Rabu, 16 Juli 2014

Makalah Pengantar Ilmu Hukum

                                                          BAB 1
                                         MENGENAL HUKUM

Ada adagium yang menyatakan ‘’dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum.’’ Hukum apa? Hukum dalam pengertian yang umum, hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, seperti, kebiasaan, hukum adat, hukum agama, termasuk juga hukum yang dibuat oleh penguasa. Oleh karena itu setidak-setidaknya, masyarakat harus mengenal hukum, harus tahu apa itu hukum, bagaimana hukum itu, dimana hukum, mengapa hukum, jadi paling sedikit harus mempelajari hukum.

Dalam mempelajari hukum dapat digunakan beberapa metode : (JB Daliyo, dkk., 1998: 3-4) :
1.      Metode Idealis, adalah metode yang bertitik tolak dari suatu pandangan atau penglihatan bahwa hukum sebagai perwujudan dan nilai-nilai tertentu
2.      Metode Normatif Analisis, adalah metode yang melihat hukum sebagai suatu sistem aturan yang abstrak.
3.      Metode Sosiologis adalah metode yang bertitik tolak dari pandangan yang melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat.
4.      Metode Historis, adalah metode yang mempelajari hukum dengan melihat sejarah hukum itu sendiri.
5.      Metode Sistematis, aadalah metode yang mempelajari hukum dengan melihat hukum sebagi suatu sistem yang terdiri atas berbagai sub-sistem
6.      Metode Komparatif, adalah Metode yang mempelajari hukum dengan membanding-bandingkan hukum yang berlaku disuatu Negara tertentu dengan hukum yang berlaku dinegara lain.

A.    Asal Mula Hukum
Sudah merupakan kodratnya bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, sebab kalau hidup sendiri tentunya tak akanada yang menyebutnya dengan manusia. Lagi pula menurut Aristoteles, bahwa manusia ini sebagai makhluk pada dasarnya ingin selalu berkumpul dengan sesamanya (zoon poloticon). Manusia hidup tidak akan memisahkan diri dengan sesamanya, mereka punya kemauan, keinginan dan kepentingan yang berbeda satu sama lain dan usaha untuk memenuhi keinginannya itu manusia harus berhubungan dengan sesamanya.
Sebagai mahluk sosial manusia dalam kehidupannya memerlukan interaksi sosial satu sama lain, maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Pertemuan kepentingan antara manusia yang satu dengan yang lain ini, tak jarang, menimbulkan pergesekan ataupun perselisihan. Perselisihan yang ditimbulkan bisa berakibat fatal, apabila tidak ada sebuah sarana untuk mendamaikannya. Perlu sebuah mediator atau fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan yang bergesekan tersebut, agar manusia yang saling bersengketa  tersebut sama-sama memperoleh keadilan, inilah sebuah proses untuk menuju sebuah sistem tatanan hukum.
Kenyataan ini menjadikan manusia mulai berpikir secara rasional. Di berbagai komunitas masyarakat adat, hal ini menjadi pemikiran yang cukup serius, kemudian diangkatlah pemangku adat, yang biasanya mempunyai ‘kelebihan’ tertentu untuk ‘menjembatani’ berbagai persoalan yang ada. Dengan kondisi ini, tetua adat yang dipercaya oleh komunitasnya mulai menyusun pola kebijakan sebagai panduan untuk komunitas tersebut yang berisikan aturan mengenai larangan, hukuman bagi yang melanggar larangan tersebut, serta bentuk-bentuk perjanjian lain yang sudah disepakati bersama.
Proses inilah yang mengawali terjadinya konsep hukum di masyarakat, ternyata komunitas masyarakat adat sudah terlebih dahulu mengetahui arti dan fungsi hukum yang sebenarnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai hukum adat. Dapat dirumuskan bersama, bahwa hukum adat merupakan hukum tertua yang hidup di masyarakat. Hanya saja, mayoritas hukum adat ini biasanya tidak tertulis. Inilah salah satu kelemahan hukum adat.
Apa yang terjadi pada masyarakat adat inilah yang kemudian menginspirasi manusia modern untuk melakukan hal serupa.
Hubungan antar masyarakat adat ini semakin lama semakin luas dan semakin berkembang. Masyarakat-masyarakat adat yang saling berinteraksi akhirnya mengadakan perjanjian bersama untuk membentuk sebuah ikatan yang lebih luas, yang kemudian dikenal dengan istilah ‘negara’. Sejatinya, ‘negara’ ini sebenarnya berisikan berbagai kumpulan hukum adat.
Seiring dengan berkembangnya waktu, manusia modern memerlukan tatanan yang lebih selaras, seimbang dalam menjembatani berbagai kepentingan yang semakin dinamis dan kompleks. Hukum yang tadinya tidak tertulis, akhirnya disepakati bersama untuk dibakukan dan dijadikan pedoman. Tentunya, pedoman yang dimaksud kemudian dilakukan secara tertulis. Hukum tertulis inilah yang kita kenal sampai sekarang. Hukum tertulis ini bersifat dinamis. Akan terus berubah sesuai perkembangan zaman dan perkembangan kepentingan manusia.
Menurut bentuknya, hukum itu dibagi menjadi dua yaitu:
  1. Hukum Tertulis, adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum pidana dituliskan pada KUHPidana, hukum perdata dicantumkan pada KUHPerdata.
  2. Hukum Tidak Tertulis, adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu.
Hukum tertulis sendiri masih dibagi menjadi dua, yakni hukum tertulis yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Dikodifikasikan artinya hukum tersebut dibukukan dalam lembaran negara dan diundangkan atau diumumkan yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
           
B.     Definisi Hukum
Membuat defines yang tepat mengenai hukum tidaklah mudah, amat tergantung dari siapa yang mendefinisikannya dan dari sudat mana mereka melihatnya.
Kaum cerdik pandai (Ontwikkelde leek) mengatakan bahwa hukum adalah undang-undang yang membosan dan sangat terlalu banyak, berlaianan satu sama lain. Dengan memeperhatikan undang-undang mereka tidak bias memberikan definisi tentang hukum.
Kaum gelandangan (the man in the street) melihat hukum itu sebagai suatu yang konkret berupa polisi, jaksa, dan hakim, dan lain-lain penjabat yang mengatur masalah gelandangan .
Meskipun adanya berbagai faktor mengetahui definisi hukum sebagai suatu pegangan awal bagi orang yang ingin mempelajari hukum merupakan suatu hal yang terpenting. Oleh karena itu, berikut akan dikutip pengertian hukum menurut berbagai paham dan para sarjana atau ahli.
Pengertian hukum menurut para ahli dan maknanya;
1.      Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu. (E. Utrecht)
Ø  E. Utrecht mengartikan hukum sebagai alat daripada penguasa yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggar hukum karena dalam penegakan hukum jika terjadi pelanggaran menjadi monopoli penguasa.
2.      Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama, hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide mengenai keadilan. ( Satjipto Raharjo)
Ø  Satjipto Raharjo membahas hukum dalam perspektif filsafati dan bersifat normatif yang dilahirkan dari kehendak manusia atau masyarakat untuk menciptakan keadilan.
3.                        Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan hukuman. (J.C.T. simorangkir dan Woerjono Sastropranoto)
Ø  J.C.T. simorangkir dan Woerjono Sastropranoto melihat hukum dari segi formal atau landasan yuridis terbentuknya hukum –aturan-aturan- yang dibuat oleh suatu lembaga negara (badan-badan resmi) yang memiliki otoritas dalam memberikan sanksi atau tindakan hukuman terhadap pelanggar hukum.
4.      Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah hukum bersifat umum dan pasif. (Sudikno Martokusumo)
Ø  Sudikno Martokusumo mengartikan hukum sebagai pendapat manusia yang dilahirkan dari suatu perasaan moral manusia secara universal sehingga hukum harus dijadikan sebagai pedoman kehidupan.
5.      Kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum; dan tujuan hukum ialah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. (S.M. amin, S.H)
Secara umum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur tata tertip dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.
Dari beberapa defenisi tentang hukum tersebut, tampaklah bahwa hukum meliputi kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia agar hidup teratur, serta merupakan pedoman atau patokan sikap tindakan atau perilaku yang pantas dalam pergaulan hidup antarmanusia.
Bertitik tolak dari beberapa defenisi hukum tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa hukum terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut.
a.      Peraturan atau kaidah-kaidah tingkah laku manusia dalam pergaulan antarmanusia (masyarakat)
b.      Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c.       Peraturan merupakan jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak tentang adil dan tidak adil serta apa yang dianggap baik dan buruk
d.      Peraturan bersifat memaksa
e.      Peraturan mempunyai sanksi yang tegas dan nyata.
Di samping itu, kita juga dapat melihat bahwa hukum ditandai oleh ciri-ciri berikut:
a.      Adanya perintah dan/atau larangan.
b.      Perintah dan/atau larangan itu harus dapat ditaati oleh setiap orang.

C.    Keberlakuan Hukum
Hukum ada pada setiap manusia dimanapun juga dimuka bumi ini. Bagaimanapun primitifnya dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Olejh karena itu, keberadaan (ekstensi) hukum sifatnya universal ,hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, justru mempunyai hubungan timbal balik.
Menurut Bruggink ada 3 (tiga) macam keberlakuan hukum, yaitu:

1. Keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum
Yaitu jika suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk. Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi.

2. Keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum
Yaitu keberlakuan secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk setiap kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Keadaan itu dapat dinilai dari penelitian empiris;

3. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum
Yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.

















                                                       BAB 2
                                       KLASIFIKASI HUKUM

Hukum yang sangat kompleks pengertian atau pembatasannya, mempunyai banyak seluk beluk, sampai-sampai ada sarjana yang mengibaratkan hukum itu seperti sepeda motor yang berbentuk dengan ukuran, merek, dan kekuatan yang berbeda. Demikian juga dengan hukum, hukum itu dapat diklasifikasikannya menjadi beberapa macam, tergantung dari aspek mana kita melihatnya.

A.    Pembagian Hukum

Walaupun hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi  singkat yang meliputi segala-galanya, namun dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian, sebagai berikut:
1.    Menurut sumbernya, hukum dapat dibagi dalam:
a.    Hukum Undang-Undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
b.    Hukum Kebiasaan (Adat), yaitu hukum yang terletak di dalam peraturan-peraturan kebiasaan (adat).
c.    Hukum Traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antar negara (traktat).
d.    Hukum Jurispudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.
2.    Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi dalam:
a.    Hukum Tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan. Hukum ini dapat pula merupakan:
1.    Hukum tertulis yang dikodefikasikan.
2.    Hukum tertulis yang tak dikodefikasikan.
b.    Hukum Tak Tertulis (Hukum Kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan-peraturan.
3.    Menurut tempat berlakunya, hukum dapat dibagi dalam:
a.    Hukum Nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara.
b.    Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional.
c.    Hukum Asing, yaitu hukum yang berlaku di negara lain.
d.    Hukum Gereja, yaitu kumpulan norma-norma yang ditetapkan oleh Gereja untuk para anggota-anggotanya.
4.    Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibagi dalam:
a.    Ius Contitutum (Hukum Positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
Singkatnya: “Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat tertentu. Ada sarjana yang menamakan hukum positif itu “Tata Hukum”.
b.    Ius Contituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
c.    Hukum Asasi (Hukum), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia. Hukum ini tak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama-lamanya (abadi) terhadap siapapun juga di seluruh tempat.
Ketiga macam hukum ini merupakan Hukum Duniawi.
5.    Menurut cara mempertahankan, hukum dapat dibagi dalam:
a.    Hukum Material, yaitu hukum yang membuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan.
Contoh Hukum Material: Hukum Pidana, Hukum Perdata, maka yang dimaksudkan adalah Hukum Pidana Material dan Hukum Perdata Material.
b.    Hukum Formal Hukum Proses atau Hukum acara, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana caranya Hakim memberi putusan.
Contoh Hukum Formal: Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Pidana, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana Material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana caranya mengajukan suatu perkara pidana ke muka Pengadilan Pidana dan bagaimana caranya hakim pidana memberikan putusan.
Hukum Acara Perdata, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan suatu perkara perdata ke muka Pengadilan Perdata dan bagaimana caranya hakim perdata memberikan putusannya.
6.    Menurut sifatnya, hukum dapat dibagi dalam:
a.    Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus mempunyai paksaan mutlak.
b.    Hukum yang mengatur (Hukum Pelengkap), yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.
7.    Menurut wujudnya, hukum dapat dibagi dalam:
a.    Hukum Objektif, yaitu hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu. Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih.
b.    Hukum Subjektif, yaitu hukum yang timbul dari Hukum Objektif dan berlaku terhadap seorang tertentu atau lebih.
Hukum Subjektif disebut juga HAK.
Pembagian hukum jenis ini jarang digunakan orang.
8.    Menurut isinya, hukum dapat dibagi dalam:
a.    Hukum Privat (Hukum Sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
b.    Hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warganegara).

B.     Lapangan-Lapangan Hukum
            Pengklafisikasian hukum klasik sebagaimana dikemukakakn diatas dikenal dibeberapa Negara Eropa yang menganut sistem hukum continental, termasuk juga belan dan Negara-negara bekas jajahannya. Negara kita Indonesia yang juga bekas jajahan belanda (sehingga dulu dikenalo dengan Hindia-Belanda).
1.      Lapangan Hukum Publik, antara lain meliputi :
2.      a.              Hukum Pidana (material) atau (ius poenale/strafrecht/  criminal law)
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana  karena melanggar peraturan pidana. Dengan kata lain adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang berisi perintah dan larangan, dan barang siapa yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi pidana;
3.      b. Hukum Tata Negara (material) atau (Staatsrecht/Vervassungsrecht atau Constitutional law/droit constitutionel) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang dasar dan tujuan negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan dan pembagian tugas kekuasaan organisasi negara serta kewenangannya. Singkatnya HTN (material) mengatur tentang   kewajiban  dan kewenangan lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi suatu negara dalam hubungan dengan warganegara dan Hak Asasi Manusia;
4.      c. Hukum Tata Usaha Negara (material) atau (Administratief recht/verwaltungsrecht atau droit administratif/ administrative law) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang tatacara atau prosedur aparatur  negara  dalam melaksanakan tugas kewajiban penyelenggaraan   pemerintahan dalam hubungannya dengan pelayanan terhadap  masyarakat;
5.      d.             Hukum Internasional (Internationaal recht/internationaal public recht atau International law/droit international) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antara negara dan atau lembaga internasional;
6.      e.              Hukum Acara  (hukum formal) atau (Proces recht atau Proces law) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material yang dilanggar;
7.      f.              Hukum Acara Pidana (hukum pidana formal/straf proces recht) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur prosedur tindakan aparat pelaksana atau penegak hukum karena diduga terjadi pelanggaran undang-undang/peraturan pidana. Dengan kata lain adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara melaksanakan dan  mempertahanan  hukum pidana material yang  dilanggar;
8.      g.             Hukum Acara Tata Usaha Negara (HTUN Formal/administratief proces recht) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang cara bagaimana menyelesaikan sengketa tata usaha negara antara perseorangan atau badan pribadi dengan pejabat tata usaha negara akibat dilanggarnya peraturan tata usaha negara; atau hukum yang mengatur tata cara bersengketa di peradilan tata usaha negara.
9.   h.             Hukum Acara Tata Negara (HTN formal/ Proces constitusional law/costitutioneel proces recht) adalah keseluruhan  peraturan atau norma hukum yang mengatur prosedur atau cara untuk melaksanakan dan mempertahankan HTN material (konstitusi)  bilamanana dilanggar. 2.             Lapangan Hukum Privat, antara lain meliputi:
10.  a.              Hukum Perdata (Privaatrecht/Burgerlijk recht atau Private law), adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum  yang mengatur hubungan hukum antara perseorangan dan atau badan yang mengutamakan kepentingan pribadi atau individu. Dengan kata lain, hukum perdata adalah  keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan antara kepentingan perseorangan yang satu dengan kepentingan perseorangan yang lain;
11.  b.             Hukum Dagang (Handelsrecht atau Kommercial law), adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan  antara perseorangan dan atau badan di lapangan perdagangan atau bisnis. Hukum dagang ini merupakan bagian dari hukum privat dalam arti luas;
12.  c.              Hukum Perdata Internasional (Internationaal Privaatrecht atau International private law), adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum dan/atau asas-asas hukum  yang mengatur hubungan hukum antara perseorangan dan/ atau badan pribadi  yang mengandung unsur asing  dan mengutamakan kepentingan individu;
13.  d.             Hukum Acara Perdata (Hukum Perdata Formal/Burgerlijk Procesrechts) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di perdilan perdata; atau keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur tata cara bersengketa di peradilan perdata karena adanya pelanggaran hukum perdata material;
14.  e.              Hukum Acara Peradilan Agama adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara orang atau badan perdata mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di peradilan agama.


BAB III
             PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR DALAM HUKUM

Ada beberapa pengertian dasar yang perlu diketahui untuk dapat memahami ilmu hukum. Pengertian-pengertian dasar itu menyangkut subjek hukum, objek hukum, Hak dan Kewajiban.

A.    Subjek Hukum
Subyek hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum. Subyek hukum terdiri dari dua jenis yaitu manusia biasa dan badan hukum.
1.       Manusia Biasa
Manusia biasa (natuurlijke persoon) manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak kewarganegaraan.
Setiap manusia pribadi (natuurlijke persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subyek hukum kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan  hukum adalah sebagai berikut :
1.      Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).
2.      Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian   adalah :
3.      Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun).
4.      Orang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena   gangguan jiwa pemabuk atau pemboros.
5.      Orang wanita dalm perkawinan yang berstatus sebagai istri.


2.       Badan Hukum
Badan hukum (rechts persoon) merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum.
Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melalukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Misalnya suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan sebagai badan hukum dengan cara :
1.      Didirikan dengan akta notaris.
2.      Didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negara setempat.
3.      Dimintakan pengesahan Anggaran Dasar (AD) kepada Menteri Kehakiman dan HAM, sedangkan khusus untuk badan hukum dana pensiun pengesahan anggaran dasarnya dilakukan Menteri Keuangan.
4.      Diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia.
Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :
1.      Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)
Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
2.      Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon)
Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu.
Dengan demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, badan amal.
B.     Obyek Hukum
Obyek hukum menurut pasal 499 KUH Perdata, yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik.
C.    Hubungan Hukum
              Yang dimaksud dengan hubungan hukum adalah hubungan antara subjek hukum ataupun hubungan antara subjek hukum dangan objek hukum, yang diatur oleh hukum dan menimbulkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban.
D.    Peristiwa Hukum
              Antara hubungan hukum dengan peristiwa hukum mempunyai perbedaan prinsip, meskipun kedua-duanya sama-sama menimbulkan akibat hukum. Namun demikian, bahwa hubungan hukum dapat menimbulkan peristiwa hukum, atau dengan kata lain bahwa peristiwa hukum diakibatkan oleah adanya hubungn hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainnya.
E.     Hak dan kewajiban
            Hak adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Misalnya adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang yang memiliki tanah (Hak Milik Atas Tanah). Kewenangan itu memberikan seorang mempunyai Hak Milik dapat melakukan apa saja terhadap apa yang dimilikinya, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum dan kesusilaan.



                                                       BAB 4
                                          SUMBER HUKUM

Sumber hukum ada dua yaitu sumber hukum materill dan sumber hukum formal. Kalau yang ditanyakan sumber hukum materill maka yang jawabanya adalah ‘mengapa orang harus taat dan menjalankan ketentuan hukum,” sedangkan dimaksud sumber hukum formal adalah “dimana kita menemukan hukum’” CST. Kansil (1984; 46) mengatakan; “segala apa saja yang dapat menimbulkan aturan-aturan yamg mempunyai kekuatan bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi.
A.    Undang-undang
Sudarsono, (2001; 82) dengan mengutip pendapat C.S.T.Kansil menyatakan bahwa undang-undang adalah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yeng mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
B.     Yurisprudensi
Secara umum yang dimaksud dengan yurisprudensi yaitu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang secara umum memutuskan sesuatu persolan yang belum ada pengaturannya pada sumber hukum yang lain.
C.    Kebiasaan
Kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan keadaan yang sama. Bila suatu perbuatan manusi diterima oleh masyarakat sebagi suatu kebiasaan, dan kebiasaan ini berulang dilakukan, sehingga perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran (perasaan hukum) maka demikian timbulah suatu kebiasaan yang dipandang hukum.
D.    Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana pihak yang satu berjani kepada pihak yang lain untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu hal, sehingga pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut terikat oleh isi perjanjian yang mereka buat.
E. Perjanjian Internasioanal
Perjanjian internasioanal adalah sebuah perjanjian yang diadakan dua Negara atau lebih (bilateral atau multilateral). Perjanjian Internasioanal ini mempunyai kedudukan yang sama dengan Undang-undang karena perjanjian dengan Negara lain hanya dilakukan untuk persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
F.     Doktrin/Pendapat Para Ahli
Pendapat para ahli dapat digunakan untuk memecahkan masalah alngsung atau tidak langsung berkaitan satu sama lain.

























                                                     BAB 5
                            TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM

Pudarnya kepercayaan Masyarakat terhadap hukum akibat tujun hukum (dan fungsinya) tidak selalu tercapai seperti yang diinginkan, karena masih sangat bergantung dangan praktiknya dalam masyarakat. Oleh karena itu, membicarakan masalah tujuan dan fungsi hukum adalah merupakan masalah penting dalam ilmu hukum, yang semata-mata untuk menjelaskan bahwa “inilah” inilah tujuan dan fungsi hukum sebenarnya.

A.    Tujuan Hukum
Hukum dibuat dan diciptakan tentu saja mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Itulah yang merupakan tujuan dari hukum yaitu pada intinya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, aman, tentram, dan adanya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.

1. Teori etis (etische theorie)
Tujuan hukum semata-mata untuk mencapai keadilan. Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf Yunani dalam bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan ”hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak menerimanya”.
Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu :
a. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. (Pembagian menurut haknya masing-masing). Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang.
b. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing. Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing.

2. Teori utilitas (utiliteis theorie)
Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya.
Pencetusnya adalah Jeremy Betham. Dalam bukunya yang berjudul “Introduction to the morals and legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah/mamfaat bagi orang.
Apa yang dirumuskan oleh Betham tersebut diatas hanyalah memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum namun tidak memperhatikan unsur keadilan serta tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit.Sulit bagi kita untuk menerima anggapan Betham ini sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa apa yang berfaedah itu belum tentu memenuhi nilai keadilan.
Dengan kata lain apabila yang berfaedah lebih ditonjolkan maka dia akan menggeser nilai keadilan kesamping, dan jika kepastian oleh karena hukum merupakan tujuan utama dari hukum itu, hal ini akan menggeser nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan.
3. Teori campuran
Teori ini dikemukakan oleh Muckhtar Kusmaatmadja bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di samping itu tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.

4.Teori normatif-dogmatif
tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum (John Austin dan van Kan). Arti kepastian hukum disini adalah adanya melegalkan kepastian hak dan kewajiban. Van Kan berpendapat tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjaminnya kepastiannya.

5. Teori Peace (damai sejahtera)
Menurut teori ini dalam keadaan damai sejahtera (peace) terdapat kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang lemah, yang berhak benar-benar mendapatkan haknya dan adanya perlindungan bagi rakyat. Hukum harus dapat menciptakan damai dan sejahtera bukan sekedar ketertiban.
B.     Fungsi Hukum
Fungsi Hukum yang yang esensial mendasar menurut Ronny Hanitiji Soemitro (1989: 21) adalah untuk menjaga stabilitas dan kepastian. Dua hal ini merupakan tujuan tujuan utama dari hukum. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum telah memainkan peranan yang sangat penting  dalam  menjaga  ketertiban dan ketentraman. Hal ini disebabkan karena hukum mengatur agar kepentingan masing-masing individu tidak bersinggungan dengan kepentingan umum, mengatur mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat atau para pihak dalam suatu hubungan hukum dan lain sebagainya.
Apa yang diharapkan dari hukum adalah bekerjanya fungsi hukum. Dengan bekerjanya fungsi hukum sebagaimana mestinya maka penegakan hukum menjadi sangat mungkin diwujudkan. Mengapa hukum selama ini lemah? Karena fungsi hukum tidak berjalan dengan baik bila tidak ingin dikatakan stagnan. Stagnansi disebabkan oleh banyak faktor yang kemudian sering menjadi perdebatan atau bahan diskusi para ahli dan pakar hukum di media massa.
Untuk selanjutnya kami akan mengurai pendapat beberapa pakar atau ahli hukum mengenai fungsi hukum.
Fungsi Hukum menurut Para Ahli
Terdapat beberapa fungsi hukum menurut para ahli. Rumusan yang diberikan oleh para ahli tersebut  bermacam-macam. Untuk itu mari kita lihat rumusan fungsi hukum menurut para ahli berikut ini:

Fungsi hukum menurut J.F. Glastra Van Loon, antara lain:
Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menertibkan masyarakat dan mengatur pergaulan hidup masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa atau pertikaian dalam masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memelihara dan menjaga (mempertahankan) penegakan aturan tertib dengan cara yang memaksa; Hukum berfungsi untuk memelihara dan mempertahankan hak masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mengubah peraturan agar sesuai dengan kebutuhan; Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum.�
Fungsi hukum menurut Prof.Dr. Soerjono Soekanto, antara lain:
Sebagai alat untuk melaksanakan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, baik lahir maupun bathin, dan sebagai sarana untuk menggerakkan pembangunan bagi masyarakat.�
Selain fungsi hukum sebagaimana disebutkan diatas, Prof.Dr. Sunaryati Hartono juga membuat  rumusan mengenai  fungsi hukum dalam konteks pelaksanaan pembangunan nasional. Menurut Prof.Dr. Sunaryati Hartono, hukum memiliki fungsi antara lain:
Sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam masyarakat; sebagai sarana   untuk melaksanakan pembangunan; sebagai sarana untuk menegakkan keadilan; dan sebagai sarana untuk memberikan pendidikan (mendidik) masyarakat?
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa dalam hal rumusan mengenai fungsi hukum terdapat rumusan yang relatif hampir sama diantara para pakar tersebut. Terdapat sedikit perbedaan dalam rumusannya, namun secara umum substansi rumusan tersebut hampir sama.


                                                                   BAB 6
                                            ASAS-ASAS DAN SISTEM HUKUM
A.    Asas-asas Hukum
Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukumm yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret atau pelaksanaan hukum.Setiap perundang-undangan yang dibuat selalu didasari sejumlah asas atau prinsip dasar. Kata asas ialah dasar atau alas (an), sedang kata prinsip merupakan sino-nimnya (Wojowasito, 1972:17 dan 227).
Asas hukum merupakan fondasi suatu perundang-undangan. Bila asas tersebut dikesampingkan, maka bangunan undang-undang dan segenap peraturan pelaksananya akan runtuh.
Sudikno Mertokusumo (1996:5-6), memberikan pandangan asas hukum sebagai berikut :
“… bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di dalam dan di belakang, setiap sistem hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.
Satjipto Rahardjo (1986:87)menyatakan asas hukum, bukan peraturan hukum. Namun, tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa menge-tahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Karena asas hukum ini memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum dan tata hukum.
Beliau, selanjutnya mengibaratkan asas hukum sebagai jantung peraturan hukum atas dasar 2 (dua) alasan :
1. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya sebuah peraturan hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan hukum itu bisa dikembalikan kepada asas hukum.
2. Asas hukum karena mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.
Sudikno Mertokusumo, menyatakan bah-wa tak semua asas yang tertuang dalam peraturan atau pasal yang kongkrit. Alasannya, adanya rujukan pada asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ( Tiada suatu peristiwa dipi-dana, kecuali atas dasar peraturan per-undang-undangan pidana yang mendahu-lukannya ), dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas hukum tak hanya mempengaruhi hu-kum positif, namun dalam banyak hal tak menutup kemungkinan asas hukum itu da-pat membentuk sistem checks and ba-lance. Dalam artian asas hukum itu sering menunjukkan pada kaidah yang berlawan-an. Hal itu menunjukkan adanya sifat sa-ling mengendalikan dan membatasi, yang akan menciptakan keseimbangan.
Fuller menyatakan bahwa dengan merujuk pada asas-asas hukum digunakan dalam menilai ada tidaknya suatu sistem hukum.
Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa asas-asas hukum itu tak hanya sekadar persyaratan adanya suatu sistem hukum, melainkan merupakan pengklasifikasian sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu. Asas-asas hukum (principles of legality) menurut Fuller adalah sebagai berikut :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung per-aturan-peraturan yang dimaksud di sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar ke-putusan- keputusan yang bersifat ad hoc;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu ha-rus diumumkan;
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak dito-lak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku; membolehkan pengaturan yang berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berla-ku bagi waktu yang akan datang;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam ru-musan yang bisa dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung pera-turan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilaku-kan;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga menyebabkan orang akan kehilangan orientasi;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
Istilah sistem berasal dari perkataan sys-tema, dalam bahasa Latin-Yunani, artinya keseluruhan yang terdiri bermacam-macam bagian.
Secara umum sistem didifinisikan sebagai sekumpulan elemen-elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu di dalam lingkungan yang kom-pleks. Sunaryati Hartono (1991:56) memberikan pengertian sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejunlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas. Agar supaya berbagai unsur itu merupakan kesatuan yang terpadu, maka dibutuhkan organisasi.
Unsur-unsur sistem :
1. Elemen-elemen atau bagian-bagian;
2. Adanya interaksi atau hubungan antara elemen-elemen;
3. Adanya sesuatu yang mengikat elemen-elemen (bagian-bagian) tersebut menjadi s          suatu kesatuan;
4. Terdapat tujuan bersama sebagai hasil akhir;
5. Berada dalam suatu lingkungan yang komplek;
Subsistem hukum lebih tepat disebut sebagai inter subsistem, karena hukum mengatur bidang-bidang tertentu masing-masing subsis-tem lainnya. Intersubsisten hukum mencakup bagian-bagian yang saling berkaitan secara fungsional. Bagian-bagian itu adalah :
1. Struktur Hukum
2. Substansi Hukum
3. Budaya Hukum
Struktur hukum merupakan lembaga-lembaga hukum yang saling berkaitan dan berproses da-lam hubungan timbal balik. Lembaga hukum an-tara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan, ad-vokat, komisi pemberantas korupsi, lembaga pemasyarakatan dan lainnya. Substansi hukum adalah kaidah-kaidah hukum dan sikap tindak hukum yang teratur maupun yang unik.
Budaya hukum mencakup pengertian yang diberikan pada hukum oleh masya-rakat, bidang-bidang tata hukum inter sub-sistem hukum, pengertian dasar, nilai-nilai yang berpasangan.
B.     Sistem Hukum
Sistem hukum prinsipnya adalah mengatur bagaimana agar dalam masyarakat tidak selalu terjadi konflik (perbenturan kepentingan), dan kalaupun terjadi; Bagaimana cara menyelesaikan konflik tersebut? Cara menyelesaikan konflik ini termasuk ruang lingkup sistem peradilan yang kesemuanya termasuk sistem ruamg lingkup sistem hukum.
Sistem berasal dari bahasa Yunani ”systema” yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-amacam bagian. Prof. Subekti, SH sistem adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”. Sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yaNg terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain
 Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan atau benturan antara bagian-bagian. Selain itu juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian itu. Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya.
Sistem adalah statu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian sebagai unsur pendukung. Masing-masing bagian atau unsur tersebut saling berhubungan secara fungsional, resiprosal (timbal-balik, pengaruh-mempengaruhi) dan  saling ketergantungan (interdependent).
Bagian-bagian dari hukum merupakan unsur-unsur yang mendukung hukum sebagai suatu kesatuan (integral) dalam suatu jaringan dengan hubungan yang fungsional, resiprosal dan interdepedensi. Misal antara HTN, HAN, hukum pidana, hukum perdata, dst yang mengarah pada tujuan yang sama yaitu menciptakan kepastian hukum keadilan dan kegunaan. Sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Misalnya dalam hukum perdata sebagai sistem hukum positif.
Sebagai keseluruhan di dalamnya terdiri dari bagian-bagian yang mengatur tentang hidup manusia sejak lahir sampai meninggal dunia.
Dari bagian-bagian itu dapat dilihat kaitan aturannya sejak seseorang dilahirkan, hidup sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban dan suatu waktu keinginan untuk melanjutkan keturunan dilaksanakan dengan membentuk keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia juga memiliki kekayaan yang dipelihara dan dipertahankan dengan baik. Pada saat meninggal dunia semuanya akan ditinggalkan untuk diwariskan kepada yang berhak.
Dari bagian-bagian sistem hukum perdata itu, ada aturan-aturan hukumnya yang berkaitan secara teratur. Keseluruhannnya merupakan peraturan hidup manusia dalam keperdataan (hubungan manusia satu sama lainnya demi hidup).
Menurut Sudikno Mertukusumo sistem hukum merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang tediri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif.
Dengan kata kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan.
 Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas satu sama lain tetapi kait mengait. Arti pentingnya tiap bagian terletak justru dalam ikatan sistem, dalam kesatuan karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain. Dapat disimpulkan Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.
Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yg merupakan satu kesatuan yg terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan.

Sistem Hukum : Substansi, Struktur, Budaya Hukum

Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut perlu kerja sama antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola tertentu. 
 Dalam sistem hukum yang baik tidak boleh terjadi pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih di antara bagian-bagian yang ada. Jika pertentangan atau kontradiksi tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikan hingga tidak berlarut. 
Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan subsistem. Kesemuanya itu bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh. Marilah kita mengambil contoh sistem hukum positif Indonesia. 
Dalam sistem hukum positif Indonesia tersebut terdapat subsistem hukum perdata, subsistem hukum pidana, subsistem hukum tata negara, dan lain-lain yang satu sama lain saling berbeda. Sistem hukum di dunia ini ada bermacam-macam, yang satu dengan lainnya saling berbeda.

Kaitan antara sistem hukum dengan tata hukum

Sistem hukum menunjukkan adanya unsur-unsur dan sifat hubungannya, sedangkan tata hukum menunjukkan struktur dan prose hubungan dari unusr-unsur hukum. Pembagian sistem hukum dapat dilihat dari peraturan atau norma hukum yang kemudian dikelompokkan dan disusun dalam suatu struktur atau keseluruhan dari berbagai struktur. Misal UU Pajak dan UU Kepegawaianyang dikelompokkan sebagai HAN.





























                                                           BAB 7
                          PENEMUAN DAN PENEGAKAN HUKUM

A.    Penemuan Hukum
Secara Yuridis hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alas an tidak ada hukum, dengan kata lain hakim harus menerima semua kasus/perkara meskipun belum ada hukumnya dan disini hakim harus berperan mengisi kekosongan hakim, berusaha untuk menafsirkan suatu ketentuan hukum atau kaidah perundang-undangan yang tidak ada atau kurang jelas. Sebagai seorang hakim merupakan profesi mulia dan terhormat. Ia bertindak sebagai wakil Tuhan di permukaan bumi untuk menentukan seorang apakah berbuat kejahatan atau pelanggaran, melalui proses persidangan,  berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam per­sidangan ditambah dengan ke­ya­ki­nan­nya, baru setelah itu memutus perkara. Putusan (vonis) hakim bisa berbunyi pemidanaan, bebas dari segala tun­tu­tan hukum (Vrijspraak), dan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van gewijs), dalam konteks perkara pidana. Dan bisa juga berupa gugatan/per­mo­honan penggugat/pemohon di­ka­bul­kan/diterima, gugatan/permohonan ditolak, atau gugatan/permohonan tidak dapat diterima (niet on van­ke­lijk­ver­klaar), ini dalam perkara perdata.
Betapa strategisnya peran hakim. Oleh karena sangat strategisnya peran ha­kim dalam negara hukum (re­cht­s­staat) ini, kita berharap memiliki hakim yang tidak hanya semata-mata memedomani perundangan secara tertulis dalam hal menjalankan tugas dalam pekerjaannya, melainkan juga memerhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam konteks ini nilai-nilai keadilan. Ten­tunya dalam kaitan memeriksa, me­ngadili, dan memutus suatu per­kara.
Memeriksa, mengadili, dan me­mutus suatu perkara merupakan pe­ker­jaan hakim dalam hal penegakan hu­kum (law enforcement). Tetapi jangan lupa bahwa dalam hal pe­ne­gakan hukum menyangkut tiga aspek. Per­tama; aspek keadilan hukum, Ke­dua; aspek kepastian hukum, dan ke­tiga; aspek kemanfaatan hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah Lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum atau me­ne­rapkan peraturan hukum umum ter­hadap peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan proses konkretisasi dan individualisasi pera­turan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan pe­ris­tiwa konkret (das sein) tertentu (Ah­mad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Pro­gresif, hlm 21-22).
Penemuan hukum lazimnya di­ar­ti­kan sebagai proses pembentukan hu­kum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap pe­ris­tiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Sudikno Mer­to­ku­sumo, dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Pe­nemuan Hukum).
Sedangkan menurut Loudoe, pe­ne­muan hukum bukan suatu proses yang logis belaka melalui supsumpsi dari fakta pada ketentuan undang-undang, akan tetapi adalah juga penilaian ter­hadap fakta untuk kemudian me­ne­mu­kan hukumnya (Loudoe, dalam Eddy OS Hiariej, Asas Legalitas & Pe­ne­muan Hukum Dalam Hukum Pidana, hlm 56). Sedangkan menurut J.A Pointier, penemuan hukum adalah sebuah reaksi terkadap situasi situasi problematik yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum. Masih menurut Pontier, penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hukum yang ditimbulkan oleh kejadian-ke­ja­dian konkret.
Menurut hemat penulis, yang di­mak­sud dengan penerapan hukum dalam konteks beracara di pengadilan adalah merupakan serangkaian tin­da­kan hakim/majelis hakim dalam me­me­riksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang disidangkan oleh­nya semata berdasarkan kepada hu­kum dan perundang-undangan yang ter­tulis secara legal-formal, yang tentunya berdasarkan kepada fakta persidangan dalam hal memutus suatu perkara. Artinya, hakim hanya me­me­do­mani dan melaksanakan pengaturan dan perintah undang-undang dalam hal memutus suatu perkara.
Jamak diketahui, semakin maju zaman, peradaban dan teknologi, dan ting­ginya angka pengangguran, po­ten­sial terjadinya peningkatan kri­mi­na­litas, maka modus operandi-nya pun dalam melakukan kejahatan akan semakin beragam. Bisa dikatakan berbanding lurus antara kemajuan zaman dan lain-lain dengan modusnya. Bahkan modusnya bisa jadi lebih maju dari perundangannya. Hal mana bisa saja membuka peluang tidak ter—cover oleh perundangan secara legal-formal tentang salah satu tindak pidana atau perbuatan pidana (straftbaarfeit), atau kejahatan pada umumnya.
Hakim/majelis hakim dianggap mengetahui hukum, karenanya hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur tentang suatu perkara. Kecuali dalam hal kewenangan mengadili secara absolute atau kompetensi absolut (absolute competentie). Karenanya hakim/ma­jelis hakim  harus melakukan pe­ne­muan hukum.
Penemuan hukum da­lam pe­nye­le­saian suatu perkara harus positif, dalam artian sarat dengan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, dalam hal pe­ne­ga­kan hukum, guna terca­pai­nya keadilan hukum, kepastian hukum, dan ke­man­faatan hukum.
Kita para pencari keadilan (justitia bellen) berharap, agar hakim/majelis hakim dalam hal memeriksa, me­nga­dili, dan memutus suatu perkara dalam rangka penegakan hukum dan ter­ca­pai­nya keadilan, kepastian, dan ke­man­faatan hukum terkait penyelesaian suatu perkara pada tingkat per­si­dangan di pengadilan tidak melulu hanya melakukan apa-apa yang diatur dalam undang-undang, atau yang penulis sebut dengan penerapan hu­kum, melainkan juga melakukan pe­ne­muan hukum (rechts vinding) agar putusan-putusan lembaga peradilan (PN, PT, dan MA) mendapat apresiatif dari khalayak ramai di republik ini. Semoga “hukum” bisa membahagiakan masyarakat, melalui “ketok palu” hakim/majelis hakim.
B.     Sejarah Penemuan Hukum
Untuk mengatasi tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum di negara Perancis maka Napoleon yang pada waktu itu berkuasa sebagai Kaisar memerintahkan disusun undang-undang nasional yang berlaku untuk seluruh negara Perancis. Portalis menyusun Rancangan Undang-undang yang dimaksud dengan mengambil hukum kebiasaan yang berlaku di Perancis, sebagian hukum Jerman dan hukum Romawi.
Setelah disetujui Rancangan Undang-undang tersebut yang terdiri dari 2000 pasal disahkan dan diundangkan sebagai Undang-undang Nasional Perancis yang berlaku di seluruh negara Perancis. Sejak itu di Perancis terdapat adanya kesatuan hukum dan kepastian hukum. Hasil Code Civil dari Portalis tersebut dianggap sebagai suatau karya besar yang bersifat nasional dan isinya lengkap tanpa kekurangan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum code Civil dalam bentuk suatu kodifikasi.
Dengan adanya Code Civil atau Code Napoleon timbullah anggapan bahwa:
a.    Seluruh permasalahan hukum sudah tertampung dalam suatu Undang-undang, Undang-undang Nasional.
b.    Di luar Undang-undang tidak ada hukum. Undang-undang sudah lengkap dan sempurna serta tidak mempunyai kekurangan.
c.    Hakim hanya melaksanakan Undang-undang yang berlaku di seluruh negara.
Anggapan tersebut merupakan aliran yang dinamakan aliran legisme atau positivisme. Salah satu negara yang mempergunakan Code Civil adalah negeri Belanda. Pada saat itu negeri Belanda dijajah oleh Perancis. Meskipun Perancis sudah meninggalkan negeri Belanda pada tahun 1812 Belanda masih tetap memberlakukan Code Civil sampai negeri itu mempunyai Undang-undang nasionalnya sendiri yang berupa Burgelijk Wetboek (B.W.). Pada tahun 1835 B.W. ini adalah Undang-undang Hukum Perdata Belanda yang bersifat Nasional yang sebenarnya merupakan Code Civil Napoleon. B.W. negara Belanda tersebut dibawa ke Indonesia yang waktu itu dinamakan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda.
Pandangan Legisme tidak dapat bertahan, karena masyarakat yang semakin berkembang dan maju. Maka timbullah aliran-aliran baru yaitu Freie Rechtslehre dan disusul aliran Rechtsvinding. Ajaran freie Rechtslehre atau hukum bebas timbul pada tahun 1840, karena ajaran legisme dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan perkembangan masyarakat serta kemajuan masyarakat, kemajuan teknologi dan terus bertambahnya penduduk, masalah hukum yang baru timbul dan belum tertampung dalam Undang-undang Nasional yang sudah ada.
Dengan demikian aliran legisme yang berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang dan di luar Undang-undang tidak ada hukum, tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Hal ini sebenarnya sudah diingatkan oleh Portalis sebagai perancang Code Civil bahwa dengan adanya Undang-undang itu bukanlah seluruh hukum telah diatur di dalamnya.
Reaksi pertama timbul dari Jerman Barat ialah ajaran Freie Rechtslehre atau hukum bebas . Menurut paham ini hukum tumbuh di dalam masyarakat dan diciptakan oleh masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam yang sudah merupakan tradisi sejak dahulu, baik yang diajarkan oleh agama maupun adat istiadat.
Setelah aliran hukum bebas dipergunakan oleh banyak negara, maka timbul aliran baru yang dinamakan Rechtsvinding atau Penemuan Hukum. Kalau aliran hukum bebas bertolak pada hukum di luar Undang-undang, maka aliran rechtsvinding mempergunakan Undang-undang dan hukum di luar Undang-undang.
Dalam pemutusan perkara mula-mula hakim berpegang pada Undang-undang dan apabila ia tidak dapat menemukan hukumnya maka ia harus menciptakan hukum sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interprestasi dan melakukan konstruksi hukum apabila ada kekosongan hukum. Aliran penemuan hukum merupakan aliran yang dipergunakan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Aliran penemuan hukum ini muncul, karena perkembangan dan pandangan-pandangan terhadap hukum ada perubahan-perubahan, yaitu:
1.     Hukum itu harus berdasarkan asas keadilan masyarakat yang terus berkembang.
2.    Ternyata pembuat Undang-undang tidak dapat mengikuti kecepatan gerak masyarakat atau proses perkembangan sosial, sehingga penyusunan Undang-undang selalu ketinggalan.
3.    Undang-undang tidak  dapat menyelesaikan tiap masalah yang timbul. Undang-undang tidak dapat terinci melainkan hanya memberikan pedoman umum saja.
4.    Undang-undang tidak dapat sempurna, kadang-kadang dipergunakan istilah-istilah yang kabur dan hakim harus memberikan makna yang lebih jauh dengan cara memberi penafsiran.
5.    Undang-undang tidak dapat lengkap dan tidak dapat mencakup segala-galanya. Disana-sini selalu ada kekosongan dalam Undang-undang maka hakim harus menyusunnya dengan jalan mengadakan rekonstruksi hukum, argumentum a contrario.
6.    Apa yang patut dan masuk akal dalam kasus-kasus tertentu juga berlaku bagi kasus lain yang sama.
Metode Penemuan Hukum
Ketentuan Undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang konkrit dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dan peristiwa konkritnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.
Metode Penemuan hukum, yaitu:
1.     Konstruksi Hukum
2.    Interprestasi
3.    Argumentasi
4.    Fiksi
Interprestasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.
Metode interprestasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu dikaji dengan hasil yang diperoleh. Metode interprestasi yang akan dibicarakan dibawah ini bukanlah merupakan metode yang diperintahkan kepada hakim untuk digunakan dalam penemuan hukum, tetapi merupakan penjabaran putusan-putusan hakim. Dari alasan atau pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya dapat disimpulkan adanya metode interprestasi, yaitu;
1.     Interpretasi menurut bahasa/ gramatikal
2.    Interpretasi teleologis atau sosiologis
3.    Interpretasi sistematis atau logis
4.    Interpretasi historis
5.    Perbandingan hukum
6.    Interprestasi futuristis
Penafsiran diperlukan hanya oleh perjanjian dan Undang-undang. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam perjanjian jelas kiranya tidak perlu ditegaskan bahwa perjanjian itu tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari isi perjanjian itu. Asas ini disebut asas ”sens-clair” tercantum dalam Pasal 1342 KUH Perdata yang berbunyi:
“ Apabila kata-kata dalam suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari kata-kata itu dengan jalan penafsiran”.
Interprestasi Gramatical
Penafsiran gramatikal atau taalkundig adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata. Kata-kata atau bahasa merupakan alat bagi pembuat undang-undang untuk menyatakan maksud dan kehendaknya. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata tidak mudah. Oleh karenanya hakim apbila hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud Undang-undang atau apa yang dikehendaki oleh pembuat Undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang tersebut.
Ia harus mencari arti kata-kata itu dalam kamus atau penjelasan-penjelasan dari ahli bahasa. Inipun sering tidak cukup dan hakim harus mencari jalan lain. Misalnya, mencari sejarah penggunaan kata-kata tersebut sewaktu Undang-undang itu dibuat. Disamping arti kata-kata itu sendiri dalam penafsiran kata-kata itu harus dihubungkan pula dengan susunan kalimat dan dengan peraturan lain.

Interprestasi Sosiologis/ teleologis
Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pentingnya penafsiran sosiologis adalah sewaktu Undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain daripada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala sosial yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat.
Penafsiran sosiologis memang penting sekali bagi hakim terutama kalau diingat banyak Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Khususnya Indonesia banyak memakai Undang-undang zaman penjajahan, sehingga tidak cocok dengan keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.
Kita ambil sebagai contoh pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Sebelum putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dapat dihukum akibat perbuatan melawan hukum yaitu apabila perbuatan itu melanggar Undang-undang, Namun berdasarkan perkembangan masyarakat, setelah putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar UU, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban moral.
Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu Perundang-undangan yang bersangkutan atau pada Perundang-undangan hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu Perundang-undangan, sehingga mengerti maksudnya. Kita harus membaca UU dalam keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis. Antara banyak peraturan terdapat hubungan, yang satu timbul dari yang lain. Seluruhnya merupakan satu sistem besar.
Misalnya, Pasal 1330 KUHPerdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa ?. Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330 KUHPerdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.
Penafsiran Historis
Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah dari Undang-undang yang bersangkutan. Tiap ketentuan Perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah perundang-undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.
Ada dua macam penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah Undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah Undang-undang hendak dicari maksud  seperti yang dilihat oleh pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode ini ialah bahwa Undang-undang adalah kehendak pembentuk Undang-undang yang tercantum dalam teks Undang-undang.
Metode interprestasi yang hendak memahami Undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interprestasi menurut sejarah hukum. Interprestasi ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari sIstem hukum lain yang sekarang masih berlaku di negara lain, misalnya KUHPerdata yang berasal dari B.W negeri Belanda. B.W berasal dari Code Civil Perancis atau Code Napoleon.
`Interprestasi Perbandingan
Penafsiran perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan hukum asing.
a.    Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini mungkin hukum lama cocok untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Misalnya, beberapa asas hukum adat yang menggambarkan unsur kekeluargaan dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
b.    Hukum nasional dengan hukum asing. Hukum nasional tentu ada kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing apakah hukum itu cocok dan sesuai dengan kepentingan nasional, misalnya: Hak kekayaan Intelektual.

Interprestasi Futuristis
Interprestasi futuristis adalah metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yaitu penjelasan ketentuan Undang-undang dengan berpedoman pada Undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
Interprestasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan Undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara  dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode argumentasi.
Metode Argumentasi ada 3, yaitu:
1.     Argumentum Per analogiam
Analogi memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan hukum tersebut, misalnya, menyambung aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik. Analogi boleh digunakan apabila menghadapi peristiwa-peristiwa yang mirip. Tidak hanya sekedar kalau peristiwa yang akan diputus itu mirip dengan peristiwa yang diatur UU, tetapi juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang sama. Analogi ini dapat disebut juga interprestasi ekstensif, karena memperluas pengertian.
2.    Penyempitan Hukum
Kadang-kadang peraturan hukum lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu (Rechtsvervijning).
Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Contoh: Pasal 1365 KUHPerdata , isinya pihak yang salah wajib mengganti kerugian kepada yang menderita kerugian. Ada peristiwa tabrakan antara A dan B yang sama-sama berkecepatan tinggi dan sama-sama rusak. Apabila A menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan demikian kedua-duanya salah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi.
3.    Argumentum a contrario
Penafsiran a contrario adalah penafsiran Undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.
Penafsiran a contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogis , dimana penafsiran analogis membawa hasil positif sedangkan a contrario hasilnya negatif. Contoh: Pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian. Apakah seorang juga harus menunggu selama 300 hari?. Berdasarkan penafsiran a contrario, jawabnya tidak. Alasannya, peraturan Pasal 34 KUHPerdata hanya berlaku khusus bagi seorang perempuan dan terhadap laki-laki ketentuan seperti ini tidak berlaku.
C.    Penegakan Hukum
Penegakan Hukum merupakan suatu proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Dalam hukum pidana menurut Kadri Husin, penegakan hukum adalah suatu sistem pengendalian kejahatan yang dilakukan oleh lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkain penjabaran nilai tahap akhir. Selanjutnya, Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah-kaedah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum :
Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor-faktor tersebut ada lima, yaitu:
1.      Hukumnya sendiri, dibatasi pada undang-undang saja
2.      Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
3.     Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4.      Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5.      Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup
Faktor penghambat dan pendorong di dalam pelaksanaan tugasnya, yaitu:
1.      Faktor Hukum
Pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Tidak setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia. Hukum mempunyai unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin.
2.      Faktor Penegakan Hukum
Keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. Hukum identik dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Peningkatan kualitas merupakan salah satu kendala yang dialami di berbagai instansi.
3.      Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak adalah pendidikan dan perangkat keras adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
4.      Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.
5.      Faktor Kebudayaan
Fungsi kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.






















                                                        BAB 8
                 KEKUASAAN KEHAKIMAN

Hukum sebagai sarana untuk mengatur kepentingan masyarakat dengan segala tugas dan fungsinya tentu saja harus ditegakan, dan oleh karena itu diperlukannya aparat atauu lembaga Negara yang harus mengawasi pelaksanaan/penegakan hukum tersebut.
Dalam penjelasan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dikatakan; Undang-Undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 menegaskan Indonesia adaalah Negara hukum,. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya penajaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang medeka.

A.    Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya ‘pemisahan’ kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu memberikan arti kebebasan politik sebagai “a tranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another”. Kebebasan politik ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang lain di sekitarnya.

Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam ‘The Spirit of The Laws’ dalam pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power), bahwa: “When the legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute than in a tyranical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression. There would be an end of everything, were to some man, or the somebody, weather of the nobbles or of the people, to the exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolution and of trying the causes of individuals.”

Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan.

B.     Penyelenggaraan Peradilan

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Tetapi dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan kewenangan masing-masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam keseimbangan (balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini, dapat dikatakan sebagai inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia.Dengan konsep check and balances dimungkinkan adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep check and balances, berkenaan dengan kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman.

Meskipun UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana secara sewenang-wenang. Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.   
 
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’, dan ‘International Covenant on Civil and Political Rights’,[14] yang di dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“. Di dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article 10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law”.

Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent, tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka (public hearing). Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dari konsep negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut.

Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General Theory of Judicial Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic and analytically useful cannot be concerned with every inside and outside influence on judges”.[16] Dalam hal hakim yang bebas dalam proses peradilan, menurut Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily ‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”. Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ yudisial atau administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics” mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance of the mechanism of justice”. Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam ‘De Rechtsstaat’, mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen door en onafhankelijkerechter is de basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook garanderen dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal onafhankelijke rechter over klachten van burgers dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”[19]

Dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.

Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice). Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan.

Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual konkret.  Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara. Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah.

Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu:
(1)Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian              kekuasaan(distribution of power) di antara badan-badan penyelenggara negara.
(2) Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat.
(3) Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
(4)Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.

C.     Mahkamah Agung

         Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karier atau sistem non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Tugas Hakim Agung adalah Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi.
D.    Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-masing lebaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.
Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustus 2003 hingga 31 Desember 2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif. Dalam perkembangganya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial. Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari, S.H. yang di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi berakhir pada 16 Agustus 2008. Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang posisinya diganti oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya diganti oleh DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali Maruarar Siahaan, S.H. yang sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode pertama. Dengan demikian di periode kedua MK terdapat tiga nama lama dan enam nama baru. Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi yang berlaku efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24 Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari 2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim konstitusi inilah yang sekarang menjalankan tugas-tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan pelayanan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi. Demikian pula belum ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
E.     Komisi Yudisial
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung.
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, pindahan rumah, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, seperti ditulis dalam buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan (Jakarta: ELSAM, 2004), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:
  1. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.
  2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
  3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
  4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
  5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Masih menurut A. Ahsin Thohari, tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah:
  1. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
  2. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
  3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
  4. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
  5. Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.

Wewenang Komisi Yudisial

1.      Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
2.      Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
3.      Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
4.      Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH);

Tugas Komisi Yudisial

1.      Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2.      Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3.      Menetapkan calon Hakim Agung; dan
4.      Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.













                                                  BAB 9
                                    ILMU KENYATAAN

Saat terciptanya suatu hubungan antara masyarakat satu dan individu lainnya maka akan terciptanya suatu pandangan dari kenyataan, dimana peletekan dasar itu ada difakta yang didepan mata, dilihat, dirasakan atau dialami sendiri, ilmu kenyataan dalam konteks sosiologi lebih kepada penerapan yang reaksi sosialnya benar dapat dipahami dan terjadi beradasarkan kaedah-kaedah tertentu.
Bila kita kaji arti dari pada kenyataan merupakan hal yang pasti dalam perwujudan nialai-nilai budaya, dari budaya itulah yang mempengaruhi hukum sehingga terjadinya reaksi sosial.

A.    Ilmu Kenyataan Hukum
Ilmu hukum sebagai ilmu kenyataan membahas hukum dari sisi sikap tindak atau perilaku.Artinya hukum akan dilihat dari segi penerapannya yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku atau sikap tindak (das sein).  Di dunia ini manusia terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau disertai sanksi.Bilamana seseorang melanggar seseatu norma, maka orang itu akan mengalami sanksi yang berbagai-bagai sifat dan beratnya.

B.     llmu Hukum Sebagai Ilmu Kenyataan
Sebagimana telah dikemukakan bahwa ilmu tentang kenyataan atau Tatsachenwissenschaft menyoroti hukum sebagai perilakuan atau sikap tindak.Termasuk sebagai ilmu-ilmu kenyataan tentang hukum adalah:
1)      Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai sosial dengan gejala-gejala sosial lainnya.Studi yang demikian ini memiliki beberapa karakteristik. Ciri-cirinya adalah :
a.    Sosiologi hukum bertujuan untuk memberi penjelasan tentang praktek-praktek hukum, praktek peradilan dan pembuatan undang-undang. Menurut Marx Weber cara ini dinamakan sebagai interpratif-understanding yang tidak dikenal dalam studi konvesional. Sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, melainkan ingin memperoleh pula penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meliputi motif-motif tingkah laku seseorang.
b.    Sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahan empiris dengan usaha mengetahui antara isi kaidah dan dalam kenyataanya, baik dengan data empiris maupun data non empiris.
c.                 Sosiologi hukum, tidak melakukan penilaian terhadap hukum.
Ciri-ciri khas di atas menurut Satjipto Rahardjo, dalam bukunya “Ilmu Hukum” (1982) sekaligus merupakan kunci bagi orang yang berminat untuk melakukan penyeidikan dalam bidang sosiologi hukum. Dengan cara-cara menyelidiki hukum yang demikian itu, orang langsung berada di tengah-tengah sosiologi hukum.
Sosiologi hukum juga memiliki ciri-ciri khas yang sedemikian rupa sehingga ia mengemban tugas yang khas pula, bagi amalan hukum dan masyarakat, terutama masyarakat yang sedang membangun dan hukum diharapkan peranannya dalam proses pembangunan tersebut.
Adapun objek yang disoroti sosiologi hukum antara lain :
·         Hukum dan sistem sosial masyarakat
·         Persamaan dan perbedaan sistem-sistem hukum
·         Hukum dan kekuasaan
·         Hukum dan nilai-nilai sosial budaya
·         Kepastian hukum dan kesebandingan
·         Peranan hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat
Berdasarkan objek yang disoroti tersebut maka dapat dikatakan bahwa :
“Sosiologi Hukum adalah ilmu pengetahuan yang secara teoritis, analitis dan empiris, menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya”.

2)      Antropologi Hukum
Antropologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan, yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan. Metode pendekatan antropologi hukum menurut Euber: “Suatu segi yang menonjol dari ilmu antropoligi adalah pendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia.”
Konsep kebudayaan dan antropologi, sering dikaitkan namun secara pasti, antropologi  tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis.juga memakai istilah ini, atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini, memang sangat sering digunakan oleh antropolog dan telah tersebar ke masyarakat luas, bahwa antropologi bekerja dan meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh antropolog dalam pekerjaannya, bukan berarti para ahli antropolog mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut.
Antopologi hukum menggunakan pendekatan secara menyeluruh dalam menyelidiki manusia dan masyarakatnya dan menemukan bahwa melalui manifestasinya sendiri yang khas , “hukum”  itu selalu hadir dalam masyarakat.
Peranan Antropologi Hukum
Kalangan ahli antropologi memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh, aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti  politik, ekonomi, ideologi, religi, dan lain-lain. (Pospisil, 1971) atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat ( Moore, 1978 ). Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh Negara atau State Law, tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan okal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat ( costumary law/folk law ), termasuk pula didalamnya mekanisme-mekanisme pengaturan dalam masyarakat ( self regulation ) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial atau  legal order. Hukum dalam perspektif antropologis merupakan aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial, atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat. Karena itu, hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai institusi  otonom yang terpisah dari segi-segi kebudayaan yang lain. ( Pospisil, 1971). Jadi, untuk memahami tempat hukum, dalam struktur masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan. Kenyataan ini memeperlihatkan bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan yang tak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, struktur, dan organisasi sosial, ideologi, religi dan lain-lain. Sebagai suatu cabang ilmu sejarah , sejarah hukum terus berkembang dari zaman ke zaman.
3)      Psikologi Hukum
Psikologi hukum adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan jiwa manusia. Psikologi hukum mengkaji persepsi-persepsi seseorang tentang berbagai fenomena hukum:contoh pro kontra pidana mati, pro kontra kriminalisasi pornografi.
Contoh manfaaat psikologi hukum adalah digunakannya alat psikologi hukum yang dikenal sebagai”pendeteksi kebohongan” yang merupakan bagian dari “neuro-science” sebagai salah satu cabang psikologi hukum.
Ada kemiripan objek antara ilmu hukum dan psikologi. Baik hukum maupun psikologi, keduanya menarik minat terhadap perilaku manusia, menganalisis perilaku itu, memprediksinya, memahaminya, dan kadang-kadang mengendalikan perilaku tersebut. 
4)      Sejarah Hukum
Sejarah hukum adalah suatu bidang study hukum yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan dengan hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. Dalam sejarah hukum juga ditekankan bahwa , hukum suatu bangsa adalah ekspresi jiwa bangsa yang bersangkutan dan oleh karenanya hukum diberbagai negara berbeda-beda.
Fungsi dan Kegunaan Sejarah Hukum
1.        Mempertajam pemahaman dan penghaytan tentang hukum yang berlaku sekarang.
2.        Mempermudah para pembuat hukum sekarang, menghindari kesalahan dimasa lalu serta mengambil manfaat dari perkembangan positif hukum dimasa lalu.
3.        Mengetahui makan hukum positif bagi para akademisi maupun praktisi hukum dengan melakukan penelusuran dan penafsiran sejarah.
4.        Sejarah hukum mengungkap atau setidaknya memberi suatu indikasi dari mana hukum tertentu berasal, bagaimana posisinya sekarang, dan hendak kemana perkembangannya.
5.        Mengungkapkan fungsi daaan efektivitas dari lembaga-lembaga hukum tertentu. Artinya , dalam keadaan yang bagaimana suatu lembaga hukum dapat efektif menyelesaikan persoalan hukum dan dalam keadaan yang bagaiman pila lembaga tersebut gagal. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan yang ada dalam sejarah hukum tersebut ( Soerjono Soekanto, 1983: 41).
Jhon Gilison dan  menambahkan beberapa fungsi dari sejarah hukum yaitu sebagai berikut.
1.        Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak tetapi juga berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.
2.        Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum.
3.        Pengetahuan hukum tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum pemula untuk mengetahui budaya dan pranata hukum.
4.        Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan perlidungan HAM. Pelanggaran-pelanggaran HAM, seperti dalam sejarah hukum masa lampau, bukan zamannya lagi untuk diberlakukan masa kini.  


5)      Perbandingan Hukum
Perbandingan hukum adalah suatu metode studi hukum, yang mempelajari perbedaan sistem hukum  antara negara yang satu  dengan yang lain. Atau membanding-bandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Dilihat dari posisi yang demikian itu, orang akan mengatakan ; bahwa studi perbandingan hukum adalah studi tentang hukum asing.
Menurut Rudolf D. Schlesinger dalam bukunya Comparative Law (1959), mengemukakan bahwa perbandingan hukum, merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang bahan hukum tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa perbandingan hukum bukanlah satu perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum, melainkan suatu cara menggarap unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum.




C.    Penerapan Ilmu Hukum Sebagai Ilmu Kenyataan di Indonesia
Hukum sebagai kenyataannya hidup di dalam pergaulan hidup manusia dan tercermin dalam sikap tindak masyarakat untuk mengatur hidup manusia antara manusia yang lain dalam hubungan timbal balik antara manusia sebagai gejala sosial.
Penerapan Ilmu Hukum sebagai Ilmu Kenyataan di Indonesia dapat kita lihat dimana hukum tersebut diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia untuk mengatur hubungan sosial dalam masyarakat dan Indonesia juga menganut sistem negara hukum (Rechtstaat) dan juga terdapat Undang-undang yang mengatur negara tersebut sehingga hukum hidup di dalam pergaulan di negara Indonesia.























                                      DAFTAR PUSTAKA

                   Petrus C.K.L Bello, Ideologi Hukum :Refleksi Filsafat Atas Ideologi
Dibalik Hukum, Insan Merdeka, Bogor, 2013.

Katuuk, Neltje F, Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Gunadarma, 1994
Lebacqz, Karen, Teori-Teori Keadilan : Six Theories of Justice, Augusbung
            Publishing House, Indianapolis, 1986
Zaeni Asyhadi dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013

Sumber Web :
tushukum.com/fungsi-hukum.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar