AGAMA
ISLAM
OLEH : MOHAMMAD
MAULANA KUSUMA WARDANA
NIP :
50.2010.367
FAKULTAS : HUKUM
Kelas :
DOSEN : DRS.MUDIRNITA’IM
Kata
Pengantar
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat
Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah Agama islam kemuhammadiyahan II.
Penulisan makalah
adalah merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah ini yang dijadikan
pembelajaran.
Dalam Penulisan makalah ini penulis
merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah
memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan
dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamin
Palembang , 13 mei 2011
penulis
DAFTAR ISI
Kata
pengantar……………………............................................1
BAB
I………………………………………………………...….2
A)Penjelasan rukun
Iman..………………………………………2
B)Iman kepada Qadar ada
4 tungktan….………………………..4
BAB
II…………………………………….………………..……5
Rukan
Islam……………………………………………..............5
A)Pengertian Rukun
islam………………………………………5
B)makna islam……………………………….…………………..6
c)makna dan hakikat
rukun islam……………………………….16
BAB
III………………………………………..……………,,.…17
Tayamum……………………………………………………,,...17
A)pengertian
Tayamum………………………………………,…17
B)sebab melakukan
Tayamum…………………………………..17
C)Syarat sah
Tayamum…………………………...……………...17
D)Sunah ketika
tayamun………………………..…………….…18
E)Rukun
Tayamum……………………………………………....18
F)Tata cara praktek
tayamum……………………..……………..18
BAB
IV……………………………………………….………………..20
WUDHU…………………………………………………………20
A)Pengertian
wudhu………………………..…………………....20
B)Hukum
wudhu……………………………..…………….…….20
C)Hikmah
wudhu……………………………………..………………….….20
BAB
VI……………………………………………………..............…41
A)MUkaddimah……………………………………………….…41
B)hukum dan kedudukan
mandi besar…………………………….42
C)Cara mandi sunah
rasulullah……………………………………43
D)Cara mandi wajib
Rasulullah……………………………….…..46
BAB
VII……………………………………….………..…….…..52
A)Macam-macam
najis………………………………………..…..52
B)Pembagian
najis…………………………….……………….….52
C)Cara menghilangkan
najis…………………….………..…….…53
D)macam najis dan cara
mensucikannya………………………….53
E)Berapa macam najis
dan klafikasi nya…………………………..56
BAB I
A.Penjelasan
Rukun Iman
(Aqidah,
Islam, Muslim, Tauhid, www.mediamuslim.info)
Sebagai
salah satu syarat dari iman adalah adanya keyakinan.Dan keyakinan tersebut
dapat muncul dari pengetahuan atau ilmu tentang hal tersebut.Dan masalah
tersebut telah dijelaskan oleh para ulama dengan penjelasan yang tuntas dan
sangat jelas bagi umat.
1.Iman
kepada Allah Subhanallohu wa Ta’ala
Kita
mengimani Rububiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, artinya bahwa Allah adalah Rabb:
Pencipta, Penguasa dan Pengatur segala yang ada di alam semesta ini. Kita juga
harus mengimani uluhiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala artinya Allah adalah Ilaah
(sembahan) Yang hak, sedang segala sembahan selain-Nya adalah batil. Keimanan
kita kepada Allah belumlah lengkap kalau tidak mengimani Asma’ dan Sifat-Nya,
artinya bahwa Allah memiliki Nama-nama yang maha Indah serta sifat-sifat yang
maha sempurna dan maha luhur.
Dan
kita mengimani keesaan Allah Subhanallohu wa Ta’aladalam hal itu semua, artinya
bahwa Allah Subhanallohu wa Ta’ala tiada sesuatupun yang menjadi sekutu
bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, maupun dalam Asma’ dan sifat-Nya.
Firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: “(Dia adalah) Tuhan seluruh langit dan
bumi serta semua yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh
hatilah dalam beridat kepada-Nya. Adakah kamu
mengetahui
ada sesuatu yang sama dengan-Nya (yang patut disembah)?”. (QS. Maryam: 65)
Dan
firman Allah, yang artinya: “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan
Dia-lah yang maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS. Asy-Syura:11)
2.
Iman Kepada Malaikat
Bagaimana
kita mengimani para malaikat ?mengimani para malaikat Allah yakni dengan
meyakini kebenaran adanya para malaikat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan para
malaikat itu, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: ”Sebenarnya
(malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah mereka
itu mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.”
(QS. Al-anbiya: 26-27)
Mereka
diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka mereka beribadah kepada-Nya dan
mematuhi segala perintah-Nya. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’, yang artinya: ”
…Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tidak bersikap angkuh untuk
beribadah kepada-Nyadan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih
malam dan siang tiada henti-hentinya.“ (QS. Al-Anbiya: 19-20).
3.
Iman Kepada Kitab Allah
Kita
mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan kepada rasul-rasul-Nya
kitab-kitab sebagai hujjah buat umat manusia dan sebagai pedoman hidup bagi
orang-orang yang mengamalkannya, dengan kitab-kitab itulah para rasul
mengajarkan kepada umatnya kebenaran dan kebersihan jiwa mereka dari
kemuysrikan. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’, yang artinya: ”Sungguh, kami telah
mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami
turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) agar manusia
melaksanakan keadilan… “ (QS. Al-Hadid: 25)
Dari
kitab-kitab itu, yang kita kenal ialah
:
1. Taurat, yang Allah turunkan kepada
nabi Musa alaihi sallam, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah: 44.
2.
Zabur, ialah kitab yang diberikan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Daud
alaihi sallam.
3.
Injil, diturunkan Allah kepada nabi
Isa, sebagai pembenar dan pelengkap Taurat. Firman Allah : ”…Dan Kami telah
memberikan kepadanya (Isa) injil yang berisi petunjuk dan nur, dan sebagai
pembenar kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, serta sebagai petunjuk dan
pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS : Al-Maidah : 46)
4.
Shuhuf, (lembaran-lembaran) yang
diturunkan kepada nabi Ibrahim dan Musa, ‘Alaihimas-shalatu Wassalam.
5.
Al-Quran, kitab yang Allah Subhanahu
Wa Ta’ala turunkan kepada Nabi Muhammad
shalallohu ‘alahi wa sallam, penutup para nabi. Firman Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, yang artinya: ” Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya (permulaan)
Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil…” (QS. Al Baqarah:
185).
4.
Iman Kepada Rasul-Rasul
Kita
mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus rasul-rasul kepada
umat manusia, Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: ” (Kami telah
mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita genbira dan pemberi
peringatan, supaya tiada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah
(diutusnya) rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
AN-Nisa: 165).
Kita
mengimani bahwa rasul pertama adalah nabi Nuh dan rasul terakhir adalah Nabi
Muhammad shalallohu ‘alahi wa sallam,
semoga shalawat dan salam sejahtera untuk mereka semua. Firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, yang artinya: ”Sesungguhnya Kami telahmewahyukan kepadamu
sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang (datang)
sesudahnya…” (QS. An-Nisa: 163).
5.
Iman Kepada Hari Kiamat
Kita
mengimani kebenaran hari akhirat, yaitu hari kiamat, yang tiada kehidupan lain
sesudah hari tersebut.Untuk itu kita mengimani kebangkitan, yaitu dihidupannya
semua mahkluk yang sesudah mati oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya:”Dan ditiuuplah sangkakala, maka matilah
siapa yang ada dilangit dan siapa yang ada di bumi kecuali yang dikehendaki
Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka
bangkitmenunggu (putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 68)
Kita
mengimani adanya catatan-catatan amal yang diberikan kepada setiap manusia.Ada
yang mengambilnya dengan tangan kanan dan ada yang mengambilnya dari belakang
punggungnya dengan tangan kiri. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya:
” Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan tangan kanannya, maka dia akan
diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah dan dia akan kembali kepada kaumnya
(yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya
dari belakang punggungnya, maka dia akan berteriak celakalah aku dan dia akan
masuk neraka yang menyala.” (QS. Al-Insyiqaq: 13-14).
6.
Iman Kepada Qadar Baik dan Buruk
Kita
juga mengimani qadar (takdir) , yang baik dan yang buruk; yaitu ketentuan yang
telah ditetapkan Allah untuk seluruh mahkluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya dan
menurut hikmah kebijakan-Nya.
B.Iman
kepada qadar ada empat tingkatan:
1. ‘Ilmu ialah mengimani bahwa Allah Maha tahu atas
segala sesuatu,mengetahui apa yang terjadi, dengan ilmu-Nya yang Azali dan
abadi. Allah sama sekali tidak menjadi tahu setelah sebelumnya tidakmenjadi
tahu dan sama sekali tidak lupa dengan apa yang dikehendaki.
2. Kitabah
ialah mengimani bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang terjadi
sampai hari kiamat. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya: ”Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di
bumi. sesungguhnya tu (semua) tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya Allah yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 70)
3. Masyi’ahialah
mengimani bawa Allah Subhanahu Wa Ta’ala. telah menghendaki segala apa yang ada
di langit dan di bumi, tiada sesuatupun yang terjadi tanpa dengan kehendak-Nya.
Apa yang dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki
Allah tidak akan terjadi.
4. KhalIalah
mengimani Allah Subhanahu Wa Ta’ala. adalah pencipta segala sesuatu. Firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya:
” Alah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
Hanya kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.” (QS.
Az-Zumar: 62-63).
Keempat
tingkatan ini meliputi apa yang terjadi dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri
dan apa yang terjadi dari mahkluk. Maka segala apa yang dilakukan oleh mahkluk
berupa ucapan, perbuatan atau tindakan meninggalkan, adalah diketahui, dicatat
dan dikehendaki serta diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
BAB
II
Rukun
Islam
A.PENGERTIAN
RUKUN ISLAM
Sebagai seorang muslim sudah
seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena dengan Islamlah
seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan
yang tidak akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun
kita berada. Sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat
diukur dengan materi dunia sebesar apapun.Oleh karena itu sudah selayaknya bagi
kita untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti dari Islam yang menjadi
pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.
Inilah Pilar Itu :
Rosul kita yang mulia telah memberitahu
kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan yang
hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga telah
memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada
kehancuran dan kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang
Allah sediakan bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih
sayang Rosul kita kepada umatnya bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada
anaknya.
لَقَدْجَاءكُمْرَسُولٌمِّنْأَنفُسِكُمْعَزِيزٌعَلَيْهِمَاعَنِتُّمْحَرِيصٌعَلَيْكُمبِالْمُؤْمِنِينَرَؤُوفٌرَّحِيمٌ
“Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Rosul
kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini.
Beliau bersabda yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima perkara: (1)
Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan sholat, (3) menunaikan zakat, (4)
pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari
Muslim)
Demikian
pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau,
“Wahai Muhammad!Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab,
“Islam adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan
sholat, kemudian Engkau menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan
Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.” Kemudian ketika beliau
kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad!Beri tahukan kepada ku
tentang Iman?”Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada takdir
Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)
Demikianlah Rosul kita memberikan
pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita
jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam?Dalam hadits tersebut dapat
kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah
sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati.Sehingga jika
digabungkan istilah Iman dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam
yaitu mengerjakan amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan.Jika ada orang
yang mengerjakan amalan-amalan Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi
dengan keimanan, maka inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada
orang yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah dan
Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang durhaka.
Berdasarkan
hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima
pilar:
1.
Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain
Allah dan
Muhammad
adalah utusan Allah.
2. Menegakkan sholat.
3. Menunaikan zakat.
4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.
Dan
kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama
tegaknya agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka
ia berhak mendapatkan janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang
penuh dengan kenikmatan.
B.Makna
Islam
Jika
kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil.
Pengertian islam yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna:
Berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah
dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri dari perbuatan
menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang yang
menyekutukan Allah (musyrik). Islam dengan makna yang umum ini adalah agama
seluruh Nabi Rosul semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan,
apa agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya
bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam secara umum sebagaimana yang
telah disebutkan di atas. Demikian juga agama para pengikut Nabi dan Rasul
sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam dengan
pengertian di atas, pengikut para Nabi dan
Rasul
terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya
dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi
dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang
yang berbuat syirik.Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi
Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau
adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini
adalah Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَاكَانَإِبْرَاهِيمُيَهُودِيّاًوَلاَنَصْرَانِيّاًوَلَكِنكَانَحَنِيفاًمُّسْلِماًوَمَاكَانَمِنَالْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim
bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah
seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Allah
juga berfirman,
هُوَسَمَّاكُمُالْمُسْلِمينَمِنقَبْلُ
“Dia
(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al
Hajj: 78)
Sedangkan
pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di
dalamnya syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah makna Islam secara mutlak, artinya
jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud
dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang yang masih mengikuti ajaran
nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang
muslim yang beragama Islam.Di samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa
yaitu Istislam yang berarti berserah diri.
1.Pilar Islam
Pertama: Dua Kalimat Syahadat
Inilah pilar Islam yang pertama dan
utama yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain
Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan Islam dari diri seseorang.
Demikian pula jika pilar ini hancur, maka akan ikut hancur pula bangunan Islam
dari diri seseorang. Oleh karena itu sudah seharusnya seorang muslim
memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu ini dalam seluruh waktu
dan kehidupannya.
Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa
Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya sekedar di lisan saja, namun
lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah mengetahui dan meyakini hal yang
dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi kesaksiannya tersebut. Jika ada
seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa dia telah melihat sesuatu
namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia hanya berbohong maka saksi
seperti ini disebut saksi palsu.Demikian juga, jika ada orang yang mengucapkan
kedua kalimat syahadat dengan lisannya, namun ternyata hatinya tidak
meyakininya, maka orang ini adalah seorang pendusta. Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutnya sebagai orang munafik ketika mereka mengatakan bahwa mereka
bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah,
namun Allah mendustakan persaksian palsu mereka yang tidak muncul keyakinan
tersebut. Allah berfirman:
إِذَاجَاءكَالْمُنَافِقُونَقَالُوانَشْهَدُإِنَّكَلَرَسُولُاللَّهِوَاللَّهُيَعْلَمُإِنَّكَلَرَسُولُهُوَاللَّهُيَشْهَدُإِنَّالْمُنَافِقِينَلَكَاذِبُونَ
“Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al
Munafiquun: 1)
Kalimat
yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah
bukanlah kalimat yang ringan dan sepele.Ada makna yang sangat dalam dan
konsekuensi yang sangat besar di balik kedua kalimat ini.Bahkan Allah pun
menjadi saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
شَهِدَاللّهُأَنَّهُلاَإِلَـهَإِلاَّهُوَوَالْمَلاَئِكَةُوَأُوْلُواْالْعِلْمِقَآئِمَاًبِالْقِسْطِلاَإِلَـهَإِلاَّهُوَالْعَزِيزُالْحَكِيمُ
“Allah
menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
Yang menegakkan keadilan.Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu).Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Kalimat
Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna:
لَامَعْبُوْدَحَقٌإِلَااللهُ
“Tidak
ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَبِأَنَّاللَّهَهُوَالْحَقُّوَأَنَّمَايَدْعُونَمِندُونِهِهُوَالْبَاطِلُوَأَنَّاللَّهَهُوَالْعَلِيُّالْكَبِيرُ
“Yang
demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil,
dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj:
62)
Dari
makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala
yang disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon, para Nabi, malaikat, orang
shalih dan lain sebagainya. Namun sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak
berhak sama sekali untuk disembah dan diibadahi karena yang berhak disembah dan
diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.
فَمَاأَغْنَتْعَنْهُمْآلِهَتُهُمُالَّتِييَدْعُونَمِندُونِاللّهِمِنشَيْءٍلِّمَّاجَاءأَمْرُرَبِّكَوَمَازَادُوهُمْغَيْرَتَتْبِيبٍ
“Karena
itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka
seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang.Dan sembahan-sembahan itu
tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)
Dalam
ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki sesembahan
selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat memberikan manfaat
pada mereka ketika datang azab Allah.
Oleh karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali
ketika kita melihat ada seorang muslim yang sudah mengucapkan kedua kalimat
syahadat, namun dia masih melakukan berbagai macam bentuk peribadatan kepada
selain Allah subhanahu wa ta’ala baik itu kepada orang shalih, kuburan, jin
penunggu dan lain sebagainya. Di antara penyebab terjadinya hal ini adalah
ketidaktahuan terhadap agama Islam yang menimpa banyak kaum muslimin di zaman
ini.Terlebih lagi tidak tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama
Islam.
Dalam
kalimat لاالهإلاالله terkandung dua aspek yang sangat penting.Yang pertama
yaitu aspek peniadaan/negasi, hal ini tercermin pada kata-kata لااله (Tidak ada
sesembahan yang berhak disembah) yang berarti meniadakan dan segala macam
bentuk peribadatan pada selain Allah, apapun bentuknya.Para ulama
mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah An Nafyu (النفي).Sedangkan
aspek yang kedua yaitu aspek penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata إلاالله
(kecuali Allah) yang berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk peribadatan
hanyalah untuk Allah semata.Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan
istilah Al Itsbat (الإثبات).
Kedua aspek ini sangatlah penting untuk
dipahami dengan benar oleh seorang muslim yang ingin merealisasikan dua kalimat
syahadat ini. Karena, jika seorang muslim salah dalam memahaminya, maka ia akan
salah pula dalam merealisasikannya. Contohnya bisa kita lihat pada orang-orang
yang sekarang disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal), sebagian mereka
(baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu bimaa yastahiq) menafsirkan dan memaknai
kalimat Tauhid dengan makna “tidak ada tuhan (dengan t kecil) kecuali Tuhan
(dengan T besar)”. Dengan tafsiran yang salah ini, mereka menyamakan seluruh
Tuhan yang ada yang disembah manusia.Ujung kesimpulan mereka, mereka mengatakan
bahwa Tuhan seluruh agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam
penyebutannya.Semoga Allah membinasakan orang-orang seperti ini dan menjauhkan
kaum muslimin dari pemikiran seperti ini.
Kedua aspek ini pulalah yang telah dipahami
oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam Imam orang-orang yang bertauhid, bapaknya para
Nabi dan Rasul. Allah berfirman ketika menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi
salam,
وَإِذْقَالَإِبْرَاهِيمُلِأَبِيهِوَقَوْمِهِإِنَّنِيبَرَاءمِّمَّاتَعْبُدُونَإِلَّاالَّذِيفَطَرَنِيفَإِنَّهُسَيَهْدِينِوَجَعَلَهَاكَلِمَةًبَاقِيَةًفِيعَقِبِهِلَعَلَّهُمْيَرْجِعُونَ
“Dan
ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku
berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang
menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan
lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya
supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-28)
Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan
seluruh sesembahan yang disembah oleh kaumnya dengan mengatakan bahwa beliau
berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan bahwa peribadatan
beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah menciptakan beliau yaitu Allah
subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan kalimat لاالهإلاالله tersebut
kekal untuk keturunannya.
Kemudian
bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa telah ada
seorang Rasul di antara manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita,
teladan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla
berfirman,
لَقَدْجَاءكُمْرَسُولٌمِّنْأَنفُسِكُمْعَزِيزٌعَلَيْهِمَاعَنِتُّمْحَرِيصٌعَلَيْكُمبِالْمُؤْمِنِينَرَؤُوفٌرَّحِيمٌ
“Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Allah
subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
هُوَالَّذِيبَعَثَفِيالْأُمِّيِّينَرَسُولاًمِّنْهُمْيَتْلُوعَلَيْهِمْآيَاتِهِوَيُزَكِّيهِمْوَيُعَلِّمُهُمُالْكِتَابَوَالْحِكْمَةَوَإِنكَانُوامِنقَبْلُلَفِيضَلَالٍمُّبِينٍ
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah).Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)
Makna kalimat kedua ini adalah yang
meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu oleh Allah
dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah, serta beliau adalah
penutup para Nabi (Syarah Arba’in An Nawawiyah Syaikh Shalih Alu Syaikh: hadits
kedua). Oleh karena itu, barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau tidaklah
diberi wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka persaksiannya tidaklah sah.
Hal ini banyak kita saksikan di zaman sekarang, ada orang-orang yang meragukan
agama Islam. Mereka mengatakan bahwa Al Quran dan Hadits hanyalah konsep yang
disusun oleh Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala yang kemudian konsep tersebut dijalankan oleh para sahabatnya,
wal’iyadzubillah.
Barang
siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk menyampaikan sesuatu
yang telah diperintahkan kepada beliau, maka persaksiannya tidaklah
sah.Demikian juga barang siapa yang menganggap adanya Rasul dan utusan Allah
setelah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka persaksiannya
tersebut tidaklah sah. Sebagaimana diklaim oleh sebagian orang yang mengatakan
bahwa
ada di antara kelompoknya yang menjadi Nabi seperti Mirza Ghulam Ahmad
(jazaahullahu bimaa yastahiq) atau Nabi-nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin
(kafaanallahu ‘an syarrihaa) dan lain sebagainya.
Persaksian
bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki konsekuensi yaitu taat
terhadap perintah beliau, membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi
seluruh larangan beliau dan kita beribadah kepada Allah hanya dengan syariat
yang beliau bawa. Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir
Wushul, “Taat dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau memerintahkan kita. Karena taat pada beliau
adalah taat pada Allah dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa
nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan kita dengan hal-hal yang bermanfaat
bagi dunia dan agama kita.Membenarkan berita yang beliau bawa karena beliau
adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena perkataan beliau tidak
berasal dari hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau adalah
benar-benar Rasulullah adalah membenarkan perkataan beliau.Menjauhi seluruh
larangan beliau karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan
beliau hanya melarang kita dari hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan agama
kita.Beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena orang
yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia telah melakukan
bid’ah.Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang
beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut
tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).
2.Pilar Islam
Kedua: Menegakkan Sholat
Pilar Islam yang kedua setelah dua
kalimat syahadat adalah menegakkan sholat lima waktu. Bahkan sholat ini adalah
pembeda antara seorang yang beriman dan yang tidak beriman, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya yang memisahkan antara
seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” (HR.
Muslim). Oleh karena itu seorang muslim haruslah memperhatikan sholatnya. Namun
sungguh suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyak kaum muslimin di zaman ini
yang meremehkan masalah sholat bahkan terkadang lalai dari mengerjakannya.
Lima
waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar, sholat Magrib, Sholat
Isya dan Sholat Subuh. Inilah sholat lima waktu yang wajib dilakukan oleh
seorang muslim. Mari kita simak sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik, beliau berkata, “Sholat lima waktu diwajibkan pada Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam pada malam Isra Mi’raj sebanyak 50 waktu, kemudian berkurang
sampai menjadi 5 waktu kemudian beliau diseru, “Wahai Muhammad sesungguhnya
perkataan-Ku tidak akan berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50
waktu bagimu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah
subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
أَقِمِالصَّلاَةَلِدُلُوكِالشَّمْسِإِلَىغَسَقِاللَّيْلِوَقُرْآنَالْفَجْرِإِنَّقُرْآنَالْفَجْرِكَانَمَشْهُودا
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh.Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
(QS. Al Isra: 78)
Pada
firman Allah,
أَقِمِالصَّلاَةَلِدُلُوكِالشَّمْسِإِلَىغَسَقِاللَّيْلِ
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”
Terkandung
di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur sampai dengan Isya kemudian pada
firman-Nya,
وَقُرْآنَالْفَجْرِإِنَّقُرْآنَالْفَجْرِكَانَمَشْهُوداً
“Dan
(dirikanlah pula shalat) subuh.Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).” terkandung di dalamnya perintah mengerjakan sholat subuh. (Lihat
Syarah Aqidah al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
Mendirikan sholat adalah kewajiban
setiap muslim yang sudah baligh dan berakal. Adapun seorang muslim yang hilang
kesadarannya, maka ia tidak diwajibkan mengerjakan sholat berdasarkan hadits
dari Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
berkata, “Pena diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai dia
bangun, dari anak kecil sampai dia mimpi dan dari orang gila sampai dia sembuh.”
(HR. Abu Daud No 12,78 dan 4370 Lihat di Shohih Jami’us Shaghir 3513 ).
Walaupun demikian, wali seorang anak
kecil wajib menyuruh anaknya untuk sholat agar melatih sang anak menjaga sholat
lima waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah
anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan sholat, dan
pukullah mereka agar mereka mau mengerjakan sholat saat mereka berumur 10 tahun
dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Hasan, Shahih Jami’us Shaghir 5868, HR.
Abu Daud)
3.Pilar Islam
Ketiga: Menunaikan Zakat
Inilah
rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
وَمَاأُمِرُواإِلَّالِيَعْبُدُوااللَّهَمُخْلِصِينَلَهُالدِّينَحُنَفَاءوَيُقِيمُواالصَّلَاةَوَيُؤْتُواالزَّكَاةَوَذَلِكَدِينُالْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat.dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al
Bayyinah: 5)
Allah
subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam orang-orang yang tidak mau
membayar zakatnya,
وَلاَيَحْسَبَنَّالَّذِينَيَبْخَلُونَبِمَاآتَاهُمُاللّهُمِنفَضْلِهِهُوَخَيْراًلَّهُمْبَلْهُوَشَرٌّلَّهُمْسَيُطَوَّقُونَمَابَخِلُواْبِهِيَوْمَالْقِيَامَةِوَلِلّهِمِيرَاثُالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاللّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ
“Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi.Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam sebuah hadits dari Abu Hurairoh dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda, “Barang siapa yang diberikan harta oleh Allah namun dia
tidak menunaikan zakatnya pada hari kiamat dia akan menghadapi ular jantan yang
botak kepalanya karena banyak bisanya dan memiliki dua taring yang akan
mengalunginya pada hari kiamat. Kemudian ular tersebut menggigit dua mulutnya
dan berkata, aku adalah harta simpananmu, aku adalah hartamu.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,
وَلاَيَحْسَبَنَّالَّذِينَيَبْخَلُونَبِمَاآتَاهُمُاللّهُمِنفَضْلِهِهُوَخَيْراًلَّهُمْبَلْهُوَشَرٌّلَّهُمْسَيُطَوَّقُونَمَابَخِلُواْبِهِيَوْمَالْقِيَامَةِوَلِلّهِمِيرَاثُالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاللّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ
“Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi.Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
4.Pilar Islam
Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
Inilah rukun Islam keempat yang wajib
dilakukan oleh seorang muslim yaitu berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan
Ramadhan dengan menahan makan, minum dan berhubungan suami istri serta pembatal
lain dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُكَمَاكُتِبَعَلَىالَّذِينَمِنقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُونَأَيَّاماًمَّعْدُودَاتٍفَمَنكَانَمِنكُممَّرِيضاًأَوْعَلَىسَفَرٍفَعِدَّةٌمِّنْأَيَّامٍأُخَرَوَعَلَىالَّذِينَيُطِيقُونَهُفِدْيَةٌطَعَامُمِسْكِينٍفَمَنتَطَوَّعَخَيْراًفَهُوَخَيْرٌلَّهُوَأَنتَصُومُواْخَيْرٌلَّكُمْإِنكُنتُمْتَعْلَمُونَشَهْرُرَمَضَانَالَّذِيَأُنزِلَفِيهِالْقُرْآنُهُدًىلِّلنَّاسِوَبَيِّنَاتٍمِّنَالْهُدَىوَالْفُرْقَانِفَمَنشَهِدَمِنكُمُالشَّهْرَفَلْيَصُمْهُ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari
yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena
beriman dengan kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, seluruh amal anak
cucu Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku
yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.Jika kalian berpuasa, maka
janganlah kalian berbicara kotor atau dengan berteriak-teriak.Jika ada yang
menghina kalian atau memukul kalian, maka katakanlah “aku sedang berpuasa”
sebanyak dua kali.Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya bau mulut
orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan bau minyak kesturi
pada hari kiamat nanti.Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, bahagia
ketika berbuka berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa ketika bertemu dengan
Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu
yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya orang-orang yang sering berpuasa
yang akan memasuki pintu tersebut. Mereka dipanggil, “Mana orang-orang yang
berpuasa?” kemudian mereka masuk ke dalamnya dan orang-orang selain mereka
tidak bisa masuk.Jika mereka sudah masuk, maka tertutup pintu tersebut dan
tidak ada lagi yang masuk selain mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
5.Pilar Islam
Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu
Rukun
Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika mampu sekali seumur
hidup. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَإِلَيْهِسَبِي
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Abu Hurairoh, “Umroh yang satu dengan yang selanjutnya menjadi pelebur dosa
di antara keduanya dan tidak ada pahala yang pantas bagi haji yang mabrur
kecuali surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah berkhotbah, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan pada kalian ibadah
haji, maka berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata, “Apakah
pada setiap tahun wahai Rasulullah?” kemudian beliau terdiam sampai-sampai
laki-laki itu bertanya sebanyak tiga kali.Kemudian beliau bersabda, “Seandainya
aku katakan Iya, niscaya akan wajib bagi kalian padahal kalian tidak mampu.
Biarkan apa yang aku tinggalkan karena sesungguhnya sebab kebinasaan orang
setelah kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi nabinya. Jika aku
perintahkan satu hal maka lakukan semampu kalian dan jika aku melarang sesuatu
maka jauhilah.” (HR. Muslim).
Apakah
yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan ibadah haji? Syaikh Abdul ‘Azhim
bin Badawi menjelaskan bahwa kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji terkait
dengan 3 hal yaitu:
Pertama, kesehatan berdasarkan hadits
dari ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Ja’tsam yang mengadu pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah sesungguhnya ayahku
terkena kewajiban haji ketika umurnya sudah tua dan ia tidak mampu menaiki
tunggangannya, apakah aku boleh berhaji untuknya?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kedua,
memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan memiliki bekal untuk
kebutuhan orang-orang yang wajib dia beri nafkah.Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seorang disebut sebagai pendosa jika
dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Abu Daud)
Ketiga,
aman dari gangguan dalam perjalanan.Karena menunaikan haji padahal kondisi
tidak aman adalah sebuah bahaya dan bahaya merupakan salah satu penghalang yang
disyariatkan.
Penutup
Demikianlah
penjelasan ringkas tentang lima pilar Islam yang kita kenal dengan rukun Islam.
Semoga apa yang kami sampaikan ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya
mujibbas Saailiin…
Rujukan:
1. Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh
Shalih bin Abdil ‘Aziiz Alu Syaikh
2. Taisir Wushul Ilaa Nailil Ma’mul bi
Syarhi Tsalatsatil Ushul, Syaikh Nu’man bin Abdil Kariim Al Watr
3. Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil
‘Aziiz Syaikh Abdul ‘azhim Badawi
4. Syarah Aqidah al Wasithiyyah (Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)lussunnah wal Jama’ah, Asy-Syaikh Muhammad bin
ShaliMakna dan Hakikat Rukun Islam
C.Makna dan Hakikat Rukun Islam
Islam
dibangun di atas lima dasar, yaitu Rukun Islam. Ibarat sebuah rumah, Rukun
Islam merupakan tiang-tiang atau penyangga bangunan keislaman seseorang.Di
dalamnya tercakup hukum-hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. “Sesungguhnya Islam itu dibangun atas lima perkara: bersaksi
sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa di buIan Ramadhan”
(HR. Bukhari Muslim). Bagi siapa saja yang telah mengerjakan Rukun Islam yang
lima, belum berarti bahwa ia telah total masuk ke dalam Islam. Ia baru
membangun landasan bagi amal-amalnya yang lain.
Rukun
Islam merupakan landasan operasional dari Rukun Iman.Belum cukup dikatakan
beriman hanya dengan megerjakan Rukun Islam tanpa ada upaya untuk
menegakkannya.Rukun Islam merupakan training/pelatihan bagi orang mukmin menuju
mardhotillah/keridhoan Allah.
•
Syahadat adalah agreement (perjanjian) antara seorang muslim dengan Allah SWT
[7.172]. Seseorang yang telah menyatakan Laa ilaaha ilallaah berarti telah siap
untuk fight (bertarung) melawan segala bentuk ilah di luar Allah di da1am
kehidupannya [29:2].
•
Shalat adalah training: sebagai latihan agar setiap muslim di dalam
kehidupannya adalah dalam rangka sujud (beribadah) kepada Allah [6:162]
•
Zakat adalah training, yaitu sebagai latihan agar menginfakkan hartanya, karena
setiap harta seorang muslim adalah milik Allah.[57:7, 59:7]. “Engkau ambil
zakat itu dari orang-orang kaya mereka dan engkau kembalikan kepada orang-orang
fakir mereka” (HR Mutafaqun ‘alahi).
•
Shaum adalah training, yaitu sebagai latihan pengendalian kebiasaan pada
jasmani, yaitu makan dan minum dan ruhani, yaitu hawa nafsu. [2:185]
•
Haji adalah training, yaitu sebagai latihan dalam pengorbanan jiwa dan harta di
jalan Allah, mengamalkan persatuan dan persamaan derajat dengan sesama manusia.
[22:27-28]
BAB
III
Pengertian
Tayamum, Cara, Syarat, Rukun, Sebab & Sunat Tayammum Wudhu Dengan Debu /
Tanah
A.
Arti Definisi / Pengertian Tayamum
Tayamum
adalah pengganti wudhu atau mandi wajib yang tadinya seharusnya menggunakan air
bersih digantikan dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih.Yang boleh
dijadikan alat tayamum adalah tanah suci yang ada debunya.Dilarang bertayamum
dengan tanah berlumpur, bernajis atau berbingkah.Pasir halus, pecahan batu
halus boleh dijadikan alat melakukan tayamum.
Orang
yang melakukan tayamum lalu shalat, apabila air sudah tersedia maka ia tidak
wajib mengulang sholatnya. Namun untuk menghilangkan hadas, harus tetap
mengutamakan air daripada tayamum yang wajib hukumnya bila sudah tersedia.
Tayamum untuk hadas hanya bersifat sementara dan darurat hingga air sudah ada.
Tayamum
yang telah dilakukan bisa batal apabila ada air dengan alasan tidak ada air
atau bisa menggunakan air dengan alasan tidak dapat menggunakan air tetapi
tetap melakukan tayamum serta sebab musabab lain seperti yang membatalkan wudu
dengan air.
B.
Sebab / Alasan Melakukan Tayamum :
-
Dalam perjalanan jauh
-
Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
-
Telah berusaha mencari air tapi tidak diketemukan
-
Air yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan
-
Air yang ada hanya untuk minum
-
Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat
-
Pada sumber air yang ada memiliki bahaya
-
Sakit dan tidak boleh terkena air
C.
Syarat Sah Tayamum :
-
Telah masuk waktu salat
-
Memakai tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran
-
Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum
-
Sudah berupaya / berusaha mencari air namun tidak ketemu
-
Tidak haid maupun nifas bagi wanita / perempuan
-
Menghilangkan najis yang yang melekat pada tubuh
D.
Sunah / Sunat Ketika Melaksanakan Tayamum :
-
Membaca basmalah
-
Menghadap ke arah kiblat
-
Membaca doa ketika selesai tayamum
-
Medulukan kanan dari pada kiri
-
Meniup debu yang ada di telapak tangan
-
Menggodok sela jari setelah menyapu tangan hingga siku
E.
Rukun Tayamum :
-
Niat Tayamum.
-
Menyapu muka dengan debu atau tanah.
-
Menyapu kedua tangan dengan debu atau tanah hingga ke siku.
F.
Tata Cara / Praktek Tayamum :
-
Membaca basmalah
-
Renggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
-
Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang
menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
-
Niat tayamum : Nawaytuttayammuma listibaa hatishhalaati fardhollillahi ta'aala
(Saya niat tayammum untuk diperbolehkan melakukan shalat karena Allah Ta'ala).
-
Mengusap telapak tangan ke muka secara merata
-
Bersihkan debu yang tersisa di telapak tangan
-
Ambil debu lagi dengan merenggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu,
tekan-tekan hingga debu melekat.
-
Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel,
tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
-
Mengusap debu ke tangan kanan lalu ke tangan kiri
BAB
IV
WUDHU
A.PENGERTIAN
WUDHU’,
Dari
segi bahasa, wudhu’ ialah nama bagi sesuatu perbuatan menggunakan air pada anggota-anggota
tertentu.
Dari
segi syara‘, wudhu’ bermaksud membersihkan sesuatu yang tertentu dengan
beberapa perbuatan yang tertentu yang dimulakan dengan niat, iaitu membasuh
muka, membasuh kedua-dua belah tangan, menyapu kepala dan akhirnya membasuh kedua
belah kaki dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang tertentu.
B.HUKUM
WUDHU’
Hukum wudhu’ adalah seperti berikut:
1.
Wajib atau fardhu, iaitu ketika hendak menunaikan ibadah seperti sembahyang,
sama ada sembahyang fardhu atau sembahyang sunat, ketika hendak melakukan tawaf
Ka‘bah sama ada tawaf fardhu atau sunat, ketika hendak menyentuh Al-Qur’an dan
sebagainya.
2. Sunat. Banyak perkara yang disunatkan
berwudhu’, antaranya ialah untuk membaca atau mendengar bacaan Al-Qur’an,
membaca atau mendengar bacaan hadith, membawa kitab tafsir, kitab hadith atau
kitab fiqh, melakukan azan, duduk di dalam masjid, melakukan tawaf di ‘Arafah,
melakukan sa‘i, menziarahi makam Rasulullah, ketika hendak tidur, mengusung
jenazah, malah disunatkan sentiasa berada dalam keadaan berwudhu’ dan
memperbaharui wudhu’.
C.HIKMAH
WUDHU’
Hikmah berwudhu’ ialah kerana
anggota-anggota tersebut terdedah kepada kekotoran yang zahir seperti habuk,
debu dan lain-lain serta banyak terdedah dengan dosa dan maksiat sama ada zahir
atau batin.
D.FARDHU
WUDHU’
1. Berniat ketika meratakan air ke seluruh
muka. Niat wudu’ adalah seperti berikut:
Maksudnya:
“sengaja aku mengangkat hadath kecil kerana
Allah Ta‘ala”.
atau
Maksudnya:
“Sengaja
aku berwudhu’ kerana Allah Ta‘ala”.
2. Membasuh muka. Had atau batasan muka yang
wajib dibasuh adalah dari tempat tumbuh rambut di sebelah atas sehingga sampai
kedua tulang dagu sebelah bawah dan lintangannya adalah dari anak telinga
hingga ke anak telinga.
3.
Membasuh dua tangan hingga dua siku. Bagi orang yang tiada siku disunatkan
membasuh hujung anggota yang ada.
4.
Menyapu sedikit kepala. Boleh disapu di ubun-ubun atau lain-lain bahagian
rambut yang ada di dalam had atau kawasan kepala, tetapi yang utamanya adalah
menyapu seluruh kepala.
5.
Membasuh dua kaki hingga dua buku lali.
6.
Tertib, iaitu melakukan perbuatan itu daripada yang pertama hingga akhir dengan
teratur.
E.
SYARAT-SYARAT WUDHU
Terdapat
dua syarat dalam wudhu’ iaitu syarat wajib dan syarat sah.
Syarat Wajib Wudhu’
1. Islam.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Mampu menggunakan air yang suci dan
mencukupi.
5. Berlakunya hadath.
6. Suci daripada haidh dan nifas.
7. Kesempitan waktu. Wudhu’ tidak diwajibkan
ketika waktu yang panjang tetapi diwajibkan ketika
kesempitan
waktu.
Syarat
Sah Wudhu’
1.
Meratakan air yang suci ke atas kulit, iaitu perbuatan meratakan air pada
seluruh anggota yang dibasuh hingga tiada bahagian yang tertinggal.
2.
Menghilangkan apa sahaja yang menghalang sampainya air ke anggota wudhu’.
3.
Tidak terdapat perkara-perkara yang boleh membatalkan wudhu’ seperti darah
haidh, nifas, air kencing dan seumpamanya.
4.
Masuk waktu sembahyang bagi orang yang berterusan dalam keadaan hadath seperti
orang yang menghidap kencing tidak lawas.
Selain
itu, terdapat beberapa syarat wudhu’ mengikut ulama’ mazhab Syafi‘i, iaitu:
1. Islam.
2. Mumayyiz.
3. Suci daripada haidh dan nifas.
4. Bersih daripada apa sahaja yang boleh
menghalang sampainya air ke kulit.
5.
Mengetahui kefardhuan wudhu’.
6.
Tidak menganggap sesuatu yang fardhu di dalam wudhu’ sebagai sunat.
7. Menghilangkan najis ‘aini yang terdapat
pada badan dan pakaian orang yang berwudhu’.
8.
Tidak terdapat pada anggota wudhu’ bahan yang mengubahkan air.
9.
Tidak mengaitkan (ta‘liq) niat berwudhu’ dengan sesuatu.
10.
Mengalirkan air ke atas anggota wudhu’.
11. Masuk waktu sembahyang bagi orang yang
berhadath berterusan.
12.
Muwalat, iaitu berturutan.
F.SUNAT
WUDHU’
Perkara sunat ketika berwudhu’ adalah sangat
banyak, di antaranya ialah:
1. Membaca “basmalah” iaitu lafaz
2. Membasuh dua tapak tangan hingga
pergelangan tangan.
3.
Berkumur-kumur.
4.
Memasukkan air ke dalam hidung.
5.
Menyapu seluruh kepala.
6. Menyapu dua telinga.
7. Menyelati janggut yang tebal.
8. Mendahulukan anggota yang kanan daripada
yang kiri.
9. Menyelati celah-celah anak jari tangan dan
kaki.
10. Melebihkan basuhan tangan dan kaki dari
had yang wajib.
11.
Mengulangi perbuatan itu sebanyak tiga kali.
12.
Berturut-turut iaitu tidak berselang dengan perceraian yang lama di antara satu
anggota dengan
anggota
yang lain yang menyebabkan anggota itu kering.
13.
Menggosok anggota wudhu’ supaya lebih bersih.
14.
Bersugi dengan sesuatu yang kesat.
15. Menghadap qiblat.
16. Membaca doa selepas berwudhu’, iaitu:
Maksudnya:
“Aku
bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah yang Esa dan tiada sekutu bagiNya,
dan aku bersaksi bahawa Nabi Muhammad itu hambaNya dan RasulNya. Wahai Tuhanku,
jadikan aku dari golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku dari
golongan orang-orang yang bersih.”
G.PERKARA
YANG MEMBATALKAN WUDHU’
1. Keluar sesuatu daripada lubang dubur atau
qubul sama ada tahi, kencing, darah, nanah, cacing, angin, air mazi atau air
wadi dan sebagainya melainkan air mani sendiri kerana apabila keluar mani
diwajibkan mandi.
2.
Tidur yang tidak tetap punggungnya, kecuali tidur dalam keadaan rapat kedua-dua
papan punggung ke tempat duduk.
3.
Hilang akal dengan sebab mabuk, gila, sakit, pengsan atau pitam kerana apabila
hilang akal, seseorang itu tidak mengetahui keadaan dirinya
4. Bersentuh kulit lelaki dengan perempuan
yang halal nikah atau ajnabiyyah (bukan mahram) walaupun telah mati.
5. Menyentuh kemaluan (qubul dan dubur
manusia) dengan perut tapak tangan walaupun kemaluan sendiri.
6.
Murtad iaitu keluar dari agama Islam.
H.Wudhu
Muslimah
Disusun oleh: Ummu
Ziyad
Muroja’ah: Ust.
Aris Munandar
Percikan-percikan
air itu membasahi poni-poni yang menyembul keluar dari jilbab yang telah
kulonggarkan sedikit karena berada di tempat umum.Setelah mengambil sedikit air
dari pancuran mushola di lantai basement mall besar itu, aku mulai membasahi
kedua telingaku.Baru kemudian kubasahi kedua kakiku, kanan kiri… kanan kiri
sampai tiga kali. Seperti itulah wudhu yang kukerjakan sampai sekitar empat
tahun yang lalu. Rasanya sedih menjadi orang yang menyedihkan.Hanya dari tiga gerakan
wudhu yang kusebutkan, tetapi aku telah pula melakukan lebih dari tiga
kesalahan.
Pertama,
ternyata tidak ada gerakan wudhu hanya sekedar membasahi ujung rambut seperti
yang kulakukan.Kedua, gerakan membasuh rambut dan telinga dicontohkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu kali pengambilan
air.Ketiga, gerakan pengulangan tiga kali dilakukan per anggota tubuh, bukan
bergantian kanan kiri seperti itu. Keempat aku membiarkan anggota tubuhku
(bagian kaki) terbuka di depan umum begitu saja. Kelima, jikapun aku
menginginkan jilbabku tetap terpakai agar tidak terlihat aurat rambutku, maka
ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga telah memberitahukan
caranya.
Begitulah
kita jika melakukan sesuatu hanya berdasarkan ilmu yang sedikit dan
sekedarnya.Padahal tahu sendiri kalau wudhu itu adalah salah satu syarat sahnya
shalat.Mungkin bisa dibayangkan berapa banyak kesalahan dalam shalat yang aku
lakukan pada saat itu. Alhamdulillah, Allah memberi hidayah kepadaku untuk
menyadari kesalahan itu dan memudahkan aku untuk mempelajari tata cara yang
benar untuk wudhu dan shalat. Mudah-mudahan Allah juga memudahkan engkau wahai
ukhti muslimah, jika kesalahan yang sama masih ada padamu. Aamiin ya mujibas
saailiin.
Secara
sederhana, wudhu yang sesuai diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
dapat kita lakukan seperti ini:
Pertama, hadirkan niat dalam hatimu
untuk berwudhu.Apapun ibadah yang kita lakukan tentu saja hanya kita niatkan
untuk ibadah kepada Allah semata.Dan begitu banyak aktifitas harian kita yang
dapat kita niatkan untuk ibadah.Nah… untuk semua niat ibadah itu, maka kita
tidak perlu melafalkannya (mengeluarkan dengan suara).Apalagi mengkhususkan
bacaan tertentu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
melakukannya.
Kedua, bacalah bismillah.
Ketiga, basuhlah kedua telapak tanganmu
3 kali.
basuh
tangan 3kali
Keempat, berkumur-kumurlah dan masukkan
air ke hidung dengan sungguh-sungguh dengan telapak tangan kanan.Kemudian
keluarkan air tersebut dengan tangan kiri.
Kelima, basuhlah mukamu.Muka di sini
tentu saja bagian yang telah kita kenal, yaitu bagian wajah dari batas telinga
kanan ke telinga kiri, dan dari tempat mulai tumbuhnya rambut sampai dagu.
Untuk yang telah memiliki suami atau saudara laki-laki, perlu juga diingatkan
untuk membasuh jenggot yang ada karena ia juga termasuk sebagai anggota wajah.
Keenam, membasuh tangan dimulai dengan
tangan kanan.
Basuhan
yang sempurna adalah basuhan yang dimulai dari ujung-ujung jari hingga siku,
kemudian menggosok-gosok lengan, membasuh siku dan membersihkan sela-sela
jemari. Setelah tangan kanan selesai, baru dilanjutkan membasuh dengan cara
yang sama untuk tangan kiri.
Ketujuh, mengusap kepala satu kali.
Kalau
anggota wudhu lainnya dianjurkan dibasuh sampai tiga kali, maka bagian ini
hanya satu kali usapan (walaupun terkadang kita disarankan mengusapnya 3
kali).Bagian kepala yang dimaksud adalah seluruh rambut kita dan telinga kita.
Praktek yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membasahi
kedua telapak tangan dengan air, kemudian mengusap mulai dari kepala bagian
depan, diusap sampai ke belakang, kemudian dibalikkan lagi usapan itu ke depan
dan langsung dilanjutkan mengusap telinga dengan cara memasukkan jari telunjuk
ke lubang telinga sedangkan ibu jari mengusap daun telinga bagian luar.
Bingung?Coba lihat gambar di bawah.Insya Allah mudah.
Kedelapan, membasuh kaki dimulai dari kaki
kanan.
Membasuh
kaki secara sempurna adalah dengan cara membasuh ujung-ujung jari kaki sampai
mata kaki, mencuci mata kaki dan membersihkan sela-sela jari kaki. Setelah
selesai membasuh kaki kanan, maka dilanjutkan dengan kaki kiri dengan cara yang
sama.
Kemudian
kita disunnahkan membaca dzikir setelah wudhu. Ada berbagai macam dzikir
setelah wudhu yang dicontohkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang
dapat kita baca. Salah satunya adalah bacaan berikut
أَشْهَدُأَنْلاَإلَهَإِلاَّاللهوَحْدَهُلاَشَرِيْكَلهوَأَشْهَدُأَنَّمُحَمَّدًعَبْدُهُوَرَسُوْلُهُ
Artinya,
“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang layak disembah kecuali Allah yang
tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba
dan utusan-Nya.”
Selesai.
Mudah
bukan? Insya Allah… Kesemua gerakan wudhu tersebut terangkum dalam cara wudhu
yang diperlihatkan oleh sahabat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu sebagaimana
diceritakan oleh Humran bekas budak beliau,
Utsman
bin Affan radhiallahu ‘anhu meminta air wudhu. (Setelah dibawakan), ia
berwudhu: Ia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur
dan memasukkan air ke dalam hidungnya, kemudian mencuci wajahnya tiga kali,
lalu membasuh tangan kanannya sampai siku tiga kali, kemudian membasuh
tangannya yang kiri tiga kali seperti itu juga, kemudian mengusap kepalanya
lalu membasuh kakinya yang kanan sampai kedua mata kakinya tiga kali kemudian
membasuh yang kiri seperti itu juga. Kemudian mengatakan,
“Saya
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwudhu seperti wudhuku
ini lalu Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian
berdiri dan ruku dua kali dengan sikap tulus ikhlas, niscaya diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.’” (Muttafaq ‘alaihi)
Sebatas
ini dulu pembenahan kita untuk masalah wudhu.Tentang mengusap khuf, termasuk di
dalamnya mengusap jilbab dan kaos kaki, mudah-mudahan Allah memudahkan
penulisannya di artikel muslimah.or.id mendatang. Jangan lupa ya saudariku,
praktekkan ilmu yang singkat namun sangat urgent ini!
Maraji:
1. Al Wajiz. Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi.
Pustaka As-Sunnah. Cet. 2
2. Thaharah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. Media Hidayah.Cet 1 2004
3. Catatan Kajian Al Wajiz bersama Ustadz
Muslam 15 Maret 2004
I.Hikmah
dan Keajaiban Wudhu
Hikmah
dan Keajaiban Wudhu.Di dalam ajaran Islam banyak hal-hal yang berkaitan dengan
suatu ibadah yang terlihat sederhana dan mudah dilakukan namun memiliki manfaat
dan hasiat yang luar biasa bagi kesehatan, baik kesehatan jasmanai maupun
rohani, contohnya adalah wudhu.Wudhu adalah salah satu syariat Islam. Allah SWT
memerintahkan umat Islam untuk membersihkan diri atau berwudhu sebelum
mendirikan shalat lima waktu. (QS Al-Maidah ayat 6).Wudhu juga merupakan salah
satu syarat diterimanya ibadah shalat oleh Allah SWT, namun terkadang ada
sebagian umat Islam yang memandangnya biasa-biasa saja. “Allah tidak akan
menerima shalat seseorang di antara kamu, hingga dia berwudhu .”(HR. Bukhari
Muslim).
J.Wudhu
dan Kesehatan Jasmani
Wudhu
ternyata mempunyai manfaatnya sangat besar.Itulah yang dibuktikan oleh para
ahli kesehatan dunia.Salah satunya adalah Prof Leopold Werner von Ehrenfels,
seorang psikiater sekaligus neurolog berkebangsaan Austria.Ia menemukan sesuatu
yang menakjubkan dalam wudhu karena mampu merangsang pusat syaraf dalam tubuh
manusia. Karena keselarasan air dengan wudhu dan titik-titik syaraf, kondisi
tubuh senantiasa akan sehat. Dari sinilah ia akhirnya memeluk Islam dan
mengganti namanya menjadi Baron Omar Rolf Ehrenfels. (www.republika.co.id)
Ulama
fikih juga menjelaskan hikmah wudhu sebagai bagian dari upaya untuk memelihara
kebersihan fisik dan rohani.Daerah yang dibasuh dalam air wudhu-seperti tangan,
daerah muka termasuk mulut, dan kaki –memang paling banyak bersentuhan dengan
benda-benda asing, termasuk kotoran.Karena itu, wajar kalau daerah itu yang
harus dibasuh, sebab penyakit kulit umumnya sering menyerang permukaan kulit
yang terbuka dan jarang dibersihkan, seperti di sela-sela jari tangan, kaki,
leher, belakang telinga, dan lainnya.Karena itu, Mochtar Salem memberi saran
agar anggota tubuh yang terbuka senantiasa dibasuh atau dibersihkan dengan
menggunakan air.
Berbagai
penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa munculnya penyakit kulit disebabkan
oleh rendahnya kebersihan kulit.Karena itu, orang yang memiliki aktivitas padat
(terutama di luar ruangan) disarankan untuk sesering mungkin membasuh atau
mencuci anggota badannya yang terbuka, seperti kepala, muka, telinga, hidung,
tangan, dan kaki.
Mencegah
penyakit dengan wudhu bisa kita cermati dan pelajari sejarah hidup Rasulullah
SAW, seperti yang diungkapkan Muhammad Husein Haykal dalam bukunya Hayatu
Muhammad, sepanjang hidupnya Rasulullah SAW tak pernah menderita penyakit,
kecuali saat sakaratul maut hingga wafatnya. Hal ini menunjukkan bahwa wudhu
dengan cara yang benar niscaya dapat mencegah berbagai macam penyakit.
Menurut
sejumlah penelitian, berwudhu itu dapat menghilangkan berbagai macam
penyakit.Misalnya, penyakit kanker, flu, pilek, asam urat, rematik, sakit
kepala, telinga, pegal, linu, mata, sakit gigi, dan sebagainya.
Mokhtar
Salem dalam bukunya Prayers a Sport for the Body and Soul menjelaskan, wudhu
bisa mencegah kanker kulit.Jenis kanker ini lebih banyak disebabkan oleh
bahan-bahan kimia yang setiap hari menempel dan terserap oleh kulit. Kemudian,
apabila dibersihkan dengan air (terutama saat wudhu), bahan kimia itu akan
larut. Selain itu, jelasnya, wudhu juga menyebabkan seseorang menjadi tampak
lebih muda.
Dalam
penelitian yang dilakukan Muhammad Salim tentang manfaat wudhu untuk kesehatan,
terungkap bahwa berwudhu dengan cara yang baik dan benar akan mencegah
seseorang dari segala penyakit. Dalam penelitiannya itu, Muhammad Salim juga
menganalisis masalah kesehatan hidung dari orang-orang yang tidak berwudhu dan
yang berwudhu secara teratur selama lima kali dalam sehari untuk mendirikan
shalat.
Salim
mengambil zat dalam hidung pada selaput lendir dan mengamati beberapa jenis
kumannya. Pekerjaan ini ia lakukan selama berbulan-bulan. Berdasarkan
analisisnya, lubang hidung orang-orang yang tidak berwudhu memudar dan
berminyak, terdapat kotoran dan debu pada bagian dalam hidung, serta
permukaannya tampak lengket dan berwarna gelap.
Adapun
orang-orang yang teratur dalam berwudhu, ungkap Salim, permukaan rongga
hidungnya tampak cemerlang, bersih, dan tidak berdebu.“Sesungguhnya, cara
berwudhu yang baik adalah dimulai dengan membasuh tangan, berkumur-kumur, lalu
mengambil air dan menghirupnya ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya.Langkah
ini hendaknya dilakukan sebanyak tiga kali secara bergantian,” kata Salim.
K.Wudhu
dan Kesehatan Rohani
Ulama
tasawuf menjelaskan hikmah wudhu dengan menjelaskan bahwa daerah-daerah yang
dibasuh air wudhu memang daerah yang paling sering berdosa. Kita tidak tahu apa
yang pernah diraba, dipegang, dan dilakukan tangan kita. Banyak pancaindera
tersimpul di bagian muka.
Berapa
orang yang jadi korban setiap hari dari mulut kita, berapa kali berbohong,
memaki, dan membicarakan aib orang lain. Apa saja yang dimakan dan diminum. Apa
saja yang baru diintip mata ini, apa yang didengar oleh kuping ini, dan apa
saja yang baru dicium hidung ini? Ke mana saja kaki ini gentayangan setiap
hari?Tegasnya, anggota badan yang dibasuh dalam wudhu ialah daerah yang paling
riskan untuk melakukan dosa.
Rasul
SAW menyatakan, wajah orang yang berwudhu itu akan senantiasa bercahaya.
Rasulullah akan mengenalinya nanti pada hari kiamat karena bekas wudhu. “Umatku
nanti kelak pada hari kiamat bercahaya muka dan kakinya karena bekas wudhu.”
Muhammad
Kamil Abd Al-Shomad, yang mengutip sumber dari Al-I’jaz Al-Ilmiy fi Al-Islam wa
Al-Sunnah AlNabawiyah, menjelaskan bahwa manfaat semua hal yang diperintahkan
dalam wudhu sangatlah besar bagi tubuh manusia. Mulai dari membasuh tangan dan
menyela-nyela jari, berkumur-kumur,
memasukkan
air ke dalam lubang hidung, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku,
mengusap kepala, membasuh telinga, hingga membasuh kaki hingga mata kaki.
Buya
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dalam bukunya Lentera Hidup menuliskan
keutamaan wudhu.“Sekurang-kurangnya lima kali dalam sehari-semalam setiap
Muslim diperintahkan untuk berwudhu dan mengerjakan shalat.Meskipun wudhu belum
lepas (batal), disunahkan pula memperbaharuinya.Oleh ahli tasawuf, diterangkan
pula hikmah wudhu itu.Mencuci muka artinya mencuci mata, hidung, mulut, dan
lidah kalau-kalau tadinya pernah berbuat dosa ketika melihat, berkata, dan
makan.
Mencuci
tangan dengan air seakan-akan membasuh tangan yang telanjur berbuat
salah.Membasuh kaki dan lain-lain demikian pula.Mereka memperbuat hikmat-hikmat
itu meskipun dalam hadis dan dalil tidak ditemukan.Tujuannya adalah supaya
manusia jangan membersihkan lahirnya saja, sementara batinnya masih tetap
kotor.Hati yang masih tamak, loba, dan rakus, kendati sudah berwudhu, maka
wudhunya lima kali seharisemalam itu berarti tidak berbekas dan tidak diterima
oleh Allah SWT, dan shalatnya pun tidak akan mampu menjauhkan dirinya dari
perbuatan fakhsya’ (keji) dan mungkar (dibenci).”
Buya
Hamka menambahkan, wudhu itu dapat menyehatkan badan.“Kita hidup bukanlah untuk
mencari pujian dan bukan pula supaya kita paling atas di dalam segala
hal.Meskipun itu tidak kita cari, kalau kita senantiasa menjaga kebersihan,
kita akan dihormati orang juga.”
Referensi :
Al-quran
dan terjemahnya-Kementerian Agama RI.
Shahih
Bukhari-Imam Bukhori
Al
Jami’ Ash Shohih Al Musnad min haditsi rasulillaahi shallallaahu ‘alaihi
wasallam wa sunanihi wa ayyamihi-Imam Muslim.
www.republika.co.id,
Lentera
Hidup – Buya Hamka
http://id.wikipedia.org
L.setan
spesialis pengganggu wudhu
Bisa
kita bayangkan, bagaimana canggihnya seorang pencuri kendaraan bermotor jika setiap
hari yang dipelajari dan dikerjakan adalah mencuri motor.Ada juga pencuri
spesialis elektronik, dia paling ahli soal bagaimana menggondol barang
elektronik di rumah orang yang sedang lengah.Ternyata, iblis juga memiliki bala
tentara yang dibekali ketrampilan khusus dan ditugasi pekerjaan yang khusus
pula.Iblis menggoda manusia di setiap lini, dan di setiap lini dia siapkan
setan-setan “spesialis” yang pakar dalam bidangnya.
Dalam
hal wudhu misalnya, ada jenis setan khusus yang beraksi di wilayah ini.Pekerjaannya
fokus untuk menggoda orang-orang yang wudhu sehingga menjadi kacau wudhunya.
Setan spesialis wudhu ini disebut Nabi dengan “Al-Walahan”
Nabi
bersabda: “Pada wudhu itu ada setan yang menggoda, disebut dengan Al-Walahan,
maka hati-hatilah terhadapnya.” (HR Ahmad)
Setan
ini menggoda tidak hanya mengandalkan satu jurus saja untuk memperdayai
mangsanya.Untuk masing-masing karakter pelaku wudhu, disiapkan satu jurus untuk
melumpuhkannya.
1.Waspadai Setiap
Jurusnya
Sebagian
dipermainkan setan hingga sibuk mengulang-ulang lafazh niat.Saking sibuknya
mengulang, ada yang rela ketinggalan rekaat untuk mengeja niat.
Niat
memang harus dilazimi bagi setiap hamba yang hendak melakukan suatu
akativitas.Akan tetapi, tak ada secuil keteranganpun dari Nabi yang shahih
menunjukkan sunahnya melafazkan niat. Bahkan tidak ada dalil sekalipun berupa
hadits
dha’if, mursal, atau yang terdapat di musnad maupun perbuatan sahabat yang
menunjukkan keharusan atau sunahnya melafazkan niat.
Dalil
yang biasa dipakai adalah hadits Nabi “segala sesuatu tergantung niatnya.”
Hadits ini tidak menunjukkan sedikitpun akan perintah melafazkan niat. Jika
hadits ini dimaknai sebagai niat yang dilafazkan, berarti untuk setiap amal
shalih baik menolong orang tenggelam, belajar, bekerja dan aktivitas lain
menuntut dilafazkan niat. Apakah orang yang melafazkan niat
ketika
wudhu juga melafazkan niat ketika melakukan aktivitas amal yang lain? Kalau
saja itu baik, tentunya Nabi dan para sahabat melakukannya.
Sebagian
lagi digoda setan sehingga asal-asalan ketika melakukan wudhu.Dia membiarkan
anggota tubuh yang mestinya wajib dibasuh, tidak terkena oleh air. Nabi
mengingatkan akan hal ini dengan sabdanya: “Celakalah tumit dari neraka.” (HR
Al-Bukhari dan Muslim)
Untuk
menangkal godaan ini, wajib bagi kita mengetahui, manakah anggota tubuh yang
wajib dibasuh atau diusap. Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan mata kaki …” (QS. al-Maidah : 6)
Syaikh
Utsaimin menyebutkan bahwa istinsyaq atau memasukkan air ke hidung kemudian
istinsyar (mengeluarkannya) hukumnya wajib karena hidung termasuk bagian dari
wajah yang dituntut untuk dibasuh.
Telinga
juga wajib untuk diusap karena termasuk bagian dari kepala sebagaimana hadits
Nabi: al-udzun minar ra’si, telinga adalah bagian dari kepala.
2.Boros Menggunakan
Air
Asal-asalan
berwudhu adalah jurus setan yang diarahkan bagi orang yang malas. Sedangkan
untuk orang yang antusias dan bersemangat,.al-walahan memiliki jurus yang lain.
Yakni dia menggoda agar orang yang wudhu terlampau boros menggunakan
air.Timbullah asumsi bagi orang yang berwudhu, semakin banyak air, maka semakin
sempurna pula wudhunya. Padahal anggapan ini
bertentangan
dengan sunnatul huda. Bahkan Nabi mengingatkan umatnya akan hal itu. Beliau
bersabda: “Sesungguhnya akan ada di antara umat ini yang melampaui batas dalam
bersuci dan berdoa.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan An-Nasa’i sanadnya kuat dan
dishahihkan oleh Al-Albani).
Ada
pula hadits menyebutkan, tatkala Nabi melewati Sa’ad yang tengah berwudhu,
beliau bersabda: “Janganlah boros dalam menggunakan air.” Sa’ad berkata:
“Apakah ada istilah pemborosan dalam hal air?” beliau menjawab: “Ya, meskipun
>
engkau (berwudhu) di sungai yang mengalir.”(HR Ibnu Majah dan Ahmad). Ibnul
Qayyim menyebutkan hadits ini dalam Zaadul Ma’ad, begitu pula Ibnul Jauzi dalam
kitabnya “Talbis Iblis”, hanya saja Syaikh Al-Albani menyatakan ini sebagai
hadits dha’if, begitu pula dengan Al-Bushiri dalam Al-Zawa’id.
Yang
baik adalah kita tidak boros dalam menggunakan air, termasuk ketika
berwudhu.Namun bukan berarti boleh meninggalkan sebagian anggota yang wajib
untuk dibasuh.
3.Ragu-Ragu Ketika
Berwudhu
Jurus
lain yang ditujukan bagi orang yang kelewat semangat dalam hal wudhu adalah,
setan menanamkan keraguan kepada orang yang berwudhu. Ketika orang itu selesai
wudhu, dibisikkan di hatinya keraguan akan keabsahan wudhunya. Agar orang itu
mengulangi wudhunya kembali dan hilanglah banyak keutamaan seperti takbiratul
uula maupun shalat jama’ah secara umum.
Telah
datang kepada Ibnu Uqail seseorang yang terkena jurus setan ini. Dia
menceritakan bahwa dirinya telah berwudhu, kemudian dia ulangi wudhunya karena
ragu, bahkan dia menceburkan diri ke sungai, setelah keluar darinya diapun
masih ragu akan wudhunya. Dia bertanya: “Dalam keadaan (masih ragu) seperti itu
apakah saya boleh shalat?” Ibnu Uqail menjawab: “Bahkan kamu tidak lagi wajib
shalat.”
Ya,
tak ada orang yang melakukan seperti itu kecuali orang yang hilang ingatan,
sedangkan orang yang hilang ingatan tidak terkena kewajiban. Wallahua’lam.
BAB
V
A.Air
yang Menyucikan
(ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Di
negeri kita, alhamdulillah, air mudah dijumpai. Salah satu manfaat terbesar
dari air adalah untuk bersuci. Banyaknya jenis air yang ada menuntut kita untuk
memahami mana air yang bisa dipakai untuk bersuci dan yang tidak.
Air
merupakan salah satu nikmat Allah l yang sangat besar nilainya bagi kehidupan.
Hampir seluruh makhluk di muka bumi membutuhkan air untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya, sehingga sering kita mendengar orang mengatakan air
adalah sumber kehidupan. Allah l sendiri telah berfirman:
“Dan
Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (al-Anbiya’: 30)
Yakni
segala sesuatu yang hidup baik manusia, hewan, maupun tumbuhan, membutuhkan air
demi kehidupan dan pertumbuhannya serta tidak dapat lepas darinya, sehingga
tidak ada kehidupan di muka bumi tanpa air. (Ruhul Ma’ani, 17/36)
Sementara
di dalam syariat yang mulia ini air juga digunakan sebagai alat bersuci, untuk
mandi, berwudhu, dan yang selainnya.Air juga merupakan asal yang digunakan
dalam thaharah (bersuci).
Di
dalam Al-Qur’an, Allah l berfirman:
“Dia
menurunkan bagi kalian air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya….”
(al-Anfal: 11)
“Dan
Kami menurunkan air dari langit sebagai penyuci.” (al-Furqan: 48)
Dua
ayat yang mulia ini menerangkan bahwasanya air yang turun dari langit itu suci
dan dapat menyucikan najis serta dapat menghilangkan hadats baik hadats besar
terlebih lagi hadats kecil. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/28, Tafsir Ibnu
Katsir, 2/304, Syarhul ‘Umdah, hlm. 60—61)
Air
yang menyucikan ini tidak sebatas air yang turun dari langit, tetapi juga air
yang keluar dari permukaan bumi seperti air sungai, air sumur, dan sebagainya.
(al-Ausath, 1/246)
Hal
ini sebagaimana dikatakan pula oleh al-Qurthubi t dalam Tafsir-nya, “Air yang
turun dari langit dan tersimpan di bumi itu suci, dapat menyucikan sekalipun
berbeda-beda warna, rasa, dan baunya….” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/29)
Demikian
pula air laut, suci dan dapat menyucikan, bisa digunakan untuk wudhu dan mandi
(al-Muhalla, 1/220, al-Mughni, 1/23, Tuhfatul Ahwadzi, 1/188, ‘Aunul Ma’bud,
1/107). Walaupun dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan
ahlul ilmi, namun telah datang berita yang pasti dari Nabi n ketika ditanya
oleh para sahabatnya tentang berwudhu dengan air laut, beliau bersabda:
هُوَالطَّهُوْرُمَاؤُهُ،الْحِلُّمَيْتَتُهُ
“Laut
itu airnya suci dapat menyucikan dan halal bangkainya.”1
Demikian
dinyatakan oleh al-Imam Ibnul Mundzir t. (al-Ausath, 1/247)
Kata
الطَّهُوْرُ dalam hadits di atas bila ditinjau secara bahasa Arab diambil dari wazan
(timbangan) فَعُولٌ yang merupakan sighah mubalaghah (bentuk kata dalam bahasa
Arab untuk menyatakan berlebih-lebihannya sesuatu) dari kata طَاهِرٌ dan
maksudnya adalah kesucian air laut itu melampaui dirinya, yakni ia dapat
menyucikan yang selainnya (Syarhul Bulughul Maram, asy-Syaikh Shalih
Alusy-Syaikh)
Pada
satu keadaan, terkadang kita dapatkan air yang semula suci tercampur dengan
sesuatu yang najis.Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana keberadaan air
tersebut?Apakah tetap suci dan dapat menyucikan atau air itu menjadi najis?
Ada
perbedaan pendapat dalam permasalahan ini.Namun yang rajih (kuat) adalah
pendapat yang mengatakan air yang tercampur dengan najis tidaklah menjadi najis
melainkan jika berubah sifatnya secara mutlak, warna, bau, ataupun rasanya,
baik air itu banyak maupun sedikit. (Sailul Jarrar, 1/54)
Dalil
dari pendapat ini antara lain sabda Nabi n:
الْمَاءُطَهُوْرٌلاَيُنَجِّسُهُشَيْءٌ
“Air
itu suci, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajisinya.”(HR. Ahmad 3/16, 31,
an-Nasa’i no. 324, Abu Dawud no. 60, dan at-Tirmidzi no. 66. Disahihkan oleh
asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i no. 315, Shahih Abu Dawud no. 60,
dan Shahih at-Tirmidzi no. 56)
Maksud
hadits di atas, selama air tersebut belum berubah salah satu sifatnya karena
bercampur/kemasukan benda yang najis maka ia tetap dalam kesuciannya. Adapun
bila mengalami perubahan maka air tersebut bisa menjadi najis. (Majmu’ Fatawa,
21/32—33, al-Ikhtiyarat hlm. 298, al-Ausath, 1/260, Nailul Authar, 1/56,
al-Mughni, 1/30, al-Majmu’, 1/163)
Ini
merupakan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah c dari kalangan sahabat, serta
pendapat al-Hasan al-Bashri, Ibnul Musayyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila,
ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri, an-Nakha’i, Jabir bin Zaid, Malik, dan yang
lainnya rahimahumullah. (Nailul Authar, 1/56)
Dengan keterangan
di atas, kita dapatkan dua macam air:
1. Air yang suci menyucikan
2. Air yang najis
Pendapat
ini merupakan mazhab Zhahiriyah dan sekelompok ahlul hadits, dan pendapat ini
yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t (Syarhul Bulughul Maram,
asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh).
Namun kita dapati
ada ulama yang membagi air menjadi tiga macam:
1. Air suci yang dapat menyucikan
2. Air yang suci namun tidak dapat menyucikan2
3. Air yang najis
Pendapat
ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Namun,
wallahu ta‘ala a‘lam, yang menenangkan hati dalam permasalahan ini adalah
pendapat yang membagi air hanya dua macam. Karena menetapkan adanya air suci
namun tidak menyucikan perlu mendatangkan dalil, sementara tidak ada dalil
dalam hal ini.
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Yang benar air itu terbagi dua saja, suci menyucikan
dan najis. Sedangkan air yang suci namun tidak menyucikan tidak ada wujudnya
dalam syariat ini.Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah t, dalilnya
adalah karena tidak adanya dalil dalam masalah ini. Kalau air jenis ini ada
dalam syariat niscaya urusannya akan diketahui serta dipahami dan terdapat
hadits-hadits yang jelas serta gamblang menyebutkannya. Karena urusan ini
bukanlah permasalahan yang remeh, namun berkaitan dengan pilihan apakah
seseorang harus shalat dengan berwudhu menggunakan air atau ia harus tayammum
karena tidak mendapatkan air yang dapat menyucikannya (wudhu).” (asy-Syarhul
Mumti’, 1/44)
Lalu
bagaimana dengan air yang dicampur dengan teh, susu, sirup, ataupun benda-benda
suci lainnya, apakah bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi? Bila tidak bisa,
berarti ada air suci namun tidak bisa menyucikan?
Air
yang suci itu bisa digunakan untuk bersuci sekalipun kemasukan atau bercampur
dengan benda yang suci selama masih melekat padanya nama air, belum berganti
kepada nama lain, dan benda yang mencampurinya itu tidak mendominasi air
tersebut. (Majmu’ Fatawa, 21/25, al-Muhalla, 1/199, al-Mughni, 1/22, Sailul
Jarrar, 1/58)
Air
bila telah bercampur dengan teh telah berubah namanya menjadi teh bukan lagi
air mutlak. Begitu pula jika bercampur dengan susu ataupun sirup (tidak lagi
disebut air). Dengan demikian, air (yang keluar dari kemutlakannya) ini tidak
bisa digunakan untuk bersuci. (al-Muhalla, 1/202)
Adapun
pembahasan air yang kita bawakan di sini adalah air mutlak, bukan air yang
telah berubah namanya karena adanya benda suci yang bercampur atau dimasukkan
ke dalamnya.Air mutlak inilah yang bisa digunakan untuk menghilangkan hadats,
sedangkan benda cair lainnya tidak bisa menghilangkan hadats (tidak bisa
digunakan untuk bersuci, wudhu, dan mandi). (Syarhul ‘Umdah, 1/61—62)
Ini
merupakan pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Dawud, dan selain mereka.
Pendapat ini pula yang dipegangi oleh al-Hasan, ‘Atha ibnu Abi Rabah, Sufyan
ats-Tsauri, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, dan selain mereka rahimahumullah.
(al-Muhalla, 1/202, 220)
Dalilnya adalah
firman Allah :
“Lalu
jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan menggunakan
tanah/debu yang bersih.” (al-Ma’idah: 6)
Dalam
ayat di atas, Allah l memerintahkan untuk menggunakan tanah (tayammum) bila
tidak mendapatkan air untuk wudhu atau mandi janabah/haid, sekalipun kita masih
bisa mendapatkan benda cair atau benda yang mengalir lainnya. (asy-Syarhul
Mumti’, 1/22, 38)
1.Air
Musta’mal
Air
musta’mal adalah air yang telah dibasuhkan pada anggota badan kemudian
berjatuhan atau bertetesan dari anggota badan tersebut, bukan air yang telah
diciduk ataupun sisanya.Misalnya engkau mencuci wajahmu, maka air yang
bertetesan dari wajahmu itu adalah air musta’mal. (asy-Syarhul Mumti’, 1/28)
Hukum
air yang musta’mal ini diperselisihkan oleh ulama, suci atau tidaknya. Namun
yang rajih adalah pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama, yaitu air
musta’mal ini suci, kecuali bila berubah salah satu dari tiga sifatnya karena
benda najis. Adapun dalil jumhur sebagai berikut.
1.
Perbuatan para sahabat yang mengambil air yang berjatuhan dari air wudhu Nabi n
kemudian mereka mengusapkannya ke badan mereka (Sahih, HR. al-Bukhari no. 187).
Seandainya
air tersebut najis niscaya Rasulullah n tidak akan membiarkan perbuatan
tersebut.
2.
Nabi n yang mandi janabah bersama istrinya dalam satu bejana, sebagaimana
disampaikan oleh ‘Aisyah x:
كُنْتُأَغْتَسِلُأَنَاوَرَسُوْلُاللهِ
n مِنْإِنَاءٍوَاحِدٍنَغْتَرِفُجَمِيْعًا
“Aku
dan Rasulullah n pernah mandi dari satu bejana, kami menciduk air dari bejana
tersebut secara bersama-sama” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 273 dan Muslim no.
321)
Sementara
diketahui bila seseorang mandi pasti ada air dari tubuhnya yang jatuh kembali
ke tempat penampungan air (bak ataupun bejana). Bila air tersebut najis niscaya
Nabi n tidak akan menggunakan air tersebut untuk mandi.
3.
Sabda Nabi n kepada Abu Hurairah z:
إِنَّالْمُسْلِمَلاَيَنْجُسُ
“Sesungguhnya
seorang muslim itu tidaklah najis.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 283 dan Muslim
no. 371)
Bila
seorang muslim itu tidak najis, maka air yang bertetesan dari tubuhnya atau
sekadar disentuhnya tidak mungkin menjadi najis.
Sementara
Abu Hanifah t menyelisihi pendapat jumhur ini dalam satu riwayat
darinya.Demikian pula Abu Yusuf muridnya.Mereka berpendapat najisnya air
musta’mal ini dengan bersandarkan dalil yang lemah. (Majmu’ Fatawa, 1/204,
Nailul Authar, 1/43, 46)
Ibnu
Hazm t di dalam al-Muhalla (1/186) membantah keras pendapat Abu Hanifah dan Abu
Yusuf yang mengatakan najisnya air musta’mal.
Jumhur
ulama kemudian berselisih, apakah air musta’mal yang suci itu dapat menyucikan
atau tidak?
Kelompok
pertama berpendapat air musta’mal itu suci tapi tidak menyucikan, sebagaimana
dinukilkan satu riwayat dari Ahmad, asy-Syafi’i, dan Malik, serta merupakan
pendapat al-Laits, al-Auza‘i, dan selain mereka.
Kelompok
kedua sebagaimana pendapat al-Hasan, ‘Atha, an-Nakha’i, az-Zuhri, Makhul, ahlu
zhahir, juga satu riwayat dari al-Imam Ahmad, dan asy-Syafi’i serta Malik,
mengatakan bahwasanya air musta’mal itu suci dan menyucikan.
Pendapat
kedua inilah yang rajih dengan dalil antara lain sabda Nabi n, “Sesungguhnya
air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang bisa menajisinya.” (al-Mughni, 1/28,
Nailul Authar, 1/47—48)
Adapun
pendapat kelompok pertama dijawab dengan hadits Ibnu ‘Abbas c,
أَنَّرَسُولَاللهِ
n كَانَيَغْتَسِلُبِفَضْلِمَيْمُوْنَةَ
“Nabi
n pernah mandi dengan sisa air (istrinya) Maimunah x.” (Sahih, HR. Muslim no.
323)
Ibnu
Hazm t mengatakan, “Bolehnya berwudhu dan mandi junub dengan air musta’mal dan
kebolehannya di sini adalah sama saja baik didapatkan air lain yang bukan air
musta’mal maupun tidak didapatkan.” (al-Muhalla, 1/183)
Allah
l berfirman:
“Apabila
kalian sakit, sedang safar (bepergian jauh), atau salah seorang dari kalian
datang dari tempat buang air besar atau kalian menyentuh wanita (jima’) lalu
kalian tidak mendapatkan air untuk bersuci maka bertayammumlah dengan
menggunakan debu yang bersih/suci.” (al-Ma’idah: 6)
Ibnu
Hazm t berkata, “Dalam ayat ini, Allah l menyebutkan air secara umum, tidak
mengkhususkannya.” (al-Muhalla, 1/184)
Al-Imam
asy-Syaukani t menyatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan larangan untuk
bersuci dengan menggunakan air yang diistilahkan dengan air musta’mal. Karena
air tersebut tidaklah keluar dari air mutlak hanya karena telah digunakan oleh
orang lain. Sehingga kesimpulannya air itu suci dan
menyucikan.
Oleh karena itu, siapa yang menyatakan air tersebut telah keluar dari
kesuciannya atau tidak dapat menyucikan lagi maka pernyataannya itu tidak bisa
diterima kecuali bila ia bisa mendatangkan dalil terhadap permasalahan ini....”
(Sailul Jarrar, 1/57)
Apakah Air yang
Najis Bisa Disucikan?
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin t menyatakan bahwa air yang najis bisa menjadi air yang suci dan
menyucikan bila telah hilang kenajisan yang mencampuri dan mengubah air
tersebut dengan menggunakan cara apa pun, sama saja baik airnya sedikit maupun
banyak. Ketika najis hilang pada air tersebut maka airnya menjadi suci.
(asy-Syarhul Mumti’, 1/47)
Keyakinan Tidak
Dapat Tergeser oleh Keraguan
Bila
kita ragu terhadap air, apakah ia suci atau najis, maka kita kembali kepada
hukum asal bahwa air itu suci. Adapun keraguan yang timbul setelah adanya
keyakinan, apakah airnya ternajisi atau tidak, maka tidak perlu dihiraukan
karena hukum air tersebut tetap suci. (Syarhul ‘Umdah, 1/83, al-Furu’, 1/61,
Sailul Jarrar, 1/59—60)
Keyakinan tidak
dapat dihilangkan dengan keraguan (al-Mughni, 1/43).
Al-Imam
an-Nawawi t menyatakan di dalam al-Majmu’ (1/224) bahwa dalil dalam hal ini
adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid z tentang seorang laki-laki yang mengadu
kepada Rasulullah n yang ia mendapatkan angin yang berputar di dalam perutnya
ketika sedang shalat. Namun ia bingung, apakah angin itu keluar dari duburnya
ataukah tidak. Maka Rasulullah n pun bersabda:
لايَنْصَرِفْحَتَّىيَسْمَعَصَوْتًاأَوْيَجِدَرِيْحًا
“Jangan
ia berpaling dari shalatnya (membatalkannya) hingga ia mendengar suara
(kentutnya) atau mencium baunya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 137 dan Muslim no.
361)
Dalam
hadits ini Nabi n memerintahkan orang tersebut untuk membangun keyakinannya di
atas hukum asal yaitu asalnya dia dalam keadaan suci (berwudhu). Adapun ia
kentut atau tidak maka itu adalah keraguan yang muncul belakangan. Hukum asal
thaharah-nya itu baru hilang bila ia yakin akan keluarnya angin dari duburnya,
baik dengan mendengar suaranya maupun mencium baunya.
Wallahu
ta‘ala a‘lam bish-shawab.
B.Penjelasan
Air Suci Tidak Menyucikan
Asy-Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t dalam kitabnya Bahjatu Qulubil Abrar wa
Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar (hlm. 24—25) mengatakan bahwa
Abu Sa’id al-Khudri z berkata, “Telah bersabda Rasulullah n:
الْمَاءُطَهُوْرٌلاَيُنَجِّسُهُشَيْءٌ
‘Air
itu suci tidak ada sesuatu pun yang dapat menajisinya’.” (Sahih, HR. Ahmad,
at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan an-Nasa’i)
Hadits
yang sahih ini menunjukkan asal air secara keseluruhan (meliputi seluruh air
yang keluar dari dalam bumi atau yang turun dari langit yang tetap sebagaimana
asal penciptaannya, ataupun berubah karena tersimpan lama atau karena
kemasukan/kejatuhan benda-benda yang suci, walaupun mengalami banyak perubahan)
itu suci, bisa digunakan untuk thaharah dan selainnya. Kecuali air yang berubah
warna, rasa, ataupun baunya karena kemasukan benda-benda yang najis,
sebagaimana hal ini disebutkan pada sebagian lafadz hadits.
Ulama
telah bersepakat tentang najisnya air yang mengalami perubahan akibat kemasukan
benda najis. Al-Imam Ahmad t dan selainnya mengambil dalil tentang perkara ini
dari firman Allah l:
“Diharamkan
bagi kalian memakan bangkai, darah, dan daging babi, daging hewan yang
disembelih
dengan
menyebut nama selain Allah, hewan yang mati karena tercekik, yang dipukul
dengan benda berat, yang jatuh dari tempat yang tinggi, yang ditanduk oleh
hewan lain, yang diterkam oleh binatang buas kecuali yang sempat kalian
sembelih, dan diharamkan pula bagi kalian hewan yang disembelih untuk berhala
dan diharamkan bagi kalian untuk mengundi nasib dengan anak panah….”
(al-Ma’idah: 3)
Sehingga
kapan pun terlihat sifat-sifat dari benda-benda yang diharamkan ini di dalam
air maka air tersebut menjadi najis.
Hadits
ini dan selainnya menunjukkan bahwa air yang berubah karena kemasukan
benda-benda yang suci tetap dihukumi suci dan menyucikan.Juga menunjukkan tidak
dilarangnya menggunakan air sisa seorang wanita secara mutlak, serta
menunjukkan sucinya air bekas celupan tangan orang yang bangun dari tidur
malam. Adapun larangan mencelupkan tangan yang datang dalam masalah ini
ditujukan kepada orang yang bangun tidur tersebut, ia dilarang mencelupkan
tangannya ke dalam air sebelum mencucinya sebanyak tiga kali. Sedangkan
pelarangan menggunakan air bekas celupannya tidak ditunjukkan dalam hadits ini.
Hadits Abu Sa’id
al-Khudri z di atas menunjukkan air itu terbagi dua:
Pertama,
air yang najis, yaitu air yang berubah salah satu sifatnya karena kemasukan
benda yang najis, sedikit ataupun banyak.
Kedua,
air suci menyucikan.
Adapun
menetapkan jenis air yang ketiga, yaitu air yang suci tapi tidak menyucikan dan
bukan pula air yang najis, tidaklah ada dalil syar‘i yang menunjukkannya,
sehingga air tersebut tetap di atas asal kesuciannya (yaitu suci dan
menyucikan).
Yang
mendukung keumuman hal ini adalah firman Allah l:
“Jika
kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan menggunakan tanah/debu
yang bersih.” (al-Ma’idah: 6)
Penyebutan
air yang dalam ayat ini disebutkan secara umum, karena penyebutannya datang
dalam bentuk nakirah (umum) dengan konteks penafian1 (kalimat negatif).Dengan
demikian, masuk di dalamnya seluruh air kecuali air yang najis karena adanya
ijma’ tentang hal ini.
Hadits
ini menunjukkan pula bahwasanya hukum asal air itu suci, demikian pula hal-hal
selain air.Maka kapan pun terjadi keraguan, apakah didapatkan padanya sebab
kenajisan atau tidak, maka kembalinya pada hukum asal yaitu sesuatu itu tetap
suci.
1
Yakni penyebutan ( ماء ) air dalam ayat disebutkan tanpa ال dan lafadz
sebelumnya berisi kalimat penafian (kalimat negatif) ﭷﭸ “Jika kalian tidak
mendapatkan air”.
C.Air
Suci dan Mensucikan dalam Islam
Alhamdulilah
hanya milik Allah semata, Dzat yang menurunkan air hujan sebagai rahmat bagi
makhluq-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah bagi Rasulullah
shalallahu alaihi wa salam, keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir
zaman.
Bersuci
adalah bagian dari iman, bahkan menjadi syarat sah sholat dimana sholat
merupakan tiang agama yang membedakan seorang muslim dan kafir. Oleh karena itu
sangat penting bagi kita untuk mempelajari perkara ini
Rasulullah
shalallahu alaihi wa salam bersabda:
الطُّهُورُشَطْرُالإِيمَانِ،وَالْحَمْدُلِلَّهِتَمْلأُالْمِيزَانَ،وَلاإِلَهَإِلااللَّهُ،وَاللَّهُأَكْبَرُ،يَمْلآنِمَابَيْنَالسَّمَاءِوَالأَرْضِ،وَالصَّلاةُنُورٌ،وَالصَّدَقَةُبُرْهَانٌ،وَالْوُضُوءُضِيَاءٌ،وَالْقُرْآنُحُجَّةٌلَكَأَوْعَلَيْكَ،وَكُلُّالنَّاسِيَغْدُو،فَمُعْتِقُهَاأَوْمُوبِقُهَا
Bersuci
adalah setengah iman, ucapan Alhamdulillah itu memenuhi timbangan amal, ucapan
Lailahaillallahu dan Allahu Akbar keduanya memenuhi apa yang ada diantara
langit dan bumi, sholat adalah cahaya, shodaqoh adalah bukti (benarnya iman),
dan sabar adalah cahaya yang panas, Al Qur’an adalah argument yang membelamu
atau menuntutmu. Setiap manusia ketika waktu pagi tiba, maka dia menebus
dirinya, maka boleh jadi dia menebusnya lalu dia merdekakan dirinya, atau dia
tebus dirinya namun kemudian dia binasakan (HR Muslim).
Berdasarkan
hadits diatas, dapat disimpulkan betapa pentingnya kedudukan bersuci dalam
islam.
Air yang bisa
digunakan untuk Bersuci [1]
Air
adalah nikmat yang Allah berikan kepada manusia, yang memiliki banyak manfaat
bagi kehidupan dan Allah ta’ala telah menjadikannya dzat yang digunakan untuk
bersuci dari hadats besar ataupun kecil.Dengan memohon taufiq Alah ta’ala
berikut ini saya sampaikan 7 macam air yang bisa digunakan untuk bersuci
beserta dalilnya. Semoga tulisan sederhana ini kembali menggugah ingatan kita
saat masih duduk di bangku TPA mendengarkan penjelasan ustadz/ah tentang
macam-macam air yang boleh digunakan untuk bersuci.
1)
Air Hujan atau Air yang turun dari langit. Dalil yang menunjukkan bolehnya
bersuci dengan air adalah firman Allah ta’ala
وَيُنَزِّلُعَلَيْكُمْمِنَالسَّمَاءِمَاءًلِيُطَهِّرَكُمْبِهِ
dan
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan
itu (Al Anfal 11)
2)
Air laut. Bolehnya menggunakan air laut untuk bersuci berdasarkan sebuah hadits
سألرجلرسولاللهصلىاللهعليهوسلمفقال
:يارسولاللهإنانركبالبحرونحملمعناالقليلمنالماءفإنتوضأنابهعطشناأفنتوضأبماءالبحر؟فقالرسولاللهصلىاللهعليهوسلم
:هوالطهورماؤهالحلميتته
Rasulullah
shalallahu alaihi wa salam pernah ditanya oleh seorang laki-laki, wahai
Rasulullah! Kami mengarungi lautan , dan kami hanya membawa sedikit air tawar.
Jika kami berwudhu dengan menggunakan air tawar yang kami bawa, maka kami akan
kehausan karena kehabisan air tawar. Apakah boleh kami berwudhu dengan air
laut.? Rasulullah shalallahu alaihi wa salam menjawab: laut itu suci airnya[2],
dan bangkai hewan yang hidup di laut adalah halal (bangkai terapung ataupun
tidak selama tidak memberikan madharatbagi kesehatan[3]) (diriwayatkan oleh
Ashabu Sunan, dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam silsilah shahihah 1/786)
3)
Air Sungai. Bolehnya menggunakan air sungai untuk berwudhu berdasarkan ijma[4].
Dan ijma adalah 1 diantara landasan hukum islam,
4)
Air Sumur. Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam:
الْمَاءُطَهُورٌلاَيُنَجِّسُهُشَىْءٌ
Pada
asalnya air itu suci dan mensucikan, tidak bisa dinajiskan oleh barang apapun.
Demikian
jawaban Rasulullah shalallahu alaihi wa salam ketika ditanyakan kepada beliau
tentang air sumur budho’ah yang digunakan untuk berwudhu (HR Ashabu Sunan
dishahihkan oleh Imam Ahmad Rahimahullahu)
5)
Air yang keluar dari mata air
6)
Air ES
7)
Air Embun[5]
Sekian
yang bisa kami sampaikan, semoga bermanfaat bagi saya dan seluruh kaum
muslimin, yang salah dari tulisan ini berasal dari saya pribadi dan syaitan
sehingga jika diantara kalian ada yang mengetahui kesalah saya dalam tulisan
ini, hendaknya dia menasehati saya. Adapun kebenaran mutlak datangnya dari
Allah ta’ala
Alhamdulillah
aladzi bi ni’matihi tatimus shalihaat
[1]
Diambil dari matan Al Ghoyah wa Taqrib karya Al Qodhi Abi Syuja’ ta’liq Majid
Al Hamawi Rahimahummalalhu dengan tambahan penjelaasann dari Ustadz kami
tercinta Abu Ukasyah Aris Munanda SS Hafidzhahullahu
[2]
Potongan hadits yang kami tebalkan adalah dalil yang menunjukkan bahwa air laut
itu boleh digunakan untuk bersuci karena air laut itu suci
[3]
lafadz hadits ini bersifat umum tidak membedakan antara bangkai hewan laut yang
terapung ataupun tidak. Adapaun larangan mengkonsumsi hewan laut yang berbahaya
bagi kesehatan, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa salam
عنأبيسعيدسعدبنمالكبنسنانالخدريرضياللهتعالىعنهأنرسولاللهصلىاللهوعليهوآلهوسلمقال
:لاضررولاضرار
“Tidak
boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang
lain“ (HR Ibnu Majah)
[4]
Sebagaimana yang dikatakan Maji Al Hamawy pada syarah beliau untuk kitab Matan
Abi Syuja’
[5]
Penulis matan Al Ghoyatu Taqrib tidak mencantumkan nash jelas berkaitan dengan
bolehnya menggunakan air es, embun dan mata air untuk berwudhu. Akan tetapi
terdapat dalil umum yang mengindikasikan hal itu, sebagaimana hadits pada point
ke 4.Berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa hukum asal air adalah suci dan
mensucikan. Sehingga jika dikatakan bahwa satu jenis air tidak bisa digunakan
untuk bersuci, maka wajib mendatangkan dalil.. Allahu a’lam
BAB
VI
macam-macam
mandi (muslim)
A.Mukaddimah
Apabila
seseorang suami bercumbu dengan isterinya, sama ada zakar masuk atau tidak ke
dalam faraj, yang mengakibatkan timbul kegairahan nafsu seks dan mengeluarkan
airmani atau airmazi, maka kedua suami isteri tersebut wajib mandi hadas.
Niat.
” Sengaja aku mandi junub / hadas besar
untuk mensucikan diriku, kerana Allah Ta’ala “
Untuk Perempuan
selepas datang haid.
Untuk
Haid. ” Sengaja aku mandi haid untuk sucikan diriku, kerana Allah Ta’ala.”
Untuk Nifas,
”
sengaja aku mandi hads nifas untuk mensucikan diriku, kerana Allah Ta’ala.”
Mandi Junub
Disini
diserta sedikit pengetahuan tentang Mandi Hadas Besar atau Mandi JunubYang
Diwajibkan atas Setiap Orang Muslimin dan Muslimat
Dalam
Al-Quran Surah Al-Maedah Ayat 5 berbunyi, ” Dan jika kamu berjunub maka
mandilah kamu.”
Orang-orang
yang wajib mandi junub / Hadas Besar ialah:
Mandi Hadas
Mandi
hadas ini adalah diwajibkan keatas seseorang yang baru selesai bersetubuh
diantara lelaki atau perempuan atau orang-orang yang keluar air mani baik
melalui mimpi atau sengaja, yaitu melalui
onani/ mastubasi / khayalan seks dan sebagainya.
Wajib
Mandi Hadas: Walau pun tidak keluar air mani, tetapi keluar air mazi, atau
lendir putih atau kegairahan memuncak sehingga zakar / clitoris membengkak dan
merangsang 120 %, maka adalah lebih baik mandi hadas – Insya Allah selamat.
Niat
Mandi Junub / Hadas Besar ialah, ” Sengaja aku mandi junub/ hadas besar
mensucikan diri aku, karena Allah Taala.” kemudiian siramkan air dimulai atas
kepala hingga bersih semua badan. Macam mandi biasa juga.
Mandi Haid
Setiap
wanita yang kedatangan kotor atau haid dan sudah bersih sepenuhnya, maka
wajiblah ia membersihkan diri, wajiblah ia mandi haid.
Haid
artinya darah yang wajib keluar dari faraj ( kemaluan ) perempuan yang sudah
cukup umur.
Mandi Nipas.
Seseorang
wanita yang bersalin dan sudah bersih darahnya.Maksudnya darah ‘beranaknya’
sudah kering.Ada yang 40 hari dan ada yang 60 hari.Maka ibu tersebut wajib
mandi nifas untuk membershikan diri.
Ketiga-tiga
benduk mandi Hadas, Mandi Haid dan Mandi Nifas ini disebut juga sebagi mandi
hadas besar.
Orang-orang
yang belum mandi hadas besar ini tidak boleh membuat sesuatu perkara seprti
menyentuh Al-Quran, Sembahyang, Puasa atau Tawaf.
Darah Istihadzah
Darah
Istihadzah ialah darah penyakit yang keluar dari faraj / rahim perempuan bukan
pada waktu kedatangan haid. Malah ia keluar terus menerus.
Mengikut
pendapat doktor, darah ini disebabkan sesuatu penyakit di dalam rahim, mungkin
pendarahan pada dinding rahim, luka pada rahim atau sebagainya.
Pada
pandangan doktor, persetubuhan diwaktu ini tidak dianjurkan. Dikhuatiri
penyakit akan bertambah parah atau menjadi infeksi kuman atau sebagainya..
Niat Mandi
Seseorang
yang sedang dalam berjunub dan yang belum suci baik daripada bersetubuh, haid,
nifas, onani maka wajiblah ia mensucikan
dirinya dengan mandi wajib.kalau tidak ada air, hendalkah ia bertayamum, sama
ada dengan tanah atau pasir.Untuk Lelaki selepas keluar air mani / selesai
bersetubuh bagi wanita.
B.HUKUM
DAN KEDUDUKAN MANDI BESAR
Adapun
yang berkaitan dengan mandi besar yaitu menyiram sekujur tubuh dengan air.
Dasarnya adalah firman Allah Ta?ala :
“Dan
jika kamu junub maka mandilah” (Al Maidah : 6).
Dan
firman Allah :
“(jangan
pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi” (An Nisa : 43).
Mandi besar itu
terbagi kepada wajib dan sunat :
1)
Adapun mandi besar yang diwajibkan, adalah mandi yang dilakukan setelah
bersetubuh, baik mani keluar atau tidak keluar, maka wajib baginya mandi
disebabkan hanya semata masuknya (tenggelam) kepala zakar (ke vagina) walaupun
sesaat, berdasarkan kepada hadits Abi Harairah -semoga Allah meridhainya- ia
berkata : telah bersabda Rasulullah -shallallahu ?alaihi wa sallam- :
“Apabila
laki-laki telah duduk diantara anggota tubuhnya yang empat kemudian ia
bersungguh-sungguh (memasukkan kemaluannya), maka wajiblah mandi”
[HR
Bukhari dan Muslim, ditambah Muslim : Walaupun tidak keluar mani]
Wanita
dalam hal itu (wajibnya mandi setelah setubuh) seperti laki-laki.
Begitu
juga, wajib mandi dikarenakan seseoarang mimpi setubuh, lalu mendapati bekas
mani, berdasarkan kepada hadits Ummu Salamah bahwasanya Ummu Sulaim istri Abi
Thalhah, bertanya kepada Rasulullah, ia berkata: Sesungguhnya Allah tidak malu
dari kebenaran, apakah mandi diwajibkan atas wanita bila ia bermimpi? Beliau
bersabda:
“Ya,
apabila ia mendapati air (air mani/ basah)” [H.R. Bukhari dan Muslim]
2)
Adapun mandi besar yang disunatkan (mandi besar yang dianjurkan) diantaranya :
Mandi
hari Jum?at, mandi untuk shalat Jum?at ini hukumnya sunat muakat (ditekankan),
kecuali bagi orang yang punya bau yang tidak enak dan menusuk hidung, maka
wajiblah untuk mandi, berdasarkan hadits Abi said Al Khudri -semoga Allah
meridhainya- ia berkata : telah bersabda Rasulullah -shallallahu ?alaihi wa
sallam- :
“Mandi
hari Jum?at adalah wajib atas setiap orang yang telah mimpi (baligh)” [H.R.
Bukhari dan Muslim]
Dan
berdasarkan hadits Samurah bin Jundub -semoga Allah meridhainya- ia berkata :
telah bersabda Rasululullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
“Barangsiapa
yang wudhuk pada hari Jum?at maka itu adalah bagus, dan barangsiapa mandi, maka
mandi itu adalah yang lebih afdhal’ [H.R. Tirmizi]
C.Cara
Mandi Sunnah Rasulullah SAW
bismillahirrahmanirrahim
Jenis
mandi yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW diantaranya adalah:
1.Mandi
pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah SAW mencontohkan melakukan
mandi
sebelum
berangkat ke tanah lapang untuk menunaikan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha.
2. Mandi ketika ihrom untuk haji atau umroh.
3. Mandi ketika masuk Mekkah.
4. Mandi ketika sadar dari pingsan.
5. Mandi ketika ingin mengulangi jima
(bersenggama dengan istri).
6. Mandi setiap kali sholat untuk wanita
yang sedang mengeluarkan darah akibat sakit.
7. Mandi setelah memandikan mayit.
8. Mandi sebelum sholat Jum’at. Beberapa hal
penting terkait mandi Jum’at ini adalah:
* Mandi ini dimaksudkan untuk
membersihkan diri sebelum sholat Jum’at, jadi bukan untuk menghormati hari
Jum’at itu sendiri
* Terkait hal diatas, maka mandi ini disunnahkan
hanya untuk orang yang akan menghadiri sholat Jum’at
* Banyak ulama yang mewajibkan mandi
ini. Jadi, sebaiknya kita biasakan selalu melakukannya
* Waktu mandi Jum’at dimulai setelah
terbit matahari, namun lebih baik jika ketika akan pergi ke mesjid untuk sholat
Jum’at.
*
Mandi Jum’at ini boleh dilakukan dengan digabungkan dengan mandi junub, asalkan
dilakukan setelah terbit matahari.
Wallahu’alam
bisshawab.
alhamdulillahirabbilalamin
Referensi:
1. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, “Seseorang
pernah bertanya pada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengenai mandi. ‘Ali menjawab,
“Mandilah setiap hari jika kamu mau.”Orang tadi berkata, “Bukan.Maksudku,
manakah mandi yang dianjurkan?”‘Ali menjawab, “Mandi pada hari Jum’at, hari
‘Arofah, hari Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al Baihaqi 3/278. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ 1/177)
2. Riwayat Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma,Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi di hari
Idul Fithri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam
Muwatho’ 426.An Nawawi menyatakan bahwa atsar ini shahih
3. Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,“Ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas pakaian beliau
yang dijahit, lalu beliau mandi.” Abu Isa At Tirmidzi berkata, “Ini merupakan
hadits hasan gharib. Sebagian ulama menyunahkan mandi pada waktu ihram.Ini juga
pendapat Asy Syafi’i.”(HR. Tirmidzi no. 830.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih). Anjuran untuk mandi ketika ihrom ini adalah pendapat
mayoritas ulama
4. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Nafi’
berkata,“Ibnu Umar tidak pernah memasuki kota Makkah kecuali ia bermalam
terlebih dahulu di Dzi Thuwa sampai waktu pagi datang. Setelah itu, ia mandi
dan baru memasuki kota Makkah pada siang harinya. Ia menyebutkan bahwa hal
tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau melakukannya.”
(HR. Muslim no. 1259)
5.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Mandi ketika memasuki Mekkah disunnahkan menurut
kebanyakan ulama.Jika tidak dilakukan, tidak dikenai fidyah ketika
itu.Kebanyakan ulama mengatakan bahwa mandi ketika itu bisa pula diganti dengan
wudhu.”
6. Dari ‘Aisyah RA,Dari ‘Ubaidullah bin
‘Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Aku masuk menemui ‘Aisyah aku lalu berkata
kepadanya, “Maukah engkau menceritakan kepadaku tentang peristiwa yang pernah
terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit?” ‘Aisyah
menjawab, “Ya. Pernah suatu hari ketika sakit Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
semakin berat, beliau bertanya: “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami
menjawab, “Belum, mereka masih menunggu tuan.” Beliau pun bersabda, “Kalau
begitu, bawakan aku air dalam bejana.” Maka kami pun melaksanakan apa yang
diminta beliau. Beliau lalu mandi, lalu berusaha berdiri dan berangkat, namun
beliau jatuh pingsan.Ketika sudah sadarkan diri, beliau kembali bertanya,
“Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum wahai Rasulullah,
mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata lagi, “Bawakan aku air
dalam bejana.”Beliau lalu duduk dan mandi.Kemudian beliau berusaha untuk
berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan lagi.Ketika sudah sadarkan
diri kembali, beliau berkata, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab
lagi, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau
berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.”Beliau lalu duduk dan
mandi.Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh
dan pingsan lagi.Ketika sudah sadarkan diri, beliau pun bersabda, “Apakah
orang-orang sudah shalat?”Saat itu orang-orang sudah menunggu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di masjid untuk shalat ‘Isya di waktu yang akhir. (HR.
Bukhari no. 687 dan Muslim no. 418)
7. Abu Rofi’ radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir
istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan
ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi
saja?”Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih
bersih.”(HR. Abu Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan)
8. Dari Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi
istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka hendaklah ia berwudhu.”
(HR. Muslim no. 308)
9. Dari ‘Aisyah RA, “Ummu Habibah
mengeluarkan darah istihadhah (darah penyakit) selama tujuh tahun. Lalu ia
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah itu.
Beliau lalu memerintahkan kepadanya untuk mandi, beliau bersabda, “Ini akibat
urat yang luka (darah penyakit).”Maka Ummu Habibah selalu mandi untuk setiap
kali shalat.” (HR. Bukhari no. 327 dan Muslim no. 334)
10. Dari Abu Hurairah, “Setelah memandikan
mayit, maka hendaklah mandi dan setelah memikulnya, hendaklah berwudhu.” (HR.
Tirmidzi no. 993. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
11. “Barangsiapa memandikan mayit, maka
hendaklah ia mandi. Barangsiapa yang memikulnya, hendaklah ia berwudhu.”(HR.
Abu Daud no. 3161. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
12. Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa menghadiri shala Jum’at
baik laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan yang tidak
menghadirinya –baik laki-laki maupun perempuan-, maka ia tidak punya keharusan
untuk mandi”. (HR. Al Baihaqi, An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih).”
Demikian nukilan dari An Nawawi.
13. “Jika salah seorang di antara kalian
menghadiri shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi.” (HR. Bukhari no. 919 dan
Muslim no. 845)
14. “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh
setiap muslim adalah ia mandi dalam satu hari dalam sepekan dari hari-hari yang
ada.” (HR. Bukhari no. 898 dan Muslim no. 849)
15. “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at,
maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih
afdhol.”(HR.An Nasai no. 1380, At Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091).
Hadits ini diho’ifkan oleh sebagian ulama.
16. “Barang siapa berwudhu’ kemudian
menyempurnakan wudhu’nya lalu mendatangi shalat Jum’at, lalu dia mendekat,
mendengarkan serta berdiam diri (untuk menyimak khutbah), maka akan diampuni
dosa-dosanya di antara hari itu sampai Jum’at (berikutnya) dan ditambah tiga
hari setelah itu. Barang siapa yang bermain kerikil, maka ia telah melakukan
perbuatan sia-sia.”(HR. Muslim no. 857)
17. “Barangsiapa yang mandi kemudian
mendatangi Jum’at, lalu ia shalat semampunya dan diam (mendengarkan khutbah)
hingga selesai, kemudian ia lanjutkan dengan shalat bersama Imam, maka akan
diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya) antara hari itu dan hari jum’at yang
lain. Dan bahkan hingga lebih tiga hari.” (HR. Muslim no. 857)
D.Cara
Mandi Wajib Rasulullah SAW
Mandi
adalah aktivitas yang selalu dibutuhkan oleh manusia.Mandi memberikan perasaan
bersih dan percaya diri.Dalam tuntunan Rasulullah SAW, ada 2 jenis mandi, yaitu
mandi yang diwajibkan dan mandi yang disunnahkan. Dalam posting ini akan
dijelaskan mengenai mandi yang diwajibkan.
Mandi wajib
dilakukan jika terjadi hal-hal di bawah ini:
1. Keluarnya mani dengan syahwat. Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa mandi diwajibkan hanya jika keluarnya mani secara
memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi jika keluarnya karena
kedinginan atau sakit, tidak ada kewajiban mandi. Tapi biar aman, tetap mandi
saja :-D
2. Jika bangun tidur dan mendapati keluarnya
mani. Ulama berpendapat bahwa selama kita bangun dan mendapati adanya mani,
maka kita wajib mandi, walaupun kita tidak sadar atau lupa telah mimpi
basah atau tidak.
3.
Setelah bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
4. Setelah berhentinya darah haidth dan
nifas.
5. Ketika orang kafir masuk islam.
6. Ketika seorang muslim meninggal dunia.
Tentu saja yang memandikannya adalah yang orang yang masih hidup :-) Mayat
muslim wajib dimandikan kecuali jika ia meninggal karena gugur di medan perang
ketika berhadapan dengan orang kafir.
7. Ketika bayi meninggal karena keguguran
dan sudah memiliki ruh.
Cara-cara mandi
wajib (atau disebut juga mandi junub atau janabah) yang dicontohkan Rasulullah
SAW adalah sebagai berikut:
1. Berniat mandi wajib dan membaca
basmalah.
2. Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak 3
kali
3. Membersihkan kemaluan dan kotoran yang
ada dengan tangan kiri
4. Mencuci tangan setelah membersihkan
kemaluan dengan menggosokkan tangan ke tanah atau
dengan
menggunakan sabun
5. Berwudhu dengan wudhu yang sempurna
seperti ketika hendak shalat
6. Mengguyur air pada kepala sebanyak 3 kali
hingga sampai ke pangkal rambut
7. Mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala
bagian kiri
8. Menyela-nyela (menyilang-nyilang) rambut
dengan jari
9. Mengguyur air pada seluruh badan dimulai
dari sisi yang kanan, lalu kiri.
untuk wanita, ada
beberapa tambahan sebagai berikut:
1. Menggunakan sabun dan pembersih lainnya
beserta air
2. Melepas kepang rambut agar air mengenai
pangkal rambut
3. Ketika mandi setelah masa haidh, seorang
wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain
untuk
mengusap tempat keluarnya darah untuk menghilangkan sisa-sisanya.
4. Ketika mandi setelah masa haidh,
disunnahkan juga mengusap bekas darah pada kemaluan setelah
mandi
dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk
menghilangkan bau
yang
tidak enak karena bekas darah haidh
Tambahan lain
mengenai mandi wajib yang sering ditanyakan:
1.
Jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh
badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi
jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
2.
Setelah mandi wajib, diperbolehkan mengeringkan tubuh dengan kain atau handuk
3.
Berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan
menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah sunnah menurut mayoritas ulama.
Referensi:
1.
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
2.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
3.
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR.
Muslim no. 343)
4. Dari Aisyah RA, “Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan
dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia
wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi
tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak wajib
mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits
ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan[6].
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
5.
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu
terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari
no. 282 dan Muslim no. 313)
6.
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya:
menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib
baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
7.
Dari Aisyah RA, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun
tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah
ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang
dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.”
(HR. Muslim no. 350)
8.
Dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, “Beliau masuk Islam, lantas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun
sidr (daun bidara).” (HR.An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
9.
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga
kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah
yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan
Muslim no. 939)
10.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi
karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan
disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan demikian.
Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan,
sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
11.
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan
Muslim no. 1907) 12. “Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.”
(HR.An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
13.
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi
janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Saya
mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku,
kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Bukhari Muslim)
14.
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku,
kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Bukhari Muslim)
15.
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut
kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau
bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga
kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR.
Muslim no. 330)
16.
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci
kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk
shalat.Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya
ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan
kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke
seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
17.
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air
mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan
air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga
kali.Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan
kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya.Setelah itu beliau menggosokkan
tangannya ke tanah.Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam
hidung.Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya.Kemudian beliau membasuh
kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya.Setelah itu beliau bergeser
dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang
berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)
18.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’
(membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci
tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan
tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”
19.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota
wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib.Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke
seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al
ghuslu).”
20.
Dari Aisyah RA, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub,
beliau mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian
beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga
bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air
ke atasnya tiga kali.Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)
21.
Dari Aisyah RA, “Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia
mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu
mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan,
lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke
bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)
22.
Dari Aisyah RA, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang
kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap
perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari
no. 168 dan Muslim no. 268)
23. Dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata,
wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku
harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu
buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah
yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
24.
Dari Aisyah RA, “Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian
hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan
bersucinya.Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya
dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.Kemudian hendaklah engkau
menyiramkan air pada kepalanya tadi.Kemudian engkau mengambil kapas bermisik,
lalu bersuci dengannya.Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci
dengannya?”Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu
Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas
darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau
tentang mandi junub, maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu
bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci
kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar
kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim
no. 332)
25.
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu
setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no.
579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
26.
Dari Ibnu ‘Umar, Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau
menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu
Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf
27.
Dalam hadits Maimunah, “Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi
beliau tidak mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari
badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276)
BAB
VII
A.MACAM
MACAM NAJIS
Oleh:
AsianBrain.com Content Team
Macam-macam
najis dibicarakan dalam Islam, mulai dari pembagian najis dan bagaimana tata
cara menghilangkan.
Dengan
demikian, hal tersebut menjadi salah satu pedulinya Islam akan kebersihan diri.
Najis
yang secara syara’ siartikan sebagai benda yang kotor, ada beberapa, di
antaranya:
1. Bangkai, keculai manusia, ikan dan
belalang
2. Darah
3. Nanah
4. Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan
dubur
5. Anjing dan Babi
6. Bagian anggota badan binatang yang
terpisah karena dipotong dan sebagainya, selagi masih hidup
B.
Pembagian Najis
Najis
dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yakni:
1.
Najis Mukhaffafah (ringan)
Ialah
air kencing bayi laku-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan
seseuatu kecuali air susu ibunya.
2.
Najis Mugallazhah (besar)
Adalah
najis anjing dan babi dan keturunannya.
3.
Najis Mutawassithah (sedang)
Adalah
najis yang selain dari dua najis tersebut di atas, seperti segala sesuatu yang
keluar dari kubul dan dubur manusia dan bianatang, kecuali air mani, barang
cair yang memabukkan, susu hewan yang tidak halal dimakan, bangkai, juga tulang
dan bulunya, kecuali bangkai-bangkai manusia dan ikan serta belalang.
Najis
mutassithah dibagi menjadi dua:
Najis
‘ainiyah
Ialah
najis yang berujud/terlihat
Najis
hukmiyah
ialah
najis yang tidak kelihata bendanya, seperti bekas kencing, atau arak yang sudah
kering dan sebagainya.
C.
Cara Menghilangkan Najis
1. Barang yang kena najis mugallazhah seperti
jilatang anjing atau babi, wajib dibasuh 7 kali dan salah satu di antaranya dengan air yang bercampur
tanah.
2. Barang yang kena najis mukhaffafah, cukup
diperciki air pada tempat najis itu.
3. Barang yang terkena najis mutawassithah
dapat suci dengan cara dibasuh sekali, asal sifat-sifat najisnya (warna, baud
an rasanya) itu hilang. Adapun dengan cara, tiga kali cucian atai siraman lebih
baik.
Demikianlah
hal-hal yang berkaitan dengan najis, semoga uraian di atas bermanfaat.
D.Macam-macam
Najis dan Cara Mensucikannya.
Saat
ini, banyak ummat Islam yang tidak mengerti dan tidak tahu akan ajaran
agamanya. Bayangkan bagaimana jadinya generasi Islam beberapa tahun mendatang,
bila anak-anak muda dan remaja saat ini kelak menjadi orang tua?
Jangankan
perihal yang rumit-rumit semisal ushul fiqih, kajian hadist dan sebagainya,
perkara najis pun banyak yang tidak mengerti. Padahal besar sekali kaitannya
dengan ibadah utama kita, SHOLAT.
Najis
(Najasah) menurut bahasa artinya adalah kotoran.Dan menurut Syara' artinya
adalah sesuatu yang bisa mempengaruhi Sahnya Sholat.Seperti air kencing dan
najis-najis lain sebagainya.
Najis itu dapat
dibagi menjadi Tiga Bagian :
1. Najis
Mughollazoh. ( مُــخـــلَّــــظَـــةَ )
Yaitu
Najis yang berat.Yakni Najis yang timbul dari Najis Anjing dan Babi.
Babi
adalah binatang najis berdasarkan al-Qur`an dan Ijma' para sahabat Nabi
(Ijma'ush Shahabat) (Prof Ali Raghib, Ahkamush Shalat, hal. 33). Dalil najisnya
babi adalah firman Allah SWT [artinya] : "Katakanlah: "Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor
(rijsun)." (QS Al-An'aam [6] : 145)
Adapun
tentang najisnya Anjing, dapat dilihat dari salah satu hadist, Rasulullah SAW
Bersabda : Jika seekor anjing menjilat bejana salah satu dari pada kamu
sekalian, maka hendaknya kamu menuangkan bejana itu (Mengosongkan isinya)
kemudian membasuhnya 7X ( Diriwayatkan oleh Imam Muslim Al Fiqhu Alal
Madzhahibilj Juz I Hal.16) .
jika
binatang itu termasuk jenis yang najis (babi dan juga anjing), maka semua
bagian tubuhnya adalah najis, tidak peduli apakah dalam keadaan hidup atau
mati. (Abdurrahman Al-Baghdadi, Babi Halal Babi Haram, hal. 47).Imam al-Kasani
dalam kitabnya Bada'i'ush Shana'i` fii Tartib asy-Syara'i' (I/74) mengatakan
bahwa babi adalah najis pada zatnya dan babi tidak dapat menjadi suci jika
disamak.
Cara
mensucikannya ialah harus terlebih dahulu dihilangkan wujud benda Najis
tersebut.Kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai 7 kali dan permulaan
atau penghabisannya diantara pencucian itu wajib dicuci dengan air yang
bercampur dengan Tanah (disamak). Cara ini berdasarkan Sabda Rasul :
طَــهُوْرُإِنَّـاءِأَحَـدِكُـمْإِذَاوَلَــغَفِــيْـهِالْـكَــلْبُأَنْيــَـغْـسِـلَــهُسَــبْـعَمَـرَّاتٍأَوْلاَهُنَّأَوْأُخْـرَاهُنَّبِـالـتُّــرَابٍ
"Sucinya
tempat (perkakas) mu apabila telah dijilat oleh Anjing, adalah dengan
mencucikan tujuh kali. Permulaan atau penghabisan diantara pencucian itu
(harus) dicuci dengan air yang bercampur dengan Tanah". (H.R. At-Tumudzy)
2. Najis
Mukhofafah.
Ialah
najis yang ringan, seperti air kencing Anak Laki-laki yang usianya kurang dari
dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air Susu Ibunya.
Cara
membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang terkena
Najis tersebut sampai bersih betul. Kita perhatikan Hadits dibawah ini :
يُــغْسِـلُمِنْبَــوْلِالْـجَاريَــةِ،وَيُـرَشُمِنْبَــوْلِالْـغُــلاَمِ
"Barangsiapa
yang terkena Air kencing Anak Wanita, harus dicuci.Dan jika terkena Air kencing
Anak Laki-laki.Cukuplah dengan memercikkan Air pada nya". (H.R. Abu Daud
dan An-Nasa'iy)
Tapi
tidak untuk kencing anak perempuan, karena status kenajisannya sama dengan
Najis Mutawassithah ( مُـــتــــوَسِّــطَــــةْ )
3. Najis
Mutawassithah ( مُـــتــــوَسِّــطَــــةْ )
Ialah
Najis yang sedang, yaitu kotoran Manusia atau Hewan, seperti Air kencing,
Nanah, Darah, Bangkai, minuman keras ; arak, anggur, tuak dan sebagainya
(selain dari bangkai Ikan, Belalang, dan Mayat Manusia). Dan selain dari Najis
yang lain selain yang tersebut dalam Najis ringan dan berat.
Cara mensucikannya
perhatikan dibawah ini :
Najis Mutawassithah
itu - terbagi Dua :
1. Najis 'Ainiah,
yaitu Najis yang bendanya berwujud.
Cara
mensucikannya.Pertama menghilangkan zat nya terlebih dahulu.Sehingga hilang
rasanya.Hilang baunya.Dan Hilang warnanya.Kemudian baru menyiramnya dengan Air
sampai bersih betul.
2. Najis Hukmiah,
yaitu Najis yang bendanya tidak berwujud :
seperti
bekas kencing. Bekas Arak yang sudah kering.
Cara
mensucikannya ialah. Cukup dengan mengalir kan Air pada bekas Najis tersebut.
Najis Yang dapat di
Ma'afkan. Antara lain :
1.
Bangkai Hewan yang darahnya tidak mengalir.Seperti nyamuk, kutu busuk.Dan
sebangsanya.
2.
Najis yang sedikit sekali.
3.
Nanah. Darah dari Kudis atau Bisul kita sendiri.
4.
Debu yang terbang membawa serta Najis dan lain-lain yang sukar dihindarkan.
Najis menurut
Madzhab Syafi’i
Najis
adalah kotoran yang wajib dibersihkan atau mencuci bagian yang terkena oleh
najis itu.
Allah
Swt berfirman: “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Muddatsir : 4)
Di
ayat lainnya Allah Swt menyatakan: “Allah menyukai orang-orang yang bertaubat
dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah : 222)
Rasulullah
Shollallohu’alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Kesucian
itu sebagian dari iman” (HR. Muslim)
Pembagian Najis
Najis terbagi
menjadi tiga yaitu:
* Najis Mukhoffafah
(Najis Ringan)
Najis mukhoffafah atau najis ringan ialah
kencing bayi yang umurnya belum dua tahun dan belum makan sesuatu selain dari
susu ibunya (susu yang dicampur gula atau tepung itu hukumnya seperti selain
susu).
* Najis Mugholladzoh (Najis Berat)
Najis
mugholladhoh atau najis berat ialah anjing dan babi dan keturunan dari keduanya
atau salah satu dari keduanya.
* Najis Mutawassitah (Najis Sedang)
Najis
mutawasitah adalah najis selain dari najis mukhoffafah dan najis mugholladzoh.
Najis Mutawassithah
dibagi menjadi dua:
* Najis ‘Ainiyah (Tampak)
Yaitu
najis yang berwujud/terlihat.
* Najis Hukmiyah (Tidak tampak)
Yaitu
najis yang tidak kelihatan bendanya, seperti bekas kencing, atau arak yang
sudah kering dan sebagainya.
Segala
Sesuatu Asalnya Hukumnya Suci
Terdapat
suatu kaedah penting yang harus kita perhatikan yaitu segala sesuatu hukum
asalnya adalah mubah dan suci.Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis
maka dia harus mendatangkan dalil.Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan
dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita
berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya
suci.Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal
ini membutuhkan butuh dalil.
E.Beberapa
Macam Najis Berdasarkan Klasifikasinya:
Anjing
Anjing
adalah hewan yang dianggap najis menurut pandangan Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad bin
Hanbal. Sesuatu atau benda yang terjilat olehnya harus dicuci sebanyak tujuh
kali, yang salah satunya adalah dengan menggunakan (dicampur) tanah.
Berdasarkan
sebuah hadist: “Apabila ada anjing menjilati bejana (tempat makan minum) salah
seorang diantara kalian, maka hendaknya membuang isinya dan mencuci bejana itu
sebanyak tujuh kali yang pertama dengan (campuran) tanah. “(HR. Muslim)
Babi
Semua
tubuh Babi najis meskipun disembelih menurut syariat Islam.
Allah
Swt berfirman: “Diharamkan bagi kalian
(makanan) bangkai, darah dan daging babi” (Al-Maidah : 3)
Kotoran
Manusia dan Kencing Manusia
Adapun
najisnya kotoran manusia, berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
“Jika
salah seorang di antara kalian menginjak najis dengan sandalnya, maka tanah
adalah pensucinya.”( HR. Abu Daud. Hadist Sahih)
Sedangkan
keterangan yang menunjukan air kencing manusia itu najis dari riwayat Anas ra,
bahwa seorang Arab badui kencing di masjid, lalu para sahabat berdiri (marah)
kepadanya, kemudian Rasulullah saw bersabda : “Biarkan ia, jangan kalian
menghentikannya!” (Anas ra berkata, “Setelah selesai beliau memerintahkan
mengambil an satu ember air, lalu disiramkan di atasnya. “(HR. Bukhari Muslim)
Bangkai
Bangkai
adalah hewan yang matitanpa disembelih secara syari’at.Bangkai tersebut najis
berdasarkan ijma. Nabi saw bersabda : “Jika kulit bangkai telah dimasak, maka
ia menjadi suci.”
Darah dan Nanah
Semua
jenis darah termasuk nanah adalah najis. Dikecualikan:
* Sisa darah dalam daging, urat-urat dan
tulang hewan yang telah disembelih, atau darah ikan. Atapun darah yang tampak
ketika memasak daging, maka hal itu tidak mengapa (ma’fu anhu).Aisyah ra
berkata: “Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah yang
menempel pada kuali.” Darah atau nanah sedikit yang berasal dari bisul atau
luka sendiri (bukan luka orang lain).
* Dalilnya seperti dalam kitab Sahih Bukhari
disebutkan:“Bahwa orang-orang muslim pada permulaan datangnya Islam, mereka
mengerjakan shalat dalam keadaan luka. Seperti Umar bin Khaththab yang
mengerjakan shalat, sedang darah lukanya mengalir.”Darah nyamuk, kutu kepala
atau binatang kecil lainnya yang darahnya tidak mengalir.
Benda Cair Yang
Memabukkan
Ketika
membicarakan permasalahan ini banyak ulama yang merujuk kepada hukum khamar
(arak).Jumhur Madzhab empat (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
sepakat terhadap kenajisan khamar.Pendapat yang demikian ini dibenarkan
penisbatanya kepada mereka oleh Imam Ibnu Taimiyah.Karena khamar itu nasji
ainnya (dzatnya), maka mereka berpendapat haram menjadikanya sebagai komoditas
jual beli. Karena adanya hadits yang menyebutkan : “Sesungguhnya Allah yang
mengaharmkan meminumnya, juga mengharamkannya menjualnya”.
Muntah
Muntah
manusian najis baik orang dewasa atau anak ila hanya sedikit maka hal itu
dimaafkan (tidak najis).
Dalam
Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq maupun dalam Al-Majmu karya Imam Nawawi, atau
kitab fikih lainnya menyebutkan bahwa muntah itu najis dan menjadi kesepakatan
para ulama (Ittifaq Ulama).Namun tidak disebutkan dalil yang menunjukan dalil
najisnya muntah.Sehingga sebagisn ahli fikih kontemporer semisal Syeikh Albany,
Syaikh Kamil Uwaidah bahwa muntah itu suci karena tidak ada dalil yang
menunjukan najis.
Wadi
Wadi
adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal
mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau
yang khas.
Hukum
wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mengenai mani,
madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan
madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah
sebagaimana wudhumu untuk shalat.”
Madzi
Sedangkan
madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu
atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk
jima’.Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu
keluar ketika muqoddimah syahwat.Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa
memiliki madzi.
Hukum
madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan
ketika madzi tersebut keluar.
Dari
‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,“Aku termausk orang yang
sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku
pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad,
“Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”
Apabila
ada sesuatu yang diragukan najis atau suci nya, maka hendaklah kita cari dalil
tentang kenajisannya.Apabila tidak ada dalil yang menyebutkaan bahwa sesuatu
itu najis, maka kita kembalikan pada hukum asalnya bahwa segala sesuatu itu
hukum asalnya suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar