagi digoda setan sehingga asal-asalan ketika melakukan wudhu.Dia membiarkan anggota tubuh yang mestinya wajib dibasuh, tidak terkena oleh air. Nabi mengingatkan akan hal ini dengan sabdanya: “Celakalah tumit dari neraka.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Untuk menangkal godaan ini, wajib bagi kita mengetahui, manakah anggota tubuh yang wajib dibasuh atau diusap. Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan mata kaki …” (QS. al-Maidah : 6)
Syaikh Utsaimin menyebutkan bahwa istinsyaq atau memasukkan air ke hidung kemudian istinsyar (mengeluarkannya) hukumnya wajib karena hidung termasuk bagian dari wajah yang dituntut untuk dibasuh.
Telinga juga wajib untuk diusap karena termasuk bagian dari kepala sebagaimana hadits Nabi: al-udzun minar ra’si, telinga adalah bagian dari kepala.
2.Boros Menggunakan Air
Asal-asalan berwudhu adalah jurus setan yang diarahkan bagi orang yang malas. Sedangkan untuk orang yang antusias dan bersemangat,.al-walahan memiliki jurus yang lain. Yakni dia menggoda agar orang yang wudhu terlampau boros menggunakan air.Timbullah asumsi bagi orang yang berwudhu, semakin banyak air, maka semakin sempurna pula wudhunya. Padahal anggapan ini
bertentangan dengan sunnatul huda. Bahkan Nabi mengingatkan umatnya akan hal itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya akan ada di antara umat ini yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan An-Nasa’i sanadnya kuat dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Ada pula hadits menyebutkan, tatkala Nabi melewati Sa’ad yang tengah berwudhu, beliau bersabda: “Janganlah boros dalam menggunakan air.” Sa’ad berkata: “Apakah ada istilah pemborosan dalam hal air?” beliau menjawab: “Ya, meskipun
> engkau (berwudhu) di sungai yang mengalir.”(HR Ibnu Majah dan Ahmad). Ibnul Qayyim menyebutkan hadits ini dalam Zaadul Ma’ad, begitu pula Ibnul Jauzi dalam kitabnya “Talbis Iblis”, hanya saja Syaikh Al-Albani menyatakan ini sebagai hadits dha’if, begitu pula dengan Al-Bushiri dalam Al-Zawa’id.
Yang baik adalah kita tidak boros dalam menggunakan air, termasuk ketika berwudhu.Namun bukan berarti boleh meninggalkan sebagian anggota yang wajib untuk dibasuh.
3.Ragu-Ragu Ketika Berwudhu
Jurus lain yang ditujukan bagi orang yang kelewat semangat dalam hal wudhu adalah, setan menanamkan keraguan kepada orang yang berwudhu. Ketika orang itu selesai wudhu, dibisikkan di hatinya keraguan akan keabsahan wudhunya. Agar orang itu mengulangi wudhunya kembali dan hilanglah banyak keutamaan seperti takbiratul uula maupun shalat jama’ah secara umum.
Telah datang kepada Ibnu Uqail seseorang yang terkena jurus setan ini. Dia menceritakan bahwa dirinya telah berwudhu, kemudian dia ulangi wudhunya karena ragu, bahkan dia menceburkan diri ke sungai, setelah keluar darinya diapun masih ragu akan wudhunya. Dia bertanya: “Dalam keadaan (masih ragu) seperti itu apakah saya boleh shalat?” Ibnu Uqail menjawab: “Bahkan kamu tidak lagi wajib shalat.”
Ya, tak ada orang yang melakukan seperti itu kecuali orang yang hilang ingatan, sedangkan orang yang hilang ingatan tidak terkena kewajiban. Wallahua’lam.

















BAB V


A.Air yang Menyucikan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Di negeri kita, alhamdulillah, air mudah dijumpai. Salah satu manfaat terbesar dari air adalah untuk bersuci. Banyaknya jenis air yang ada menuntut kita untuk memahami mana air yang bisa dipakai untuk bersuci dan yang tidak.
Air merupakan salah satu nikmat Allah l yang sangat besar nilainya bagi kehidupan. Hampir seluruh makhluk di muka bumi membutuhkan air untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga sering kita mendengar orang mengatakan air adalah sumber kehidupan. Allah l sendiri telah berfirman:
“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (al-Anbiya’: 30)
Yakni segala sesuatu yang hidup baik manusia, hewan, maupun tumbuhan, membutuhkan air demi kehidupan dan pertumbuhannya serta tidak dapat lepas darinya, sehingga tidak ada kehidupan di muka bumi tanpa air. (Ruhul Ma’ani, 17/36)
Sementara di dalam syariat yang mulia ini air juga digunakan sebagai alat bersuci, untuk mandi, berwudhu, dan yang selainnya.Air juga merupakan asal yang digunakan dalam thaharah (bersuci).
Di dalam Al-Qur’an, Allah l berfirman:
“Dia menurunkan bagi kalian air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya….” (al-Anfal: 11)
“Dan Kami menurunkan air dari langit sebagai penyuci.” (al-Furqan: 48)
Dua ayat yang mulia ini menerangkan bahwasanya air yang turun dari langit itu suci dan dapat menyucikan najis serta dapat menghilangkan hadats baik hadats besar terlebih lagi hadats kecil. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/28, Tafsir Ibnu Katsir, 2/304, Syarhul ‘Umdah, hlm. 60—61)
Air yang menyucikan ini tidak sebatas air yang turun dari langit, tetapi juga air yang keluar dari permukaan bumi seperti air sungai, air sumur, dan sebagainya. (al-Ausath, 1/246)
Hal ini sebagaimana dikatakan pula oleh al-Qurthubi t dalam Tafsir-nya, “Air yang turun dari langit dan tersimpan di bumi itu suci, dapat menyucikan sekalipun berbeda-beda warna, rasa, dan baunya….” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/29)
Demikian pula air laut, suci dan dapat menyucikan, bisa digunakan untuk wudhu dan mandi (al-Muhalla, 1/220, al-Mughni, 1/23, Tuhfatul Ahwadzi, 1/188, ‘Aunul Ma’bud, 1/107). Walaupun dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi, namun telah datang berita yang pasti dari Nabi n ketika ditanya oleh para sahabatnya tentang berwudhu dengan air laut, beliau bersabda:


هُوَالطَّهُوْرُمَاؤُهُ،الْحِلُّمَيْتَتُهُ
“Laut itu airnya suci dapat menyucikan dan halal bangkainya.”1
Demikian dinyatakan oleh al-Imam Ibnul Mundzir t. (al-Ausath, 1/247)
Kata الطَّهُوْرُ dalam hadits di atas bila ditinjau secara bahasa Arab diambil dari wazan (timbangan) فَعُولٌ yang merupakan sighah mubalaghah (bentuk kata dalam bahasa Arab untuk menyatakan berlebih-lebihannya sesuatu) dari kata طَاهِرٌ dan maksudnya adalah kesucian air laut itu melampaui dirinya, yakni ia dapat menyucikan yang selainnya (Syarhul Bulughul Maram, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)
Pada satu keadaan, terkadang kita dapatkan air yang semula suci tercampur dengan sesuatu yang najis.Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana keberadaan air tersebut?Apakah tetap suci dan dapat menyucikan atau air itu menjadi najis?
Ada perbedaan pendapat dalam permasalahan ini.Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan air yang tercampur dengan najis tidaklah menjadi najis melainkan jika berubah sifatnya secara mutlak, warna, bau, ataupun rasanya, baik air itu banyak maupun sedikit. (Sailul Jarrar, 1/54)
Dalil dari pendapat ini antara lain sabda Nabi n:
الْمَاءُطَهُوْرٌلاَيُنَجِّسُهُشَيْءٌ
“Air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajisinya.”(HR. Ahmad 3/16, 31, an-Nasa’i no. 324, Abu Dawud no. 60, dan at-Tirmidzi no. 66. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i no. 315, Shahih Abu Dawud no. 60, dan Shahih at-Tirmidzi no. 56)
Maksud hadits di atas, selama air tersebut belum berubah salah satu sifatnya karena bercampur/kemasukan benda yang najis maka ia tetap dalam kesuciannya. Adapun bila mengalami perubahan maka air tersebut bisa menjadi najis. (Majmu’ Fatawa, 21/32—33, al-Ikhtiyarat hlm. 298, al-Ausath, 1/260, Nailul Authar, 1/56, al-Mughni, 1/30, al-Majmu’, 1/163)
Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah c dari kalangan sahabat, serta pendapat al-Hasan al-Bashri, Ibnul Musayyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila, ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri, an-Nakha’i, Jabir bin Zaid, Malik, dan yang lainnya rahimahumullah. (Nailul Authar, 1/56)
Dengan keterangan di atas, kita dapatkan dua macam air:
1.    Air yang suci menyucikan
2.    Air yang najis
Pendapat ini merupakan mazhab Zhahiriyah dan sekelompok ahlul hadits, dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t (Syarhul Bulughul Maram, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh).



Namun kita dapati ada ulama yang membagi air menjadi tiga macam:
1.    Air suci yang dapat menyucikan
2.    Air yang suci namun tidak dapat menyucikan2
3.    Air yang najis
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Namun, wallahu ta‘ala a‘lam, yang menenangkan hati dalam permasalahan ini adalah pendapat yang membagi air hanya dua macam. Karena menetapkan adanya air suci namun tidak menyucikan perlu mendatangkan dalil, sementara tidak ada dalil dalam hal ini.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Yang benar air itu terbagi dua saja, suci menyucikan dan najis. Sedangkan air yang suci namun tidak menyucikan tidak ada wujudnya dalam syariat ini.Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah t, dalilnya adalah karena tidak adanya dalil dalam masalah ini. Kalau air jenis ini ada dalam syariat niscaya urusannya akan diketahui serta dipahami dan terdapat hadits-hadits yang jelas serta gamblang menyebutkannya. Karena urusan ini bukanlah permasalahan yang remeh, namun berkaitan dengan pilihan apakah seseorang harus shalat dengan berwudhu menggunakan air atau ia harus tayammum karena tidak mendapatkan air yang dapat menyucikannya (wudhu).” (asy-Syarhul Mumti’, 1/44)
Lalu bagaimana dengan air yang dicampur dengan teh, susu, sirup, ataupun benda-benda suci lainnya, apakah bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi? Bila tidak bisa, berarti ada air suci namun tidak bisa menyucikan?
Air yang suci itu bisa digunakan untuk bersuci sekalipun kemasukan atau bercampur dengan benda yang suci selama masih melekat padanya nama air, belum berganti kepada nama lain, dan benda yang mencampurinya itu tidak mendominasi air tersebut. (Majmu’ Fatawa, 21/25, al-Muhalla, 1/199, al-Mughni, 1/22, Sailul Jarrar, 1/58)
Air bila telah bercampur dengan teh telah berubah namanya menjadi teh bukan lagi air mutlak. Begitu pula jika bercampur dengan susu ataupun sirup (tidak lagi disebut air). Dengan demikian, air (yang keluar dari kemutlakannya) ini tidak bisa digunakan untuk bersuci. (al-Muhalla, 1/202)
Adapun pembahasan air yang kita bawakan di sini adalah air mutlak, bukan air yang telah berubah namanya karena adanya benda suci yang bercampur atau dimasukkan ke dalamnya.Air mutlak inilah yang bisa digunakan untuk menghilangkan hadats, sedangkan benda cair lainnya tidak bisa menghilangkan hadats (tidak bisa digunakan untuk bersuci, wudhu, dan mandi). (Syarhul ‘Umdah, 1/61—62)
Ini merupakan pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Dawud, dan selain mereka. Pendapat ini pula yang dipegangi oleh al-Hasan, ‘Atha ibnu Abi Rabah, Sufyan ats-Tsauri, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, dan selain mereka rahimahumullah. (al-Muhalla, 1/202, 220)


Dalilnya adalah firman Allah :
“Lalu jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan menggunakan tanah/debu yang bersih.” (al-Ma’idah: 6)
Dalam ayat di atas, Allah l memerintahkan untuk menggunakan tanah (tayammum) bila tidak mendapatkan air untuk wudhu atau mandi janabah/haid, sekalipun kita masih bisa mendapatkan benda cair atau benda yang mengalir lainnya. (asy-Syarhul Mumti’, 1/22, 38)

1.Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air yang telah dibasuhkan pada anggota badan kemudian berjatuhan atau bertetesan dari anggota badan tersebut, bukan air yang telah diciduk ataupun sisanya.Misalnya engkau mencuci wajahmu, maka air yang bertetesan dari wajahmu itu adalah air musta’mal. (asy-Syarhul Mumti’, 1/28)
Hukum air yang musta’mal ini diperselisihkan oleh ulama, suci atau tidaknya. Namun yang rajih adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama, yaitu air musta’mal ini suci, kecuali bila berubah salah satu dari tiga sifatnya karena benda najis. Adapun dalil jumhur sebagai berikut.
1. Perbuatan para sahabat yang mengambil air yang berjatuhan dari air wudhu Nabi n kemudian mereka mengusapkannya ke badan mereka (Sahih, HR. al-Bukhari no. 187).
Seandainya air tersebut najis niscaya Rasulullah n tidak akan membiarkan perbuatan tersebut.
2. Nabi n yang mandi janabah bersama istrinya dalam satu bejana, sebagaimana disampaikan oleh ‘Aisyah x:
كُنْتُأَغْتَسِلُأَنَاوَرَسُوْلُاللهِ n مِنْإِنَاءٍوَاحِدٍنَغْتَرِفُجَمِيْعًا
“Aku dan Rasulullah n pernah mandi dari satu bejana, kami menciduk air dari bejana tersebut secara bersama-sama” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 273 dan Muslim no. 321)
Sementara diketahui bila seseorang mandi pasti ada air dari tubuhnya yang jatuh kembali ke tempat penampungan air (bak ataupun bejana). Bila air tersebut najis niscaya Nabi n tidak akan menggunakan air tersebut untuk mandi.
3. Sabda Nabi n kepada Abu Hurairah z:
إِنَّالْمُسْلِمَلاَيَنْجُسُ
“Sesungguhnya seorang muslim itu tidaklah najis.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
Bila seorang muslim itu tidak najis, maka air yang bertetesan dari tubuhnya atau sekadar disentuhnya tidak mungkin menjadi najis.
Sementara Abu Hanifah t menyelisihi pendapat jumhur ini dalam satu riwayat darinya.Demikian pula Abu Yusuf muridnya.Mereka berpendapat najisnya air musta’mal ini dengan bersandarkan dalil yang lemah. (Majmu’ Fatawa, 1/204, Nailul Authar, 1/43, 46)
Ibnu Hazm t di dalam al-Muhalla (1/186) membantah keras pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf yang mengatakan najisnya air musta’mal.
Jumhur ulama kemudian berselisih, apakah air musta’mal yang suci itu dapat menyucikan atau tidak?
Kelompok pertama berpendapat air musta’mal itu suci tapi tidak menyucikan, sebagaimana dinukilkan satu riwayat dari Ahmad, asy-Syafi’i, dan Malik, serta merupakan pendapat al-Laits, al-Auza‘i, dan selain mereka.
Kelompok kedua sebagaimana pendapat al-Hasan, ‘Atha, an-Nakha’i, az-Zuhri, Makhul, ahlu zhahir, juga satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan asy-Syafi’i serta Malik, mengatakan bahwasanya air musta’mal itu suci dan menyucikan.
Pendapat kedua inilah yang rajih dengan dalil antara lain sabda Nabi n, “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang bisa menajisinya.” (al-Mughni, 1/28, Nailul Authar, 1/47—48)
Adapun pendapat kelompok pertama dijawab dengan hadits Ibnu ‘Abbas c,
أَنَّرَسُولَاللهِ n كَانَيَغْتَسِلُبِفَضْلِمَيْمُوْنَةَ
“Nabi n pernah mandi dengan sisa air (istrinya) Maimunah x.” (Sahih, HR. Muslim no. 323)
Ibnu Hazm t mengatakan, “Bolehnya berwudhu dan mandi junub dengan air musta’mal dan kebolehannya di sini adalah sama saja baik didapatkan air lain yang bukan air musta’mal maupun tidak didapatkan.” (al-Muhalla, 1/183)
Allah l berfirman:
“Apabila kalian sakit, sedang safar (bepergian jauh), atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar atau kalian menyentuh wanita (jima’) lalu kalian tidak mendapatkan air untuk bersuci maka bertayammumlah dengan menggunakan debu yang bersih/suci.” (al-Ma’idah: 6)
Ibnu Hazm t berkata, “Dalam ayat ini, Allah l menyebutkan air secara umum, tidak mengkhususkannya.” (al-Muhalla, 1/184)
Al-Imam asy-Syaukani t menyatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan larangan untuk bersuci dengan menggunakan air yang diistilahkan dengan air musta’mal. Karena air tersebut tidaklah keluar dari air mutlak hanya karena telah digunakan oleh orang lain. Sehingga kesimpulannya air itu suci dan
menyucikan. Oleh karena itu, siapa yang menyatakan air tersebut telah keluar dari kesuciannya atau tidak dapat menyucikan lagi maka pernyataannya itu tidak bisa diterima kecuali bila ia bisa mendatangkan dalil terhadap permasalahan ini....” (Sailul Jarrar, 1/57)

Apakah Air yang Najis Bisa Disucikan?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menyatakan bahwa air yang najis bisa menjadi air yang suci dan menyucikan bila telah hilang kenajisan yang mencampuri dan mengubah air tersebut dengan menggunakan cara apa pun, sama saja baik airnya sedikit maupun banyak. Ketika najis hilang pada air tersebut maka airnya menjadi suci. (asy-Syarhul Mumti’, 1/47)

Keyakinan Tidak Dapat Tergeser oleh Keraguan
Bila kita ragu terhadap air, apakah ia suci atau najis, maka kita kembali kepada hukum asal bahwa air itu suci. Adapun keraguan yang timbul setelah adanya keyakinan, apakah airnya ternajisi atau tidak, maka tidak perlu dihiraukan karena hukum air tersebut tetap suci. (Syarhul ‘Umdah, 1/83, al-Furu’, 1/61, Sailul Jarrar, 1/59—60)
Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan (al-Mughni, 1/43).
Al-Imam an-Nawawi t menyatakan di dalam al-Majmu’ (1/224) bahwa dalil dalam hal ini adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid z tentang seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah n yang ia mendapatkan angin yang berputar di dalam perutnya ketika sedang shalat. Namun ia bingung, apakah angin itu keluar dari duburnya ataukah tidak. Maka Rasulullah n pun bersabda:
لايَنْصَرِفْحَتَّىيَسْمَعَصَوْتًاأَوْيَجِدَرِيْحًا
“Jangan ia berpaling dari shalatnya (membatalkannya) hingga ia mendengar suara (kentutnya) atau mencium baunya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Dalam hadits ini Nabi n memerintahkan orang tersebut untuk membangun keyakinannya di atas hukum asal yaitu asalnya dia dalam keadaan suci (berwudhu). Adapun ia kentut atau tidak maka itu adalah keraguan yang muncul belakangan. Hukum asal thaharah-nya itu baru hilang bila ia yakin akan keluarnya angin dari duburnya, baik dengan mendengar suaranya maupun mencium baunya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

B.Penjelasan Air Suci Tidak Menyucikan
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t dalam kitabnya Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar (hlm. 24—25) mengatakan bahwa Abu Sa’id al-Khudri z berkata, “Telah bersabda Rasulullah n:
الْمَاءُطَهُوْرٌلاَيُنَجِّسُهُشَيْءٌ
‘Air itu suci tidak ada sesuatu pun yang dapat menajisinya’.” (Sahih, HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan an-Nasa’i)
Hadits yang sahih ini menunjukkan asal air secara keseluruhan (meliputi seluruh air yang keluar dari dalam bumi atau yang turun dari langit yang tetap sebagaimana asal penciptaannya, ataupun berubah karena tersimpan lama atau karena kemasukan/kejatuhan benda-benda yang suci, walaupun mengalami banyak perubahan) itu suci, bisa digunakan untuk thaharah dan selainnya. Kecuali air yang berubah warna, rasa, ataupun baunya karena kemasukan benda-benda yang najis, sebagaimana hal ini disebutkan pada sebagian lafadz hadits.
Ulama telah bersepakat tentang najisnya air yang mengalami perubahan akibat kemasukan benda najis. Al-Imam Ahmad t dan selainnya mengambil dalil tentang perkara ini dari firman Allah l:
“Diharamkan bagi kalian memakan bangkai, darah, dan daging babi, daging hewan yang disembelih
dengan menyebut nama selain Allah, hewan yang mati karena tercekik, yang dipukul dengan benda berat, yang jatuh dari tempat yang tinggi, yang ditanduk oleh hewan lain, yang diterkam oleh binatang buas kecuali yang sempat kalian sembelih, dan diharamkan pula bagi kalian hewan yang disembelih untuk berhala dan diharamkan bagi kalian untuk mengundi nasib dengan anak panah….” (al-Ma’idah: 3)
Sehingga kapan pun terlihat sifat-sifat dari benda-benda yang diharamkan ini di dalam air maka air tersebut menjadi najis.
Hadits ini dan selainnya menunjukkan bahwa air yang berubah karena kemasukan benda-benda yang suci tetap dihukumi suci dan menyucikan.Juga menunjukkan tidak dilarangnya menggunakan air sisa seorang wanita secara mutlak, serta menunjukkan sucinya air bekas celupan tangan orang yang bangun dari tidur malam. Adapun larangan mencelupkan tangan yang datang dalam masalah ini ditujukan kepada orang yang bangun tidur tersebut, ia dilarang mencelupkan tangannya ke dalam air sebelum mencucinya sebanyak tiga kali. Sedangkan pelarangan menggunakan air bekas celupannya tidak ditunjukkan dalam hadits ini.
Hadits Abu Sa’id al-Khudri z di atas menunjukkan air itu terbagi dua:
Pertama, air yang najis, yaitu air yang berubah salah satu sifatnya karena kemasukan benda yang najis, sedikit ataupun banyak.
Kedua, air suci menyucikan.
Adapun menetapkan jenis air yang ketiga, yaitu air yang suci tapi tidak menyucikan dan bukan pula air yang najis, tidaklah ada dalil syar‘i yang menunjukkannya, sehingga air tersebut tetap di atas asal kesuciannya (yaitu suci dan menyucikan).
Yang mendukung keumuman hal ini adalah firman Allah l:
“Jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan menggunakan tanah/debu yang bersih.” (al-Ma’idah: 6)
Penyebutan air yang dalam ayat ini disebutkan secara umum, karena penyebutannya datang dalam bentuk nakirah (umum) dengan konteks penafian1 (kalimat negatif).Dengan demikian, masuk di dalamnya seluruh air kecuali air yang najis karena adanya ijma’ tentang hal ini.
Hadits ini menunjukkan pula bahwasanya hukum asal air itu suci, demikian pula hal-hal selain air.Maka kapan pun terjadi keraguan, apakah didapatkan padanya sebab kenajisan atau tidak, maka kembalinya pada hukum asal yaitu sesuatu itu tetap suci.
1 Yakni penyebutan ( ماء ) air dalam ayat disebutkan tanpa ال dan lafadz sebelumnya berisi kalimat penafian (kalimat negatif) ﭷﭸ “Jika kalian tidak mendapatkan air”.


C.Air Suci dan Mensucikan dalam Islam
Alhamdulilah hanya milik Allah semata, Dzat yang menurunkan air hujan sebagai rahmat bagi makhluq-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah bagi Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Bersuci adalah bagian dari iman, bahkan menjadi syarat sah sholat dimana sholat merupakan tiang agama yang membedakan seorang muslim dan kafir. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mempelajari perkara ini
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:
الطُّهُورُشَطْرُالإِيمَانِ،وَالْحَمْدُلِلَّهِتَمْلأُالْمِيزَانَ،وَلاإِلَهَإِلااللَّهُ،وَاللَّهُأَكْبَرُ،يَمْلآنِمَابَيْنَالسَّمَاءِوَالأَرْضِ،وَالصَّلاةُنُورٌ،وَالصَّدَقَةُبُرْهَانٌ،وَالْوُضُوءُضِيَاءٌ،وَالْقُرْآنُحُجَّةٌلَكَأَوْعَلَيْكَ،وَكُلُّالنَّاسِيَغْدُو،فَمُعْتِقُهَاأَوْمُوبِقُهَا
Bersuci adalah setengah iman, ucapan Alhamdulillah itu memenuhi timbangan amal, ucapan Lailahaillallahu dan Allahu Akbar keduanya memenuhi apa yang ada diantara langit dan bumi, sholat adalah cahaya, shodaqoh adalah bukti (benarnya iman), dan sabar adalah cahaya yang panas, Al Qur’an adalah argument yang membelamu atau menuntutmu. Setiap manusia ketika waktu pagi tiba, maka dia menebus dirinya, maka boleh jadi dia menebusnya lalu dia merdekakan dirinya, atau dia tebus dirinya namun kemudian dia binasakan (HR Muslim).
Berdasarkan hadits diatas, dapat disimpulkan betapa pentingnya kedudukan bersuci dalam islam.
Air yang bisa digunakan untuk Bersuci [1]
Air adalah nikmat yang Allah berikan kepada manusia, yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan dan Allah ta’ala telah menjadikannya dzat yang digunakan untuk bersuci dari hadats besar ataupun kecil.Dengan memohon taufiq Alah ta’ala berikut ini saya sampaikan 7 macam air yang bisa digunakan untuk bersuci beserta dalilnya. Semoga tulisan sederhana ini kembali menggugah ingatan kita saat masih duduk di bangku TPA mendengarkan penjelasan ustadz/ah tentang macam-macam air yang boleh digunakan untuk bersuci.
1) Air Hujan atau Air yang turun dari langit. Dalil yang menunjukkan bolehnya bersuci dengan air adalah firman Allah ta’ala
وَيُنَزِّلُعَلَيْكُمْمِنَالسَّمَاءِمَاءًلِيُطَهِّرَكُمْبِهِ
dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu (Al Anfal 11)
2) Air laut. Bolehnya menggunakan air laut untuk bersuci berdasarkan sebuah hadits
سألرجلرسولاللهصلىاللهعليهوسلمفقال :يارسولاللهإنانركبالبحرونحملمعناالقليلمنالماءفإنتوضأنابهعطشناأفنتوضأبماءالبحر؟فقالرسولاللهصلىاللهعليهوسلم :هوالطهورماؤهالحلميتته
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam pernah ditanya oleh seorang laki-laki, wahai Rasulullah! Kami mengarungi lautan , dan kami hanya membawa sedikit air tawar. Jika kami berwudhu dengan menggunakan air tawar yang kami bawa, maka kami akan kehausan karena kehabisan air tawar. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut.? Rasulullah shalallahu alaihi wa salam menjawab: laut itu suci airnya[2], dan bangkai hewan yang hidup di laut adalah halal (bangkai terapung ataupun tidak selama tidak memberikan madharatbagi kesehatan[3]) (diriwayatkan oleh Ashabu Sunan, dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam silsilah shahihah 1/786)
3) Air Sungai. Bolehnya menggunakan air sungai untuk berwudhu berdasarkan ijma[4]. Dan ijma adalah 1 diantara landasan hukum islam,
4) Air Sumur. Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam:

الْمَاءُطَهُورٌلاَيُنَجِّسُهُشَىْءٌ
Pada asalnya air itu suci dan mensucikan, tidak bisa dinajiskan oleh barang apapun.
Demikian jawaban Rasulullah shalallahu alaihi wa salam ketika ditanyakan kepada beliau tentang air sumur budho’ah yang digunakan untuk berwudhu (HR Ashabu Sunan dishahihkan oleh Imam Ahmad Rahimahullahu)
5) Air yang keluar dari mata air
6) Air ES
7) Air Embun[5]
Sekian yang bisa kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi saya dan seluruh kaum muslimin, yang salah dari tulisan ini berasal dari saya pribadi dan syaitan sehingga jika diantara kalian ada yang mengetahui kesalah saya dalam tulisan ini, hendaknya dia menasehati saya. Adapun kebenaran mutlak datangnya dari Allah ta’ala
Alhamdulillah aladzi bi ni’matihi tatimus shalihaat
[1] Diambil dari matan Al Ghoyah wa Taqrib karya Al Qodhi Abi Syuja’ ta’liq Majid Al Hamawi Rahimahummalalhu dengan tambahan penjelaasann dari Ustadz kami tercinta Abu Ukasyah Aris Munanda SS Hafidzhahullahu
[2] Potongan hadits yang kami tebalkan adalah dalil yang menunjukkan bahwa air laut itu boleh digunakan untuk bersuci karena air laut itu suci
[3] lafadz hadits ini bersifat umum tidak membedakan antara bangkai hewan laut yang terapung ataupun tidak. Adapaun larangan mengkonsumsi hewan laut yang berbahaya bagi kesehatan, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa salam
عنأبيسعيدسعدبنمالكبنسنانالخدريرضياللهتعالىعنهأنرسولاللهصلىاللهوعليهوآلهوسلمقال :لاضررولاضرار
“Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“ (HR Ibnu Majah)
[4] Sebagaimana yang dikatakan Maji Al Hamawy pada syarah beliau untuk kitab Matan Abi Syuja’
[5] Penulis matan Al Ghoyatu Taqrib tidak mencantumkan nash jelas berkaitan dengan bolehnya menggunakan air es, embun dan mata air untuk berwudhu. Akan tetapi terdapat dalil umum yang mengindikasikan hal itu, sebagaimana hadits pada point ke 4.Berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa hukum asal air adalah suci dan mensucikan. Sehingga jika dikatakan bahwa satu jenis air tidak bisa digunakan untuk bersuci, maka wajib mendatangkan dalil.. Allahu a’lam






















BAB VI

macam-macam mandi (muslim)
A.Mukaddimah
Apabila seseorang suami bercumbu dengan isterinya, sama ada zakar masuk atau tidak ke dalam faraj, yang mengakibatkan timbul kegairahan nafsu seks dan mengeluarkan airmani atau airmazi, maka kedua suami isteri tersebut wajib mandi hadas.
Niat. ” Sengaja  aku mandi junub / hadas besar untuk mensucikan diriku, kerana Allah Ta’ala “
Untuk Perempuan selepas datang haid.
Untuk Haid. ” Sengaja aku mandi haid untuk sucikan diriku, kerana Allah Ta’ala.”
Untuk Nifas,
” sengaja aku mandi hads nifas untuk mensucikan diriku, kerana Allah Ta’ala.”
Mandi Junub
Disini diserta sedikit pengetahuan tentang Mandi Hadas Besar atau Mandi JunubYang Diwajibkan atas Setiap Orang Muslimin dan Muslimat
Dalam Al-Quran Surah Al-Maedah Ayat 5 berbunyi, ” Dan jika kamu berjunub maka mandilah kamu.”
Orang-orang yang wajib mandi junub / Hadas Besar ialah:
Mandi Hadas
Mandi hadas ini adalah diwajibkan keatas seseorang yang baru selesai bersetubuh diantara lelaki atau perempuan atau orang-orang yang keluar air mani baik melalui mimpi atau sengaja, yaitu melalui  onani/ mastubasi / khayalan seks dan sebagainya.
Wajib Mandi Hadas: Walau pun tidak keluar air mani, tetapi keluar air mazi, atau lendir putih atau kegairahan memuncak sehingga zakar / clitoris membengkak dan merangsang 120 %, maka adalah lebih baik mandi hadas – Insya Allah selamat.
Niat Mandi Junub / Hadas Besar ialah, ” Sengaja aku mandi junub/ hadas besar mensucikan diri aku, karena Allah Taala.” kemudiian siramkan air dimulai atas kepala hingga bersih semua badan. Macam mandi biasa juga.
Mandi Haid
Setiap wanita yang kedatangan kotor atau haid dan sudah bersih sepenuhnya, maka wajiblah ia membersihkan diri, wajiblah ia mandi haid.
Haid artinya darah yang wajib keluar dari faraj ( kemaluan ) perempuan yang sudah cukup umur.

Mandi Nipas.
Seseorang wanita yang bersalin dan sudah bersih darahnya.Maksudnya darah ‘beranaknya’ sudah kering.Ada yang 40 hari dan ada yang 60 hari.Maka ibu tersebut wajib mandi nifas untuk membershikan diri.
Ketiga-tiga benduk mandi Hadas, Mandi Haid dan Mandi Nifas ini disebut juga sebagi mandi hadas besar.
Orang-orang yang belum mandi hadas besar ini tidak boleh membuat sesuatu perkara seprti menyentuh Al-Quran, Sembahyang, Puasa atau Tawaf.
Darah Istihadzah
Darah Istihadzah ialah darah penyakit yang keluar dari faraj / rahim perempuan bukan pada waktu kedatangan haid. Malah ia keluar terus menerus.
Mengikut pendapat doktor, darah ini disebabkan sesuatu penyakit di dalam rahim, mungkin pendarahan pada dinding rahim, luka pada rahim atau sebagainya.
Pada pandangan doktor, persetubuhan diwaktu ini tidak dianjurkan. Dikhuatiri penyakit akan bertambah parah atau menjadi infeksi kuman atau sebagainya..
Niat Mandi
Seseorang yang sedang dalam berjunub dan yang belum suci baik daripada bersetubuh, haid, nifas, onani maka  wajiblah ia mensucikan dirinya dengan mandi wajib.kalau tidak ada air, hendalkah ia bertayamum, sama ada dengan tanah atau pasir.Untuk Lelaki selepas keluar air mani / selesai bersetubuh bagi wanita.
B.HUKUM DAN KEDUDUKAN MANDI BESAR
Adapun yang berkaitan dengan mandi besar yaitu menyiram sekujur tubuh dengan air. Dasarnya adalah firman Allah Ta?ala :
“Dan jika kamu junub maka mandilah” (Al Maidah : 6).
Dan firman Allah :
“(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi” (An Nisa : 43).
Mandi besar itu terbagi kepada wajib dan sunat :
1) Adapun mandi besar yang diwajibkan, adalah mandi yang dilakukan setelah bersetubuh, baik mani keluar atau tidak keluar, maka wajib baginya mandi disebabkan hanya semata masuknya (tenggelam) kepala zakar (ke vagina) walaupun sesaat, berdasarkan kepada hadits Abi Harairah -semoga Allah meridhainya- ia berkata : telah bersabda Rasulullah -shallallahu ?alaihi wa sallam- :
“Apabila laki-laki telah duduk diantara anggota tubuhnya yang empat kemudian ia bersungguh-sungguh (memasukkan kemaluannya), maka wajiblah mandi”
[HR Bukhari dan Muslim, ditambah Muslim : Walaupun tidak keluar mani]
Wanita dalam hal itu (wajibnya mandi setelah setubuh) seperti laki-laki.
Begitu juga, wajib mandi dikarenakan seseoarang mimpi setubuh, lalu mendapati bekas mani, berdasarkan kepada hadits Ummu Salamah bahwasanya Ummu Sulaim istri Abi Thalhah, bertanya kepada Rasulullah, ia berkata: Sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah mandi diwajibkan atas wanita bila ia bermimpi? Beliau bersabda:
“Ya, apabila ia mendapati air (air mani/ basah)” [H.R. Bukhari dan Muslim]
2) Adapun mandi besar yang disunatkan (mandi besar yang dianjurkan) diantaranya :
Mandi hari Jum?at, mandi untuk shalat Jum?at ini hukumnya sunat muakat (ditekankan), kecuali bagi orang yang punya bau yang tidak enak dan menusuk hidung, maka wajiblah untuk mandi, berdasarkan hadits Abi said Al Khudri -semoga Allah meridhainya- ia berkata : telah bersabda Rasulullah -shallallahu ?alaihi wa sallam- :
“Mandi hari Jum?at adalah wajib atas setiap orang yang telah mimpi (baligh)” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Dan berdasarkan hadits Samurah bin Jundub -semoga Allah meridhainya- ia berkata : telah bersabda Rasululullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
“Barangsiapa yang wudhuk pada hari Jum?at maka itu adalah bagus, dan barangsiapa mandi, maka mandi itu adalah yang lebih afdhal’ [H.R. Tirmizi]
C.Cara Mandi Sunnah Rasulullah SAW
bismillahirrahmanirrahim
Jenis mandi yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW diantaranya adalah:
1.Mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah SAW mencontohkan melakukan mandi 
sebelum berangkat ke tanah lapang untuk menunaikan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha.
   2. Mandi ketika ihrom untuk haji atau umroh.
   3. Mandi ketika masuk Mekkah.
   4. Mandi ketika sadar dari pingsan.
   5. Mandi ketika ingin mengulangi jima (bersenggama dengan istri).
   6. Mandi setiap kali sholat untuk wanita yang sedang mengeluarkan darah akibat sakit.
   7. Mandi setelah memandikan mayit.
   8. Mandi sebelum sholat Jum’at. Beberapa hal penting terkait mandi Jum’at ini adalah:
          * Mandi ini dimaksudkan untuk membersihkan diri sebelum sholat Jum’at, jadi bukan untuk menghormati hari Jum’at itu sendiri
          * Terkait hal diatas, maka mandi ini disunnahkan hanya untuk orang yang akan menghadiri sholat Jum’at
          * Banyak ulama yang mewajibkan mandi ini. Jadi, sebaiknya kita biasakan selalu melakukannya
          * Waktu mandi Jum’at dimulai setelah terbit matahari, namun lebih baik jika ketika akan pergi ke mesjid untuk sholat Jum’at.
* Mandi Jum’at ini boleh dilakukan dengan digabungkan dengan mandi junub, asalkan dilakukan setelah terbit matahari.

Wallahu’alam bisshawab.

alhamdulillahirabbilalamin

Referensi:

   1. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, “Seseorang pernah bertanya pada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengenai mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.”Orang tadi berkata, “Bukan.Maksudku, manakah mandi yang dianjurkan?”‘Ali menjawab, “Mandi pada hari Jum’at, hari ‘Arofah, hari Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al Baihaqi 3/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ 1/177)
   2. Riwayat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari Idul Fithri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Muwatho’ 426.An Nawawi menyatakan bahwa atsar ini shahih
   3. Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas pakaian beliau yang dijahit, lalu beliau mandi.” Abu Isa At Tirmidzi berkata, “Ini merupakan hadits hasan gharib. Sebagian ulama menyunahkan mandi pada waktu ihram.Ini juga pendapat Asy Syafi’i.”(HR. Tirmidzi no. 830.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Anjuran untuk mandi ketika ihrom ini adalah pendapat mayoritas ulama
   4. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Nafi’ berkata,“Ibnu Umar tidak pernah memasuki kota Makkah kecuali ia bermalam terlebih dahulu di Dzi Thuwa sampai waktu pagi datang. Setelah itu, ia mandi dan baru memasuki kota Makkah pada siang harinya. Ia menyebutkan bahwa hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau melakukannya.” (HR. Muslim no. 1259)
5. Ibnul Mundzir mengatakan, “Mandi ketika memasuki Mekkah disunnahkan menurut kebanyakan ulama.Jika tidak dilakukan, tidak dikenai fidyah ketika itu.Kebanyakan ulama mengatakan bahwa mandi ketika itu bisa pula diganti dengan wudhu.”
   6. Dari ‘Aisyah RA,Dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Aku masuk menemui ‘Aisyah aku lalu berkata kepadanya, “Maukah engkau menceritakan kepadaku tentang peristiwa yang pernah terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit?” ‘Aisyah menjawab, “Ya. Pernah suatu hari ketika sakit Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semakin berat, beliau bertanya: “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum, mereka masih menunggu tuan.” Beliau pun bersabda, “Kalau begitu, bawakan aku air dalam bejana.” Maka kami pun melaksanakan apa yang diminta beliau. Beliau lalu mandi, lalu berusaha berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan.Ketika sudah sadarkan diri, beliau kembali bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.”Beliau lalu duduk dan mandi.Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan lagi.Ketika sudah sadarkan diri kembali, beliau berkata, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab lagi, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.”Beliau lalu duduk dan mandi.Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh dan pingsan lagi.Ketika sudah sadarkan diri, beliau pun bersabda, “Apakah orang-orang sudah shalat?”Saat itu orang-orang sudah menunggu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid untuk shalat ‘Isya di waktu yang akhir. (HR. Bukhari no. 687 dan Muslim no. 418)
   7. Abu Rofi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?”Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.”(HR. Abu Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
   8. Dari Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim no. 308)
   9. Dari ‘Aisyah RA, “Ummu Habibah mengeluarkan darah istihadhah (darah penyakit) selama tujuh tahun. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah itu. Beliau lalu memerintahkan kepadanya untuk mandi, beliau bersabda, “Ini akibat urat yang luka (darah penyakit).”Maka Ummu Habibah selalu mandi untuk setiap kali shalat.” (HR. Bukhari no. 327 dan Muslim no. 334)
  10. Dari Abu Hurairah, “Setelah memandikan mayit, maka hendaklah mandi dan setelah memikulnya, hendaklah berwudhu.” (HR. Tirmidzi no. 993. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
  11. “Barangsiapa memandikan mayit, maka hendaklah ia mandi. Barangsiapa yang memikulnya, hendaklah ia berwudhu.”(HR. Abu Daud no. 3161. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
  12. Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa menghadiri shala Jum’at baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan yang tidak menghadirinya –baik laki-laki maupun perempuan-, maka ia tidak punya keharusan untuk mandi”. (HR. Al Baihaqi, An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih).” Demikian nukilan dari An Nawawi.
  13. “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi.” (HR. Bukhari no. 919 dan Muslim no. 845)
  14. “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim adalah ia mandi dalam satu hari dalam sepekan dari hari-hari yang ada.” (HR. Bukhari no. 898 dan Muslim no. 849)
  15. “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.”(HR.An Nasai no. 1380, At Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091). Hadits ini diho’ifkan oleh sebagian ulama.
  16. “Barang siapa berwudhu’ kemudian menyempurnakan wudhu’nya lalu mendatangi shalat Jum’at, lalu dia mendekat, mendengarkan serta berdiam diri (untuk menyimak khutbah), maka akan diampuni dosa-dosanya di antara hari itu sampai Jum’at (berikutnya) dan ditambah tiga hari setelah itu. Barang siapa yang bermain kerikil, maka ia telah melakukan perbuatan sia-sia.”(HR. Muslim no. 857)
  17. “Barangsiapa yang mandi kemudian mendatangi Jum’at, lalu ia shalat semampunya dan diam (mendengarkan khutbah) hingga selesai, kemudian ia lanjutkan dengan shalat bersama Imam, maka akan diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya) antara hari itu dan hari jum’at yang lain. Dan bahkan hingga lebih tiga hari.” (HR. Muslim no. 857)

D.Cara Mandi Wajib Rasulullah SAW
Mandi adalah aktivitas yang selalu dibutuhkan oleh manusia.Mandi memberikan perasaan bersih dan percaya diri.Dalam tuntunan Rasulullah SAW, ada 2 jenis mandi, yaitu mandi yang diwajibkan dan mandi yang disunnahkan. Dalam posting ini akan dijelaskan mengenai mandi yang diwajibkan.
Mandi wajib dilakukan jika terjadi hal-hal di bawah ini:
   1. Keluarnya mani dengan syahwat. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa mandi diwajibkan hanya jika keluarnya mani secara memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi jika keluarnya karena kedinginan atau sakit, tidak ada kewajiban mandi. Tapi biar aman, tetap mandi saja :-D
   2. Jika bangun tidur dan mendapati keluarnya mani. Ulama berpendapat bahwa selama kita bangun dan mendapati adanya mani, maka kita wajib mandi, walaupun kita tidak sadar atau lupa telah mimpi basah  atau tidak.
   3. Setelah bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
   4. Setelah berhentinya darah haidth dan nifas.
   5. Ketika orang kafir masuk islam.
   6. Ketika seorang muslim meninggal dunia. Tentu saja yang memandikannya adalah yang orang yang masih hidup :-) Mayat muslim wajib dimandikan kecuali jika ia meninggal karena gugur di medan perang ketika berhadapan dengan orang kafir.
   7. Ketika bayi meninggal karena keguguran dan sudah memiliki ruh.
Cara-cara mandi wajib (atau disebut juga mandi junub atau janabah) yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
    1. Berniat mandi wajib dan membaca basmalah.
   2. Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak 3 kali
   3. Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri
   4. Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan tangan ke tanah atau
dengan menggunakan sabun
   5. Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat
   6. Mengguyur air pada kepala sebanyak 3 kali hingga sampai ke pangkal rambut
   7. Mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri
   8. Menyela-nyela (menyilang-nyilang) rambut dengan jari
   9. Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan, lalu kiri.

untuk wanita, ada beberapa tambahan sebagai berikut:
   1. Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air
   2. Melepas kepang rambut agar air mengenai pangkal rambut
   3. Ketika mandi setelah masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain
untuk mengusap tempat keluarnya darah untuk menghilangkan sisa-sisanya.
   4. Ketika mandi setelah masa haidh, disunnahkan juga mengusap bekas darah pada kemaluan setelah
mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau 
yang tidak enak karena bekas darah haidh

Tambahan lain mengenai mandi wajib yang sering ditanyakan:
1. Jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
2. Setelah mandi wajib, diperbolehkan mengeringkan tubuh dengan kain atau handuk
3. Berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah sunnah menurut mayoritas ulama.
Referensi:
1. “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
2. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
3. “Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
 4. Dari Aisyah RA, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan[6]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
5. “Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)
6. “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
7. Dari Aisyah RA, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)
8. Dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, “Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR.An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
9. “Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939)
10. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
11. “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907) 12. “Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR.An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
13. Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)
14. “Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)
15. “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
16. Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
17. Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali.Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya.Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah.Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya.Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya.Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)
18. An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”
19. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib.Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”
20. Dari Aisyah RA, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali.Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)
21. Dari Aisyah RA, “Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)
22. Dari Aisyah RA, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”  (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
 23. Dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
24. Dari Aisyah RA, “Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya.Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi.Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya.Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?”Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)
25. Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
26. Dari Ibnu ‘Umar, Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf
27. Dalam hadits Maimunah, “Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276)







BAB VII

A.MACAM MACAM NAJIS
Oleh: AsianBrain.com Content Team
Macam-macam najis dibicarakan dalam Islam, mulai dari pembagian najis dan bagaimana tata cara menghilangkan.
Dengan demikian, hal tersebut menjadi salah satu pedulinya Islam akan kebersihan diri.
Najis yang secara syara’ siartikan sebagai benda yang kotor, ada beberapa, di antaranya:
    1. Bangkai, keculai manusia, ikan dan belalang
   2. Darah
   3. Nanah
   4. Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur
   5. Anjing dan Babi
   6. Bagian anggota badan binatang yang terpisah karena dipotong dan sebagainya, selagi masih hidup
B. Pembagian Najis
Najis dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yakni:
1. Najis Mukhaffafah (ringan)
Ialah air kencing bayi laku-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan seseuatu kecuali air susu ibunya.
2. Najis Mugallazhah (besar)
Adalah najis anjing dan babi dan keturunannya.
3. Najis Mutawassithah (sedang)
Adalah najis yang selain dari dua najis tersebut di atas, seperti segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan bianatang, kecuali air mani, barang cair yang memabukkan, susu hewan yang tidak halal dimakan, bangkai, juga tulang dan bulunya, kecuali bangkai-bangkai manusia dan ikan serta belalang.
Najis mutassithah dibagi menjadi dua:
Najis ‘ainiyah
Ialah najis yang berujud/terlihat
Najis hukmiyah
ialah najis yang tidak kelihata bendanya, seperti bekas kencing, atau arak yang sudah kering dan sebagainya.

C. Cara Menghilangkan Najis
  1. Barang yang kena najis mugallazhah seperti jilatang anjing atau babi, wajib dibasuh 7 kali dan salah    satu di antaranya dengan air yang bercampur tanah.
   2. Barang yang kena najis mukhaffafah, cukup diperciki air pada tempat najis itu.
   3. Barang yang terkena najis mutawassithah dapat suci dengan cara dibasuh sekali, asal sifat-sifat najisnya (warna, baud an rasanya) itu hilang. Adapun dengan cara, tiga kali cucian atai siraman lebih baik.
Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan najis, semoga uraian di atas bermanfaat.
D.Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya.
Saat ini, banyak ummat Islam yang tidak mengerti dan tidak tahu akan ajaran agamanya. Bayangkan bagaimana jadinya generasi Islam beberapa tahun mendatang, bila anak-anak muda dan remaja saat ini kelak menjadi orang tua?
Jangankan perihal yang rumit-rumit semisal ushul fiqih, kajian hadist dan sebagainya, perkara najis pun banyak yang tidak mengerti. Padahal besar sekali kaitannya dengan ibadah utama kita, SHOLAT.
Najis (Najasah) menurut bahasa artinya adalah kotoran.Dan menurut Syara' artinya adalah sesuatu yang bisa mempengaruhi Sahnya Sholat.Seperti air kencing dan najis-najis lain sebagainya.
Najis itu dapat dibagi menjadi Tiga Bagian :
1. Najis Mughollazoh. ( مُــخـــلَّــــظَـــةَ )
Yaitu Najis yang berat.Yakni Najis yang timbul dari Najis Anjing dan Babi.
Babi adalah binatang najis berdasarkan al-Qur`an dan Ijma' para sahabat Nabi (Ijma'ush Shahabat) (Prof Ali Raghib, Ahkamush Shalat, hal. 33). Dalil najisnya babi adalah firman Allah SWT [artinya] : "Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor (rijsun)." (QS Al-An'aam [6] : 145)
Adapun tentang najisnya Anjing, dapat dilihat dari salah satu hadist, Rasulullah SAW Bersabda : Jika seekor anjing menjilat bejana salah satu dari pada kamu sekalian, maka hendaknya kamu menuangkan bejana itu (Mengosongkan isinya) kemudian membasuhnya 7X ( Diriwayatkan oleh Imam Muslim Al Fiqhu Alal Madzhahibilj Juz I Hal.16) .
jika binatang itu termasuk jenis yang najis (babi dan juga anjing), maka semua bagian tubuhnya adalah najis, tidak peduli apakah dalam keadaan hidup atau mati. (Abdurrahman Al-Baghdadi, Babi Halal Babi Haram, hal. 47).Imam al-Kasani dalam kitabnya Bada'i'ush Shana'i` fii Tartib asy-Syara'i' (I/74) mengatakan bahwa babi adalah najis pada zatnya dan babi tidak dapat menjadi suci jika disamak.
Cara mensucikannya ialah harus terlebih dahulu dihilangkan wujud benda Najis tersebut.Kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai 7 kali dan permulaan atau penghabisannya diantara pencucian itu wajib dicuci dengan air yang bercampur dengan Tanah (disamak). Cara ini berdasarkan Sabda Rasul :
طَــهُوْرُإِنَّـاءِأَحَـدِكُـمْإِذَاوَلَــغَفِــيْـهِالْـكَــلْبُأَنْيــَـغْـسِـلَــهُسَــبْـعَمَـرَّاتٍأَوْلاَهُنَّأَوْأُخْـرَاهُنَّبِـالـتُّــرَابٍ
"Sucinya tempat (perkakas) mu apabila telah dijilat oleh Anjing, adalah dengan mencucikan tujuh kali. Permulaan atau penghabisan diantara pencucian itu (harus) dicuci dengan air yang bercampur dengan Tanah". (H.R. At-Tumudzy)

2. Najis Mukhofafah.
Ialah najis yang ringan, seperti air kencing Anak Laki-laki yang usianya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air Susu Ibunya.
Cara membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang terkena Najis tersebut sampai bersih betul. Kita perhatikan Hadits dibawah ini :
يُــغْسِـلُمِنْبَــوْلِالْـجَاريَــةِ،وَيُـرَشُمِنْبَــوْلِالْـغُــلاَمِ
"Barangsiapa yang terkena Air kencing Anak Wanita, harus dicuci.Dan jika terkena Air kencing Anak Laki-laki.Cukuplah dengan memercikkan Air pada nya". (H.R. Abu Daud dan An-Nasa'iy)
Tapi tidak untuk kencing anak perempuan, karena status kenajisannya sama dengan Najis Mutawassithah ( مُـــتــــوَسِّــطَــــةْ )
3. Najis Mutawassithah ( مُـــتــــوَسِّــطَــــةْ )
Ialah Najis yang sedang, yaitu kotoran Manusia atau Hewan, seperti Air kencing, Nanah, Darah, Bangkai, minuman keras ; arak, anggur, tuak dan sebagainya (selain dari bangkai Ikan, Belalang, dan Mayat Manusia). Dan selain dari Najis yang lain selain yang tersebut dalam Najis ringan dan berat.


Cara mensucikannya perhatikan dibawah ini :
Najis Mutawassithah itu - terbagi Dua :
1. Najis 'Ainiah, yaitu Najis yang bendanya berwujud.
Cara mensucikannya.Pertama menghilangkan zat nya terlebih dahulu.Sehingga hilang rasanya.Hilang baunya.Dan Hilang warnanya.Kemudian baru menyiramnya dengan Air sampai bersih betul.
2. Najis Hukmiah, yaitu Najis yang bendanya tidak berwujud :
seperti bekas kencing. Bekas Arak yang sudah kering.
Cara mensucikannya ialah. Cukup dengan mengalir kan Air pada bekas Najis tersebut.
Najis Yang dapat di Ma'afkan. Antara lain :
1. Bangkai Hewan yang darahnya tidak mengalir.Seperti nyamuk, kutu busuk.Dan sebangsanya.
2. Najis yang sedikit sekali.
3. Nanah. Darah dari Kudis atau Bisul kita sendiri.
4. Debu yang terbang membawa serta Najis dan lain-lain yang sukar dihindarkan.
Najis menurut Madzhab Syafi’i
Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan atau mencuci bagian yang terkena oleh najis itu.
Allah Swt berfirman: “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Muddatsir : 4)
Di ayat lainnya Allah Swt menyatakan: “Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah : 222)
Rasulullah Shollallohu’alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Kesucian itu sebagian dari iman” (HR. Muslim)
Pembagian Najis
Najis terbagi menjadi tiga yaitu:
* Najis Mukhoffafah (Najis Ringan)
      Najis mukhoffafah atau najis ringan ialah kencing bayi yang umurnya belum dua tahun dan belum makan sesuatu selain dari susu ibunya (susu yang dicampur gula atau tepung itu hukumnya seperti selain susu).
 * Najis Mugholladzoh (Najis Berat)
Najis mugholladhoh atau najis berat ialah anjing dan babi dan keturunan dari keduanya atau salah satu dari keduanya.
 * Najis Mutawassitah (Najis Sedang)
Najis mutawasitah adalah najis selain dari najis mukhoffafah dan najis mugholladzoh.

Najis Mutawassithah dibagi menjadi dua:

    * Najis ‘Ainiyah (Tampak)
Yaitu najis yang berwujud/terlihat.
    * Najis Hukmiyah (Tidak tampak)
Yaitu najis yang tidak kelihatan bendanya, seperti bekas kencing, atau arak yang sudah kering dan sebagainya.
Segala Sesuatu Asalnya Hukumnya Suci
Terdapat suatu kaedah penting yang harus kita perhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci.Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil.Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci.Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.
E.Beberapa Macam Najis Berdasarkan Klasifikasinya:
Anjing
Anjing adalah hewan yang dianggap najis menurut pandangan  Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal. Sesuatu atau benda yang terjilat olehnya harus dicuci sebanyak tujuh kali, yang salah satunya adalah dengan menggunakan (dicampur) tanah.
Berdasarkan sebuah hadist: “Apabila ada anjing menjilati bejana (tempat makan minum) salah seorang diantara kalian, maka hendaknya membuang isinya dan mencuci bejana itu sebanyak tujuh kali yang pertama dengan (campuran) tanah. “(HR. Muslim)
Babi
Semua tubuh Babi najis meskipun disembelih menurut syariat Islam.
Allah Swt berfirman:  “Diharamkan bagi kalian (makanan) bangkai, darah dan daging babi” (Al-Maidah : 3)
Kotoran Manusia dan Kencing Manusia
Adapun najisnya kotoran manusia, berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak najis dengan sandalnya, maka tanah adalah pensucinya.”( HR. Abu Daud. Hadist Sahih)
Sedangkan keterangan yang menunjukan air kencing manusia itu najis dari riwayat Anas ra, bahwa seorang Arab badui kencing di masjid, lalu para sahabat berdiri (marah) kepadanya, kemudian Rasulullah saw bersabda : “Biarkan ia, jangan kalian menghentikannya!” (Anas ra berkata, “Setelah selesai beliau memerintahkan mengambil an satu ember air, lalu disiramkan di atasnya. “(HR. Bukhari Muslim)
Bangkai
Bangkai adalah hewan yang matitanpa disembelih secara syari’at.Bangkai tersebut najis berdasarkan ijma. Nabi saw bersabda : “Jika kulit bangkai telah dimasak, maka ia menjadi suci.”

Darah dan Nanah
Semua jenis darah termasuk nanah adalah najis. Dikecualikan:
 * Sisa darah dalam daging, urat-urat dan tulang hewan yang telah disembelih, atau darah ikan. Atapun darah yang tampak ketika memasak daging, maka hal itu tidak mengapa (ma’fu anhu).Aisyah ra berkata: “Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah yang menempel pada kuali.” Darah atau nanah sedikit yang berasal dari bisul atau luka sendiri (bukan luka orang lain).
 * Dalilnya seperti dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan:“Bahwa orang-orang muslim pada permulaan datangnya Islam, mereka mengerjakan shalat dalam keadaan luka. Seperti Umar bin Khaththab yang mengerjakan shalat, sedang darah lukanya mengalir.”Darah nyamuk, kutu kepala atau binatang kecil lainnya yang darahnya tidak mengalir.
Benda Cair Yang Memabukkan
Ketika membicarakan permasalahan ini banyak ulama yang merujuk kepada hukum khamar (arak).Jumhur Madzhab empat (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali sepakat terhadap kenajisan khamar.Pendapat yang demikian ini dibenarkan penisbatanya kepada mereka oleh Imam Ibnu Taimiyah.Karena khamar itu nasji ainnya (dzatnya), maka mereka berpendapat haram menjadikanya sebagai komoditas jual beli. Karena adanya hadits yang menyebutkan : “Sesungguhnya Allah yang mengaharmkan meminumnya, juga mengharamkannya menjualnya”.
Muntah
Muntah manusian najis baik orang dewasa atau anak ila hanya sedikit maka hal itu dimaafkan (tidak najis).
Dalam Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq maupun dalam Al-Majmu karya Imam Nawawi, atau kitab fikih lainnya menyebutkan bahwa muntah itu najis dan menjadi kesepakatan para ulama (Ittifaq Ulama).Namun tidak disebutkan dalil yang menunjukan dalil najisnya muntah.Sehingga sebagisn ahli fikih kontemporer semisal Syeikh Albany, Syaikh Kamil Uwaidah bahwa muntah itu suci karena tidak ada dalil yang menunjukan najis.
Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”
Madzi
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’.Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat.Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”
Apabila ada sesuatu yang diragukan najis atau suci nya, maka hendaklah kita cari dalil tentang kenajisannya.Apabila tidak ada dalil yang menyebutkaan bahwa sesuatu itu najis, maka kita kembalikan pada hukum asalnya bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya suci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar