BAB 1
MENGENAL HUKUM
Dalam mempelajari hukum dapat digunakan
beberapa metode : (JB Daliyo, dkk., 1998: 3-4) :
1. Metode
Idealis, adalah metode yang bertitik tolak dari suatu pandangan atau
penglihatan bahwa hukum sebagai perwujudan dan nilai-nilai tertentu
2. Metode
Normatif Analisis, adalah metode yang melihat hukum sebagai suatu sistem aturan
yang abstrak.
3. Metode
Sosiologis adalah metode yang bertitik tolak dari pandangan yang melihat hukum
sebagai alat untuk mengatur masyarakat.
4. Metode
Historis, adalah metode yang mempelajari hukum dengan melihat sejarah hukum itu
sendiri.
5. Metode
Sistematis, aadalah metode yang mempelajari hukum dengan melihat hukum sebagi
suatu sistem yang terdiri atas berbagai sub-sistem
6. Metode
Komparatif, adalah Metode yang mempelajari hukum dengan membanding-bandingkan
hukum yang berlaku disuatu Negara tertentu dengan hukum yang berlaku dinegara
lain.
A.
Asal
Mula Hukum
Sudah merupakan kodratnya bahwa manusia tidak bisa
hidup sendiri, sebab kalau hidup sendiri tentunya tak akanada yang menyebutnya
dengan manusia. Lagi pula menurut Aristoteles, bahwa manusia ini sebagai makhluk
pada dasarnya ingin selalu berkumpul dengan sesamanya (zoon poloticon). Manusia hidup tidak akan memisahkan diri dengan sesamanya,
mereka punya kemauan, keinginan dan kepentingan yang berbeda satu sama lain dan
usaha untuk memenuhi keinginannya itu manusia harus berhubungan dengan
sesamanya.
Sebagai
mahluk sosial manusia dalam kehidupannya memerlukan interaksi sosial satu sama
lain, maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Pertemuan kepentingan
antara manusia yang satu dengan yang lain ini, tak jarang, menimbulkan
pergesekan ataupun perselisihan. Perselisihan yang ditimbulkan bisa berakibat
fatal, apabila tidak ada sebuah sarana untuk mendamaikannya. Perlu sebuah
mediator atau fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan yang
bergesekan tersebut, agar manusia yang saling bersengketa tersebut sama-sama memperoleh keadilan,
inilah sebuah proses untuk menuju sebuah sistem tatanan hukum.
Kenyataan
ini menjadikan manusia mulai berpikir secara rasional. Di berbagai komunitas
masyarakat adat, hal ini menjadi pemikiran yang cukup serius, kemudian
diangkatlah pemangku adat, yang biasanya mempunyai ‘kelebihan’ tertentu untuk
‘menjembatani’ berbagai persoalan yang ada. Dengan kondisi ini, tetua adat yang
dipercaya oleh komunitasnya mulai menyusun pola kebijakan sebagai panduan untuk
komunitas tersebut yang berisikan aturan mengenai larangan, hukuman bagi yang
melanggar larangan tersebut, serta bentuk-bentuk perjanjian lain yang sudah
disepakati bersama.
Proses inilah
yang mengawali terjadinya konsep hukum di masyarakat, ternyata komunitas
masyarakat adat sudah terlebih dahulu mengetahui arti dan fungsi hukum yang
sebenarnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai hukum adat. Dapat dirumuskan
bersama, bahwa hukum adat merupakan hukum tertua yang hidup di masyarakat.
Hanya saja, mayoritas hukum adat ini biasanya tidak tertulis. Inilah salah satu
kelemahan hukum adat.
Apa yang
terjadi pada masyarakat adat inilah yang kemudian menginspirasi manusia modern
untuk melakukan hal serupa.
Hubungan
antar masyarakat adat ini semakin lama semakin luas dan semakin berkembang.
Masyarakat-masyarakat adat yang saling berinteraksi akhirnya mengadakan
perjanjian bersama untuk membentuk sebuah ikatan yang lebih luas, yang kemudian
dikenal dengan istilah ‘negara’. Sejatinya, ‘negara’ ini sebenarnya berisikan
berbagai kumpulan hukum adat.
Seiring
dengan berkembangnya waktu, manusia modern memerlukan tatanan yang lebih
selaras, seimbang dalam menjembatani berbagai kepentingan yang semakin dinamis
dan kompleks. Hukum yang tadinya tidak tertulis, akhirnya disepakati bersama
untuk dibakukan dan dijadikan pedoman. Tentunya, pedoman yang dimaksud kemudian
dilakukan secara tertulis. Hukum tertulis inilah yang kita kenal sampai
sekarang. Hukum tertulis ini bersifat dinamis. Akan terus berubah sesuai
perkembangan zaman dan perkembangan kepentingan manusia.
Menurut bentuknya, hukum itu dibagi menjadi dua yaitu:
- Hukum Tertulis, adalah hukum yang dituliskan atau dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum pidana dituliskan pada KUHPidana, hukum perdata dicantumkan pada KUHPerdata.
- Hukum Tidak Tertulis, adalah hukum yang tidak dituliskan atau tidak dicantumkan dalam perundang-undangan. Contoh : hukum adat tidak dituliskan atau tidak dicantumkan pada perundang-undangan tetapi dipatuhi oleh daerah tertentu.
Hukum
tertulis sendiri masih dibagi menjadi dua, yakni hukum tertulis yang
dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan. Dikodifikasikan artinya hukum
tersebut dibukukan dalam lembaran negara dan diundangkan atau diumumkan yang
akan dibahas pada bab selanjutnya.
B.
Definisi Hukum
Membuat
defines yang tepat mengenai hukum tidaklah mudah, amat tergantung dari siapa
yang mendefinisikannya dan dari sudat mana mereka melihatnya.
Kaum
cerdik pandai (Ontwikkelde leek)
mengatakan bahwa hukum adalah undang-undang yang membosan dan sangat terlalu
banyak, berlaianan satu sama lain. Dengan memeperhatikan undang-undang mereka
tidak bias memberikan definisi tentang hukum.
Kaum
gelandangan (the man in the street)
melihat hukum itu sebagai suatu yang konkret berupa polisi, jaksa, dan hakim,
dan lain-lain penjabat yang mengatur masalah gelandangan .
Meskipun
adanya berbagai faktor mengetahui definisi hukum sebagai suatu pegangan awal
bagi orang yang ingin mempelajari hukum merupakan suatu hal yang terpenting.
Oleh karena itu, berikut akan dikutip pengertian hukum menurut berbagai paham dan
para sarjana atau ahli.
Pengertian hukum menurut
para ahli dan maknanya;
1. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah
atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya
ditaati oleh anggota masyarakat dan jika
dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu.
(E. Utrecht)
Ø E. Utrecht mengartikan
hukum sebagai alat daripada penguasa yang dapat memberi atau memaksakan sanksi
terhadap pelanggar hukum karena dalam penegakan hukum jika terjadi pelanggaran
menjadi monopoli penguasa.
2. Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma
yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan kemana
harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama, hukum mengandung rekaman dari
ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut
berupa ide mengenai keadilan. ( Satjipto Raharjo)
Ø Satjipto
Raharjo membahas hukum dalam perspektif filsafati dan bersifat normatif yang
dilahirkan dari kehendak manusia atau masyarakat untuk menciptakan keadilan.
3. Hukum adalah
peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat,
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan
hukuman. (J.C.T. simorangkir dan Woerjono Sastropranoto)
Ø J.C.T.
simorangkir dan Woerjono Sastropranoto melihat hukum dari segi formal atau landasan yuridis
terbentuknya hukum –aturan-aturan- yang dibuat oleh suatu lembaga negara
(badan-badan resmi) yang memiliki otoritas dalam memberikan sanksi atau
tindakan hukuman terhadap pelanggar hukum.
4. Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman
tentang apa yang seyogyanya seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya
kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana
seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah
hukum bersifat umum dan pasif. (Sudikno Martokusumo)
Ø Sudikno
Martokusumo mengartikan hukum sebagai pendapat manusia yang dilahirkan dari suatu
perasaan moral manusia secara universal sehingga hukum harus dijadikan sebagai
pedoman kehidupan.
5. Kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari
norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum; dan tujuan hukum ialah mengadakan
ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban
terpelihara. (S.M. amin, S.H)
Secara umum kita dapat
melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis
maupun tidak tertulis yang dapat mengatur tata tertip dalam masyarakat yang
harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan
kekuasaan hukum itu.
Dari beberapa defenisi
tentang hukum tersebut, tampaklah bahwa hukum meliputi kehidupan manusia dalam
pergaulan masyarakat yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia agar hidup
teratur, serta merupakan pedoman atau patokan sikap tindakan atau perilaku yang
pantas dalam pergaulan hidup antarmanusia.
Bertitik tolak dari
beberapa defenisi hukum tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa hukum terdiri atas
beberapa unsur sebagai berikut.
a.
Peraturan atau
kaidah-kaidah tingkah laku manusia dalam pergaulan antarmanusia (masyarakat)
b.
Peraturan diadakan oleh
badan-badan resmi yang berwajib
c.
Peraturan merupakan
jalinan-jalinan nilai, merupakan konsepsi abstrak tentang adil dan tidak adil
serta apa yang dianggap baik dan buruk
d.
Peraturan bersifat memaksa
e.
Peraturan mempunyai
sanksi yang tegas dan nyata.
Di samping itu, kita juga dapat melihat bahwa hukum ditandai oleh ciri-ciri
berikut:
a.
Adanya perintah dan/atau
larangan.
b.
Perintah dan/atau
larangan itu harus dapat ditaati oleh setiap orang.
C.
Keberlakuan Hukum
Hukum ada pada setiap manusia
dimanapun juga dimuka bumi ini. Bagaimanapun primitifnya dan bagaimanapun
modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Olejh karena itu, keberadaan
(ekstensi) hukum sifatnya universal ,hukum tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat, justru mempunyai hubungan timbal balik.
Menurut
Bruggink ada 3 (tiga) macam keberlakuan hukum, yaitu:
1. Keberlakuan
normatif atau formal kaidah hukum
Yaitu
jika suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang
di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk. Sistem kaidah
hukum terdiri atas keseluruhan hirarki kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada
kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum
umum yang lebih tinggi.
2. Keberlakuan faktual atau empiris kaidah
hukum
Yaitu
keberlakuan secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk
setiap kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Keadaan itu
dapat dinilai dari penelitian empiris;
3. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum
Yaitu
jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan
keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara
keinsafan.
BAB 2
KLASIFIKASI HUKUM
Hukum yang
sangat kompleks pengertian atau pembatasannya, mempunyai banyak seluk beluk,
sampai-sampai ada sarjana yang mengibaratkan hukum itu seperti sepeda motor
yang berbentuk dengan ukuran, merek, dan kekuatan yang berbeda. Demikian juga
dengan hukum, hukum itu dapat diklasifikasikannya menjadi beberapa macam,
tergantung dari aspek mana kita melihatnya.
A.
Pembagian Hukum
Walaupun
hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat yang meliputi segala-galanya, namun
dapat juga hukum itu dibagi dalam beberapa golongan hukum menurut beberapa asas
pembagian, sebagai berikut:
1. Menurut sumbernya, hukum dapat
dibagi dalam:
a. Hukum
Undang-Undang,
yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
b. Hukum
Kebiasaan (Adat),
yaitu hukum yang terletak di dalam peraturan-peraturan kebiasaan (adat).
c. Hukum
Traktat, yaitu
hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antar negara
(traktat).
d. Hukum Jurispudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena
keputusan hakim.
2. Menurut bentuknya, hukum dapat
dibagi dalam:
a. Hukum
Tertulis, yaitu
hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan. Hukum ini dapat pula
merupakan:
1. Hukum tertulis yang dikodefikasikan.
2. Hukum tertulis yang tak
dikodefikasikan.
b. Hukum
Tak Tertulis (Hukum Kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat,
tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu
peraturan-peraturan.
3. Menurut tempat berlakunya, hukum
dapat dibagi dalam:
a. Hukum Nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam
suatu negara.
b. Hukum
Internasional,
yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional.
c. Hukum Asing, yaitu hukum yang berlaku di negara
lain.
d. Hukum
Gereja, yaitu
kumpulan norma-norma yang ditetapkan oleh Gereja untuk para anggota-anggotanya.
4. Menurut waktu berlakunya, hukum
dapat dibagi dalam:
a. Ius
Contitutum (Hukum Positif),
yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi masyarakat tertentu dalam suatu daerah
tertentu.
Singkatnya:
“Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat
tertentu. Ada sarjana yang menamakan hukum positif itu “Tata Hukum”.
b. Ius
Contituendum,
yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
c. Hukum
Asasi (Hukum),
yaitu hukum yang berlaku dimana-mana segala waktu dan untuk segala bangsa di
dunia. Hukum ini tak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama-lamanya
(abadi) terhadap siapapun juga di seluruh tempat.
Ketiga macam hukum ini merupakan Hukum Duniawi.
5. Menurut cara mempertahankan, hukum
dapat dibagi dalam:
a. Hukum
Material, yaitu
hukum yang membuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan
dan hubungan-hubungan berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan.
Contoh
Hukum Material: Hukum Pidana, Hukum Perdata, maka yang dimaksudkan adalah Hukum
Pidana Material dan Hukum Perdata Material.
b. Hukum
Formal Hukum Proses atau Hukum acara, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-caranya mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan
bagaimana caranya Hakim memberi putusan.
Contoh Hukum Formal: Hukum Acara
Pidana dan Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Pidana, yaitu peraturan-peraturan hukum
yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan Hukum Pidana
Material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana caranya mengajukan
suatu perkara pidana ke muka Pengadilan Pidana dan bagaimana caranya hakim
pidana memberikan putusan.
Hukum Acara Perdata, yaitu peraturan-peraturan hukum
yang mengatur bagaimana cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata
Material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan
suatu perkara perdata ke muka Pengadilan Perdata dan bagaimana caranya hakim
perdata memberikan putusannya.
6. Menurut sifatnya, hukum dapat dibagi
dalam:
a. Hukum
yang memaksa,
yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus mempunyai paksaan
mutlak.
b. Hukum
yang mengatur (Hukum Pelengkap), yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak
yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.
7. Menurut wujudnya, hukum dapat dibagi
dalam:
a. Hukum
Objektif, yaitu
hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau
golongan tertentu. Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur
hubungan hukum antara dua orang atau lebih.
b. Hukum
Subjektif, yaitu
hukum yang timbul dari Hukum Objektif dan berlaku terhadap seorang tertentu
atau lebih.
Hukum Subjektif disebut juga HAK.
Pembagian hukum jenis ini jarang
digunakan orang.
8. Menurut isinya, hukum dapat dibagi
dalam:
a. Hukum
Privat (Hukum Sipil),
yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang
yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
b. Hukum
Publik (Hukum Negara),
yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapan
atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warganegara).
B.
Lapangan-Lapangan
Hukum
Pengklafisikasian
hukum klasik sebagaimana dikemukakakn diatas dikenal dibeberapa Negara Eropa
yang menganut sistem hukum continental, termasuk juga belan dan Negara-negara
bekas jajahannya. Negara kita Indonesia yang juga bekas jajahan belanda
(sehingga dulu dikenalo dengan Hindia-Belanda).
1.
Lapangan Hukum Publik, antara lain
meliputi :
2. a.
Hukum Pidana (material) atau (ius poenale/strafrecht/ criminal
law)
adalah
keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang
dapat dipidana karena melanggar peraturan pidana. Dengan kata lain adalah
keseluruhan peraturan atau norma hukum yang berisi perintah dan larangan, dan
barang siapa yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi pidana;
3. b. Hukum Tata
Negara (material) atau (Staatsrecht/Vervassungsrecht atau Constitutional
law/droit constitutionel) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum
yang mengatur tentang dasar dan tujuan negara, bentuk negara, bentuk
pemerintahan, sistem pemerintahan dan pembagian tugas kekuasaan organisasi
negara serta kewenangannya. Singkatnya HTN (material) mengatur
tentang kewajiban dan kewenangan lembaga-lembaga negara yang
diatur dalam konstitusi suatu negara dalam hubungan dengan warganegara dan Hak
Asasi Manusia;
4. c. Hukum
Tata Usaha Negara (material) atau (Administratief recht/verwaltungsrecht
atau droit administratif/ administrative law) adalah keseluruhan peraturan
atau norma hukum yang mengatur tentang tatacara atau prosedur aparatur
negara dalam melaksanakan tugas kewajiban penyelenggaraan
pemerintahan dalam hubungannya dengan pelayanan terhadap masyarakat;
5. d.
Hukum Internasional (Internationaal recht/internationaal public
recht atau International law/droit international) adalah keseluruhan
peraturan atau norma hukum dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antara
negara dan atau lembaga internasional;
6. e.
Hukum Acara (hukum formal) atau (Proces recht atau Proces law)
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur bagaimana cara
melaksanakan dan mempertahankan hukum material yang dilanggar;
7. f.
Hukum Acara Pidana (hukum pidana formal/straf proces recht)
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur prosedur tindakan
aparat pelaksana atau penegak hukum karena diduga terjadi pelanggaran
undang-undang/peraturan pidana. Dengan kata lain adalah keseluruhan peraturan
hukum yang mengatur tentang cara melaksanakan dan mempertahanan hukum
pidana material yang dilanggar;
8. g.
Hukum Acara Tata Usaha Negara (HTUN Formal/administratief proces
recht) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur
tentang cara bagaimana menyelesaikan sengketa tata usaha negara antara
perseorangan atau badan pribadi dengan pejabat tata usaha negara akibat
dilanggarnya peraturan tata usaha negara; atau hukum yang mengatur tata cara
bersengketa di peradilan tata usaha negara.
9.
h.
Hukum Acara Tata Negara (HTN formal/ Proces constitusional law/costitutioneel
proces recht) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang
mengatur prosedur atau cara untuk melaksanakan dan mempertahankan HTN material
(konstitusi) bilamanana dilanggar. 2.
Lapangan Hukum Privat, antara
lain meliputi:
10. a.
Hukum Perdata (Privaatrecht/Burgerlijk recht atau Private law),
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan
hukum antara perseorangan dan atau badan yang mengutamakan kepentingan pribadi
atau individu. Dengan kata lain, hukum perdata adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur hubungan antara kepentingan perseorangan yang
satu dengan kepentingan perseorangan yang lain;
11. b.
Hukum Dagang (Handelsrecht atau Kommercial law), adalah
keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan antara
perseorangan dan atau badan di lapangan perdagangan atau bisnis. Hukum dagang
ini merupakan bagian dari hukum privat dalam arti luas;
12. c.
Hukum Perdata Internasional (Internationaal Privaatrecht atau International
private law), adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum dan/atau
asas-asas hukum yang mengatur hubungan hukum antara perseorangan dan/
atau badan pribadi yang mengandung unsur asing dan mengutamakan
kepentingan individu;
13. d.
Hukum Acara Perdata (Hukum Perdata Formal/Burgerlijk Procesrechts)
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara orang
atau badan pribadi mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di perdilan
perdata; atau keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur tata cara
bersengketa di peradilan perdata karena adanya pelanggaran hukum perdata
material;
14. e.
Hukum Acara Peradilan Agama adalah keseluruhan peraturan atau norma
hukum yang mengatur tata cara orang atau badan perdata mempertahankan dan
melaksanakan hak-haknya di peradilan agama.
BAB III
PENGERTIAN-PENGERTIAN
DASAR DALAM HUKUM
Ada beberapa pengertian dasar yang perlu diketahui
untuk dapat memahami ilmu hukum. Pengertian-pengertian dasar itu menyangkut subjek
hukum, objek hukum, Hak dan Kewajiban.
A. Subjek Hukum
Subyek
hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan
menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum. Subyek hukum terdiri dari dua jenis yaitu manusia biasa dan
badan hukum.
1. Manusia Biasa
Manusia
biasa (natuurlijke persoon) manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai
hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal
itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan
tidak tergantung pada hak kewarganegaraan.
Setiap manusia pribadi (natuurlijke
persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subyek hukum
kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti halnya dalam hukum
telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagai
berikut :
1. Cakap melakukan perbuatan hukum
adalah orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).
2. Tidak cakap melakukan perbuatan
hukum berdasarkan pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian adalah :
3. Orang-orang yang belum dewasa (belum
mencapai usia 21 tahun).
4. Orang ditaruh dibawah pengampuan (curatele)
yang terjadi karena gangguan jiwa pemabuk atau pemboros.
5. Orang wanita dalm perkawinan yang
berstatus sebagai istri.
2. Badan Hukum
Badan hukum (rechts persoon)
merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang (persoon) yang
diciptakan oleh hukum.
Badan hukum sebagai subyek hukum
dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia dengan
demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melalukan
sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan
memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya,
oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara
pengurus-pengurusnya.
Misalnya suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan
sebagai badan hukum dengan cara :
1. Didirikan dengan akta notaris.
2. Didaftarkan di kantor Panitera
Pengadilan Negara setempat.
3. Dimintakan pengesahan Anggaran Dasar
(AD) kepada Menteri Kehakiman dan HAM, sedangkan khusus untuk badan hukum dana
pensiun pengesahan anggaran dasarnya dilakukan Menteri Keuangan.
4. Diumumkan dalam berita Negara
Republik Indonesia.
Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :
1. Badan Hukum Publik (Publiek
Rechts Persoon)
Badan Hukum Publik (Publiek
Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk
yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
2. Badan Hukum Privat (Privat Recths
Persoon)
Badan Hukum Privat (Privat Recths
Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau
perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu.
Dengan demikian badan hukum privat
merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni
keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum
yang berlaku secara sah misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, badan
amal.
B. Obyek
Hukum
Obyek hukum menurut pasal 499 KUH
Perdata, yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek
hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi
para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik.
C.
Hubungan Hukum
Yang
dimaksud dengan hubungan hukum adalah hubungan antara subjek hukum ataupun
hubungan antara subjek hukum dangan objek hukum, yang diatur oleh hukum dan
menimbulkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban.
D.
Peristiwa Hukum
Antara
hubungan hukum dengan peristiwa hukum mempunyai perbedaan prinsip, meskipun
kedua-duanya sama-sama menimbulkan akibat hukum. Namun demikian, bahwa hubungan
hukum dapat menimbulkan peristiwa hukum, atau dengan kata lain bahwa peristiwa
hukum diakibatkan oleah adanya hubungn hukum antara subjek hukum yang satu
dengan subjek hukum yang lainnya.
E.
Hak dan kewajiban
Hak
adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Misalnya
adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang yang memiliki
tanah (Hak Milik Atas Tanah). Kewenangan itu memberikan seorang mempunyai Hak
Milik dapat melakukan apa saja terhadap apa yang dimilikinya, asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum
dan kesusilaan.
BAB 4
SUMBER HUKUM
Sumber hukum ada dua yaitu sumber hukum materill dan
sumber hukum formal. Kalau yang ditanyakan sumber hukum materill maka yang
jawabanya adalah ‘mengapa orang harus taat dan menjalankan ketentuan hukum,”
sedangkan dimaksud sumber hukum formal adalah “dimana kita menemukan hukum’”
CST. Kansil (1984; 46) mengatakan; “segala apa saja yang dapat menimbulkan
aturan-aturan yamg mempunyai kekuatan bersifat memaksa, yakni aturan-aturan
yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi.
A.
Undang-undang
Sudarsono, (2001; 82) dengan mengutip pendapat
C.S.T.Kansil menyatakan bahwa undang-undang adalah suatu peraturan Negara yang
mempunyai kekuatan hukum yeng mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa
Negara.
B.
Yurisprudensi
Secara umum yang dimaksud dengan
yurisprudensi yaitu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, yang secara umum memutuskan sesuatu persolan yang belum ada
pengaturannya pada sumber hukum yang lain.
C.
Kebiasaan
Kebiasaan
merupakan perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan keadaan yang
sama. Bila suatu perbuatan manusi diterima oleh masyarakat sebagi suatu
kebiasaan, dan kebiasaan ini berulang dilakukan, sehingga perbuatan yang
berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran (perasaan hukum)
maka demikian timbulah suatu kebiasaan yang dipandang hukum.
D.
Perjanjian
Perjanjian
merupakan suatu peristiwa dimana pihak yang satu berjani kepada pihak yang lain
untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu hal, sehingga pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut terikat oleh isi perjanjian yang mereka buat.
E.
Perjanjian Internasioanal
Perjanjian internasioanal adalah sebuah
perjanjian yang diadakan dua Negara atau lebih (bilateral atau multilateral).
Perjanjian Internasioanal ini mempunyai kedudukan yang sama dengan
Undang-undang karena perjanjian dengan Negara lain hanya dilakukan untuk
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
F.
Doktrin/Pendapat
Para Ahli
Pendapat
para ahli dapat digunakan untuk memecahkan masalah alngsung atau tidak langsung
berkaitan satu sama lain.
BAB
5
TUJUAN
DAN FUNGSI HUKUM
Pudarnya kepercayaan Masyarakat terhadap hukum
akibat tujun hukum (dan fungsinya) tidak selalu tercapai seperti yang
diinginkan, karena masih sangat bergantung dangan praktiknya dalam masyarakat.
Oleh karena itu, membicarakan masalah tujuan dan fungsi hukum adalah merupakan
masalah penting dalam ilmu hukum, yang semata-mata untuk menjelaskan bahwa
“inilah” inilah tujuan dan fungsi hukum sebenarnya.
A.
Tujuan
Hukum
Hukum dibuat dan diciptakan tentu saja mempunyai
sasaran yang hendak dicapai. Itulah yang merupakan tujuan dari hukum yaitu pada
intinya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, aman, tentram, dan
adanya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.
1. Teori etis (etische theorie)
Tujuan hukum semata-mata untuk mencapai
keadilan. Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis mengenai
apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf Yunani dalam bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan ”hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak menerimanya”.
Pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf Yunani dalam bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan ”hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak menerimanya”.
Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu :
a. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada
setiap orang jatah menurut jasanya. (Pembagian menurut haknya masing-masing).
Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang
sama banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan
prestasi dan jasa seseorang.
b. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing. Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing.
b. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing. Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing.
2. Teori utilitas (utiliteis theorie)
Hukum bertujuan untuk menjamin adanya
kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya.
Pencetusnya adalah Jeremy Betham. Dalam
bukunya yang berjudul “Introduction to the morals and legislation” berpendapat
bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah/mamfaat
bagi orang.
Apa yang dirumuskan oleh Betham tersebut diatas hanyalah
memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum namun tidak
memperhatikan unsur keadilan serta tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang
konkrit.Sulit bagi kita untuk menerima anggapan Betham ini sebagaimana yang
telah dikemukakan diatas, bahwa apa yang berfaedah itu belum tentu memenuhi
nilai keadilan.
Dengan kata lain apabila yang berfaedah
lebih ditonjolkan maka dia akan menggeser nilai keadilan kesamping, dan jika
kepastian oleh karena hukum merupakan tujuan utama dari hukum itu, hal ini akan
menggeser nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan.
3. Teori campuran
Teori ini dikemukakan oleh Muckhtar
Kusmaatmadja bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di
samping itu tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.
4.Teori normatif-dogmatif
4.Teori normatif-dogmatif
tujuan hukum adalah semata-mata untuk
menciptakan kepastian hukum (John Austin dan van Kan). Arti kepastian hukum
disini adalah adanya melegalkan kepastian hak dan kewajiban. Van Kan
berpendapat tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak
diganggu dan terjaminnya kepastiannya.
5. Teori Peace (damai sejahtera)
5. Teori Peace (damai sejahtera)
Menurut teori ini dalam keadaan damai
sejahtera (peace) terdapat kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang lemah,
yang berhak benar-benar mendapatkan haknya dan adanya perlindungan bagi rakyat.
Hukum harus dapat menciptakan damai dan sejahtera bukan sekedar ketertiban.
B.
Fungsi Hukum
Fungsi Hukum yang yang
esensial mendasar menurut Ronny Hanitiji Soemitro (1989: 21) adalah untuk
menjaga stabilitas dan kepastian. Dua hal ini merupakan tujuan tujuan utama
dari hukum. Dalam
kehidupan bermasyarakat, hukum telah memainkan peranan yang sangat
penting dalam menjaga ketertiban dan ketentraman. Hal ini
disebabkan karena hukum mengatur agar kepentingan masing-masing individu tidak
bersinggungan dengan kepentingan umum, mengatur mengenai pelaksanaan hak dan
kewajiban masyarakat atau para pihak dalam suatu hubungan hukum dan lain
sebagainya.
Apa yang diharapkan dari hukum
adalah bekerjanya fungsi hukum. Dengan bekerjanya fungsi hukum
sebagaimana mestinya maka penegakan hukum menjadi sangat mungkin diwujudkan.
Mengapa hukum selama ini lemah? Karena fungsi hukum tidak berjalan
dengan baik bila tidak ingin dikatakan stagnan. Stagnansi disebabkan oleh
banyak faktor yang kemudian sering menjadi perdebatan atau bahan diskusi para
ahli dan pakar hukum di media massa.
Fungsi Hukum menurut Para Ahli
Terdapat beberapa fungsi hukum
menurut para ahli. Rumusan yang diberikan oleh para ahli tersebutÂ
bermacam-macam. Untuk itu mari kita lihat rumusan fungsi hukum menurut para ahli berikut ini:
Fungsi hukum menurut J.F. Glastra Van Loon, antara lain:
Hukum berfungsi sebagai sarana untuk
menertibkan masyarakat dan mengatur pergaulan hidup masyarakat; Hukum berfungsi
sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa atau pertikaian dalam masyarakat;
Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memelihara dan menjaga (mempertahankan)
penegakan aturan tertib dengan cara yang memaksa; Hukum berfungsi untuk
memelihara dan mempertahankan hak masyarakat; Hukum berfungsi sebagai sarana
untuk mengubah peraturan agar sesuai dengan kebutuhan; Hukum berfungsi sebagai
sarana untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum.â?
Fungsi hukum menurut Prof.Dr. Soerjono Soekanto, antara
lain:
Sebagai alat untuk melaksanakan
ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai sarana untuk
mewujudkan keadilan sosial, baik lahir maupun bathin, dan sebagai sarana untuk
menggerakkan pembangunan bagi masyarakat.â?
Selain fungsi hukum sebagaimana
disebutkan diatas, Prof.Dr. Sunaryati Hartono juga membuat rumusan
mengenai fungsi hukum dalam konteks pelaksanaan pembangunan nasional.
Menurut Prof.Dr. Sunaryati Hartono, hukum memiliki fungsi antara lain:
Sebagai sarana untuk memelihara
ketertiban dan keamanan dalam masyarakat; sebagai sarana  untuk
melaksanakan pembangunan; sebagai sarana untuk menegakkan keadilan; dan sebagai
sarana untuk memberikan pendidikan (mendidik) masyarakat?
Berdasarkan uraian diatas dapat
dilihat bahwa dalam hal rumusan mengenai fungsi hukum terdapat rumusan yang
relatif hampir sama diantara para pakar tersebut. Terdapat sedikit perbedaan
dalam rumusannya, namun secara umum substansi rumusan tersebut hampir sama.
BAB 6
ASAS-ASAS DAN SISTEM HUKUM
A.
Asas-asas Hukum
Asas hukum adalah aturan dasar dan
prinsip-prinsip hukumm yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan
konkret atau pelaksanaan hukum.Setiap perundang-undangan yang dibuat selalu
didasari sejumlah asas atau prinsip dasar. Kata asas ialah dasar atau alas
(an), sedang kata prinsip merupakan sino-nimnya (Wojowasito, 1972:17 dan 227).
Asas hukum merupakan fondasi suatu
perundang-undangan. Bila asas tersebut dikesampingkan, maka bangunan
undang-undang dan segenap peraturan pelaksananya akan runtuh.
Sudikno Mertokusumo (1996:5-6), memberikan pandangan
asas hukum sebagai berikut :
“… bahwa asas hukum bukan merupakan
hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau
merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di dalam dan di
belakang, setiap sistem hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan
kongkrit tersebut.
Satjipto Rahardjo (1986:87)menyatakan asas hukum,
bukan peraturan hukum. Namun, tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa
menge-tahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Karena asas hukum ini memberi
makna etis kepada peraturan-peraturan hukum dan tata hukum.
Beliau, selanjutnya mengibaratkan
asas hukum sebagai jantung peraturan hukum atas dasar 2 (dua) alasan :
1. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya sebuah peraturan hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan
hukum itu bisa dikembalikan kepada asas hukum.
2. Asas hukum karena mengandung tuntutan etis, maka asas
hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan
cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.
Sudikno Mertokusumo, menyatakan bah-wa tak semua asas
yang tertuang dalam peraturan atau pasal yang kongkrit. Alasannya, adanya
rujukan pada asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ( Tiada
suatu peristiwa dipi-dana, kecuali atas dasar peraturan per-undang-undangan
pidana yang mendahu-lukannya ), dan asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence).
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa
asas hukum tak hanya mempengaruhi hu-kum positif, namun dalam banyak hal tak
menutup kemungkinan asas hukum itu da-pat membentuk sistem checks and ba-lance.
Dalam artian asas hukum itu sering menunjukkan pada kaidah yang berlawan-an.
Hal itu menunjukkan adanya sifat sa-ling mengendalikan dan membatasi, yang akan
menciptakan keseimbangan.
Fuller menyatakan bahwa dengan
merujuk pada asas-asas hukum digunakan dalam menilai ada tidaknya suatu sistem
hukum.
Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa
asas-asas hukum itu tak hanya sekadar persyaratan adanya suatu sistem hukum,
melainkan merupakan pengklasifikasian sistem hukum yang mengandung suatu
moralitas tertentu. Asas-asas hukum (principles of legality) menurut Fuller
adalah sebagai berikut :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung per-aturan-peraturan
yang dimaksud di sini adalah bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar
ke-putusan- keputusan yang bersifat ad hoc;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu ha-rus
diumumkan;
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena
apabila yang demikian itu tidak dito-lak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai
untuk menjadi pedoman tingkah laku; membolehkan pengaturan yang berlaku surut
berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berla-ku bagi waktu
yang akan datang;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam ru-musan yang bisa dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung pera-turan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam ru-musan yang bisa dimengerti;
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung pera-turan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilaku-kan;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah
peraturan, sehingga menyebabkan orang akan kehilangan orientasi;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaan sehari-hari.
Istilah sistem berasal dari
perkataan sys-tema, dalam bahasa Latin-Yunani, artinya keseluruhan yang terdiri
bermacam-macam bagian.
Secara umum sistem didifinisikan
sebagai sekumpulan elemen-elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu
tujuan tertentu di dalam lingkungan yang kom-pleks. Sunaryati Hartono (1991:56)
memberikan pengertian sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejunlah unsur
atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh
satu atau beberapa asas. Agar supaya berbagai unsur itu merupakan kesatuan yang
terpadu, maka dibutuhkan organisasi.
Unsur-unsur sistem :
1. Elemen-elemen atau bagian-bagian;
2. Adanya interaksi atau hubungan antara elemen-elemen;
3. Adanya sesuatu yang mengikat elemen-elemen
(bagian-bagian) tersebut menjadi s suatu
kesatuan;
4. Terdapat tujuan bersama sebagai hasil akhir;
5. Berada dalam suatu lingkungan yang komplek;
Subsistem hukum lebih tepat disebut
sebagai inter subsistem, karena hukum mengatur bidang-bidang tertentu
masing-masing subsis-tem lainnya. Intersubsisten hukum mencakup bagian-bagian
yang saling berkaitan secara fungsional. Bagian-bagian itu adalah :
1. Struktur Hukum
2. Substansi Hukum
3. Budaya Hukum
Struktur hukum merupakan
lembaga-lembaga hukum yang saling berkaitan dan berproses da-lam hubungan
timbal balik. Lembaga hukum an-tara lain kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
ad-vokat, komisi pemberantas korupsi, lembaga pemasyarakatan dan lainnya. Substansi
hukum adalah kaidah-kaidah hukum dan sikap tindak hukum yang teratur maupun
yang unik.
Budaya hukum mencakup pengertian
yang diberikan pada hukum oleh masya-rakat, bidang-bidang tata hukum inter
sub-sistem hukum, pengertian dasar, nilai-nilai yang berpasangan.
B. Sistem
Hukum
Sistem hukum prinsipnya adalah
mengatur bagaimana agar dalam masyarakat tidak selalu terjadi konflik
(perbenturan kepentingan), dan kalaupun terjadi; Bagaimana cara menyelesaikan
konflik tersebut? Cara menyelesaikan konflik ini termasuk ruang lingkup sistem
peradilan yang kesemuanya termasuk sistem ruamg lingkup sistem hukum.
Sistem berasal dari
bahasa Yunani ”systema” yang dapat diartikan sebagai keseluruhan
yang terdiri dari macam-amacam bagian. Prof. Subekti, SH sistem adalah
suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana
atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”. Sistem
merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yaNg terdiri dari bagian-bagian atau
unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain
Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh
terdapat suatu pertentangan atau benturan antara bagian-bagian. Selain itu juga
tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian itu.
Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam
pembentukannya.
Sistem adalah statu
kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian sebagai unsur pendukung. Masing-masing
bagian atau unsur tersebut saling berhubungan secara fungsional, resiprosal
(timbal-balik, pengaruh-mempengaruhi) dan saling ketergantungan
(interdependent).
Bagian-bagian
dari hukum merupakan unsur-unsur yang mendukung hukum sebagai suatu kesatuan
(integral) dalam suatu jaringan dengan hubungan yang fungsional, resiprosal dan
interdepedensi. Misal antara HTN, HAN, hukum pidana, hukum perdata, dst yang
mengarah pada tujuan yang sama yaitu menciptakan kepastian hukum keadilan dan
kegunaan.
Sistem tidak
terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem
artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup,
keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Misalnya
dalam hukum perdata sebagai sistem hukum positif.
Sebagai
keseluruhan di dalamnya terdiri dari bagian-bagian yang mengatur tentang hidup
manusia sejak lahir sampai meninggal dunia.
Dari bagian-bagian itu dapat dilihat kaitan aturannya sejak seseorang dilahirkan, hidup sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban dan suatu waktu keinginan untuk melanjutkan keturunan dilaksanakan dengan membentuk keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia juga memiliki kekayaan yang dipelihara dan dipertahankan dengan baik. Pada saat meninggal dunia semuanya akan ditinggalkan untuk diwariskan kepada yang berhak.
Dari bagian-bagian itu dapat dilihat kaitan aturannya sejak seseorang dilahirkan, hidup sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban dan suatu waktu keinginan untuk melanjutkan keturunan dilaksanakan dengan membentuk keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia juga memiliki kekayaan yang dipelihara dan dipertahankan dengan baik. Pada saat meninggal dunia semuanya akan ditinggalkan untuk diwariskan kepada yang berhak.
Dari
bagian-bagian sistem hukum perdata itu, ada aturan-aturan hukumnya yang
berkaitan secara teratur. Keseluruhannnya merupakan peraturan hidup manusia
dalam keperdataan (hubungan manusia satu sama lainnya demi hidup).
Menurut Sudikno Mertukusumo sistem hukum merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang tediri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif.
Menurut Sudikno Mertukusumo sistem hukum merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang tediri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif.
Dengan kata
kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam
interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan
kerjasama ke arah tujuan kesatuan.
Masing-masing
bagian tidak berdiri sendiri lepas satu sama lain tetapi kait mengait. Arti
pentingnya tiap bagian terletak justru dalam ikatan sistem, dalam kesatuan
karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum
lain. Dapat disimpulkan Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari
tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama
lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.
Dengan kata
lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam
interaksi satu sama lain yg merupakan satu kesatuan yg terorganisasi dan
kerjasama ke arah tujuan kesatuan.
Sistem Hukum : Substansi, Struktur, Budaya Hukum
Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut perlu kerja
sama antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola
tertentu.
Dalam sistem hukum yang baik tidak boleh terjadi pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih di antara bagian-bagian yang ada. Jika pertentangan atau kontradiksi tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikan hingga tidak berlarut.
Dalam sistem hukum yang baik tidak boleh terjadi pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih di antara bagian-bagian yang ada. Jika pertentangan atau kontradiksi tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang menyelesaikan hingga tidak berlarut.
Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian
yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan
subsistem. Kesemuanya itu bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh. Marilah kita
mengambil contoh sistem hukum positif Indonesia.
Dalam sistem hukum positif Indonesia tersebut terdapat
subsistem hukum perdata, subsistem hukum pidana, subsistem hukum tata negara,
dan lain-lain yang satu sama lain saling berbeda. Sistem hukum di dunia ini ada
bermacam-macam, yang satu dengan lainnya saling berbeda.
Kaitan antara sistem hukum dengan tata hukum
Sistem hukum menunjukkan adanya unsur-unsur dan sifat
hubungannya, sedangkan tata hukum menunjukkan struktur dan prose hubungan dari
unusr-unsur hukum.
Pembagian
sistem hukum dapat dilihat dari peraturan atau norma hukum yang kemudian
dikelompokkan dan disusun dalam suatu struktur atau keseluruhan dari berbagai
struktur. Misal UU Pajak dan UU Kepegawaianyang dikelompokkan sebagai HAN.
BAB 7
PENEMUAN DAN PENEGAKAN HUKUM
A.
Penemuan Hukum
Secara
Yuridis hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alas an tidak ada hukum,
dengan kata lain hakim harus menerima semua kasus/perkara meskipun belum ada
hukumnya dan disini hakim harus berperan mengisi kekosongan hakim, berusaha
untuk menafsirkan suatu ketentuan hukum atau kaidah perundang-undangan yang
tidak ada atau kurang jelas. Sebagai seorang hakim merupakan
profesi mulia dan terhormat. Ia bertindak sebagai wakil Tuhan di permukaan bumi
untuk menentukan seorang apakah berbuat kejahatan atau pelanggaran, melalui
proses persidangan, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan
ditambah dengan keyakinannya, baru setelah itu memutus perkara. Putusan
(vonis) hakim bisa berbunyi pemidanaan, bebas dari segala tuntutan hukum (Vrijspraak),
dan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van gewijs), dalam konteks perkara
pidana. Dan bisa juga berupa gugatan/permohonan penggugat/pemohon dikabulkan/diterima,
gugatan/permohonan ditolak, atau gugatan/permohonan tidak dapat diterima (niet
on vankelijkverklaar), ini dalam perkara perdata.
Betapa strategisnya peran hakim. Oleh karena sangat
strategisnya peran hakim dalam negara hukum (rechtsstaat) ini,
kita berharap memiliki hakim yang tidak hanya semata-mata memedomani perundangan
secara tertulis dalam hal menjalankan tugas dalam pekerjaannya, melainkan juga
memerhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam
konteks ini nilai-nilai keadilan. Tentunya dalam kaitan memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara.
Memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
merupakan pekerjaan hakim dalam hal penegakan hukum (law enforcement).
Tetapi jangan lupa bahwa dalam hal penegakan hukum menyangkut tiga aspek. Pertama;
aspek keadilan hukum, Kedua; aspek kepastian hukum, dan ketiga; aspek
kemanfaatan hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah
Lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan
peraturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan proses konkretisasi dan
individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum
dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu (Ahmad
Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, hlm 21-22).
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini
merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Sudikno Mertokusumo, dan A.
Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum).
Sedangkan menurut Loudoe, penemuan hukum bukan
suatu proses yang logis belaka melalui supsumpsi dari fakta pada ketentuan
undang-undang, akan tetapi adalah juga penilaian terhadap fakta untuk kemudian
menemukan hukumnya (Loudoe, dalam Eddy OS Hiariej, Asas Legalitas &
Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, hlm 56). Sedangkan menurut J.A
Pointier, penemuan hukum adalah sebuah reaksi terkadap situasi situasi
problematik yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum. Masih menurut
Pontier, penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan hukum yang ditimbulkan oleh kejadian-kejadian konkret.
Menurut hemat penulis, yang dimaksud dengan
penerapan hukum dalam konteks beracara di pengadilan adalah merupakan
serangkaian tindakan hakim/majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang disidangkan olehnya semata berdasarkan kepada hukum
dan perundang-undangan yang tertulis secara legal-formal, yang tentunya
berdasarkan kepada fakta persidangan dalam hal memutus suatu perkara. Artinya,
hakim hanya memedomani dan melaksanakan pengaturan dan perintah
undang-undang dalam hal memutus suatu perkara.
Jamak diketahui, semakin maju zaman, peradaban dan
teknologi, dan tingginya angka pengangguran, potensial terjadinya
peningkatan kriminalitas, maka modus operandi-nya pun dalam melakukan
kejahatan akan semakin beragam. Bisa dikatakan berbanding lurus antara kemajuan
zaman dan lain-lain dengan modusnya. Bahkan modusnya bisa jadi lebih maju dari
perundangannya. Hal mana bisa saja membuka peluang tidak ter—cover oleh
perundangan secara legal-formal tentang salah satu tindak pidana atau perbuatan
pidana (straftbaarfeit), atau kejahatan pada umumnya.
Hakim/majelis hakim dianggap mengetahui hukum,
karenanya hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukum yang
mengatur tentang suatu perkara. Kecuali dalam hal kewenangan mengadili secara absolute
atau kompetensi absolut (absolute competentie). Karenanya hakim/majelis
hakim harus melakukan penemuan hukum.
Penemuan hukum dalam penyelesaian suatu perkara
harus positif, dalam artian sarat dengan rasa keadilan yang hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat, dalam hal penegakan hukum, guna
tercapainya keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.
Kita para pencari keadilan (justitia bellen) berharap,
agar hakim/majelis hakim dalam hal memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara dalam rangka penegakan hukum dan tercapainya keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan hukum terkait penyelesaian suatu perkara pada tingkat persidangan
di pengadilan tidak melulu hanya melakukan apa-apa yang diatur dalam
undang-undang, atau yang penulis sebut dengan penerapan hukum, melainkan juga
melakukan penemuan hukum (rechts vinding) agar putusan-putusan
lembaga peradilan (PN, PT, dan MA) mendapat apresiatif dari khalayak ramai di
republik ini. Semoga “hukum” bisa membahagiakan masyarakat, melalui “ketok
palu” hakim/majelis hakim.
B. Sejarah Penemuan Hukum
Untuk mengatasi tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan
hukum di negara Perancis maka Napoleon yang pada waktu itu berkuasa sebagai
Kaisar memerintahkan disusun undang-undang nasional yang berlaku untuk seluruh
negara Perancis. Portalis menyusun Rancangan Undang-undang yang dimaksud dengan
mengambil hukum kebiasaan yang berlaku di Perancis, sebagian hukum Jerman dan
hukum Romawi.
Setelah disetujui Rancangan Undang-undang tersebut yang
terdiri dari 2000 pasal disahkan dan diundangkan sebagai Undang-undang Nasional
Perancis yang berlaku di seluruh negara Perancis. Sejak itu di Perancis
terdapat adanya kesatuan hukum dan kepastian hukum. Hasil Code Civil dari
Portalis tersebut dianggap sebagai suatau karya besar yang bersifat nasional
dan isinya lengkap tanpa kekurangan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
hukum telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum code Civil dalam bentuk
suatu kodifikasi.
Dengan
adanya Code Civil atau Code Napoleon timbullah anggapan bahwa:
a. Seluruh
permasalahan hukum sudah tertampung dalam suatu Undang-undang, Undang-undang
Nasional.
b. Di luar
Undang-undang tidak ada hukum. Undang-undang sudah lengkap dan sempurna serta
tidak mempunyai kekurangan.
c. Hakim hanya
melaksanakan Undang-undang yang berlaku di seluruh negara.
Anggapan tersebut merupakan aliran yang dinamakan aliran legisme atau
positivisme. Salah satu negara yang mempergunakan Code Civil adalah negeri
Belanda. Pada saat itu negeri Belanda dijajah oleh Perancis. Meskipun Perancis
sudah meninggalkan negeri Belanda pada tahun 1812 Belanda masih tetap
memberlakukan Code Civil sampai negeri itu mempunyai Undang-undang nasionalnya
sendiri yang berupa Burgelijk Wetboek (B.W.). Pada tahun 1835 B.W. ini adalah
Undang-undang Hukum Perdata Belanda yang bersifat Nasional yang sebenarnya
merupakan Code Civil Napoleon. B.W. negara Belanda tersebut dibawa ke Indonesia
yang waktu itu dinamakan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda.
Pandangan Legisme tidak dapat bertahan, karena masyarakat yang semakin
berkembang dan maju. Maka timbullah aliran-aliran baru yaitu Freie
Rechtslehre dan disusul aliran Rechtsvinding. Ajaran
freie Rechtslehre atau hukum bebas timbul pada tahun 1840, karena ajaran
legisme dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan perkembangan
masyarakat serta kemajuan masyarakat, kemajuan teknologi dan terus bertambahnya
penduduk, masalah hukum yang baru timbul dan belum tertampung dalam
Undang-undang Nasional yang sudah ada.
Dengan demikian aliran legisme yang berpandangan bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah Undang-undang dan di luar Undang-undang tidak ada hukum,
tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Hal ini sebenarnya sudah diingatkan
oleh Portalis sebagai perancang Code Civil bahwa dengan adanya Undang-undang
itu bukanlah seluruh hukum telah diatur di dalamnya.
Reaksi pertama timbul dari Jerman Barat ialah ajaran Freie Rechtslehre
atau hukum bebas . Menurut paham ini hukum tumbuh di dalam masyarakat dan
diciptakan oleh masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam yang
sudah merupakan tradisi sejak dahulu, baik yang diajarkan oleh agama maupun
adat istiadat.
Setelah aliran hukum bebas dipergunakan oleh banyak negara, maka timbul
aliran baru yang dinamakan Rechtsvinding atau Penemuan Hukum. Kalau aliran
hukum bebas bertolak pada hukum di luar Undang-undang, maka aliran
rechtsvinding mempergunakan Undang-undang dan hukum di luar Undang-undang.
Dalam pemutusan perkara mula-mula hakim berpegang pada Undang-undang dan
apabila ia tidak dapat menemukan hukumnya maka ia harus menciptakan hukum
sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interprestasi dan melakukan
konstruksi hukum apabila ada kekosongan hukum. Aliran penemuan hukum merupakan
aliran yang dipergunakan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Aliran penemuan hukum ini muncul, karena perkembangan dan
pandangan-pandangan terhadap hukum ada perubahan-perubahan, yaitu:
1.
Hukum itu harus berdasarkan asas keadilan masyarakat yang terus berkembang.
2.
Ternyata pembuat Undang-undang tidak dapat mengikuti kecepatan gerak masyarakat
atau proses perkembangan sosial, sehingga penyusunan Undang-undang selalu ketinggalan.
3.
Undang-undang tidak dapat menyelesaikan tiap masalah yang timbul.
Undang-undang tidak dapat terinci melainkan hanya memberikan pedoman umum saja.
4.
Undang-undang tidak dapat sempurna, kadang-kadang dipergunakan istilah-istilah
yang kabur dan hakim harus memberikan makna yang lebih jauh dengan cara memberi
penafsiran.
5.
Undang-undang tidak dapat lengkap dan tidak dapat mencakup segala-galanya.
Disana-sini selalu ada kekosongan dalam Undang-undang maka hakim harus
menyusunnya dengan jalan mengadakan rekonstruksi hukum, argumentum a contrario.
6.
Apa yang patut dan masuk akal dalam kasus-kasus tertentu juga berlaku bagi
kasus lain yang sama.
Metode
Penemuan Hukum
Ketentuan Undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung
pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku
umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang konkrit dan khusus
sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan atau
ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian
baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu
dan peristiwa konkritnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat
diterapkan.
Metode Penemuan
hukum, yaitu:
1.
Konstruksi Hukum
2.
Interprestasi
3.
Argumentasi
4.
Fiksi
Interprestasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-undang agar ruang lingkup kaedah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim
merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima
oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit.
Metode interprestasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna
Undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan
ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh
karena itu dikaji dengan hasil yang diperoleh. Metode interprestasi yang akan
dibicarakan dibawah ini bukanlah merupakan metode yang diperintahkan kepada
hakim untuk digunakan dalam penemuan hukum, tetapi merupakan penjabaran
putusan-putusan hakim. Dari alasan atau pertimbangan yang sering digunakan oleh
hakim dalam menemukan hukumnya dapat disimpulkan adanya metode interprestasi,
yaitu;
1.
Interpretasi menurut bahasa/ gramatikal
2.
Interpretasi teleologis atau sosiologis
3.
Interpretasi sistematis atau logis
4.
Interpretasi historis
5.
Perbandingan hukum
6.
Interprestasi futuristis
Penafsiran diperlukan hanya oleh perjanjian dan Undang-undang. Dalam hal
bunyi atau kata-kata dalam perjanjian jelas kiranya tidak perlu ditegaskan
bahwa perjanjian itu tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari isi perjanjian
itu. Asas ini disebut asas â€sens-clair†tercantum dalam
Pasal 1342 KUH Perdata yang berbunyi:
“ Apabila kata-kata dalam suatu perjanjian jelas, tidaklah
diperkenankan untuk menyimpang dari kata-kata itu dengan jalan penafsiranâ€.
Interprestasi
Gramatical
Penafsiran gramatikal atau taalkundig adalah penafsiran menurut tata
bahasa atau kata-kata. Kata-kata atau bahasa merupakan alat bagi pembuat
undang-undang untuk menyatakan maksud dan kehendaknya. Kata-kata itu harus
singkat, jelas dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata tidak mudah. Oleh
karenanya hakim apbila hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud Undang-undang
atau apa yang dikehendaki oleh pembuat Undang-undang, hakim harus menafsirkan
kata-kata dalam Undang-undang tersebut.
Ia harus mencari arti kata-kata itu dalam kamus atau penjelasan-penjelasan
dari ahli bahasa. Inipun sering tidak cukup dan hakim harus mencari jalan lain.
Misalnya, mencari sejarah penggunaan kata-kata tersebut sewaktu Undang-undang
itu dibuat. Disamping arti kata-kata itu sendiri dalam penafsiran kata-kata itu
harus dihubungkan pula dengan susunan kalimat dan dengan peraturan lain.
Interprestasi
Sosiologis/ teleologis
Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pentingnya
penafsiran sosiologis adalah sewaktu Undang-undang itu dibuat keadaan sosial
masyarakat sudah lain daripada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum
itu gejala sosial yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat.
Penafsiran sosiologis memang penting sekali bagi hakim terutama kalau
diingat banyak Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan.
Khususnya Indonesia banyak memakai Undang-undang zaman penjajahan, sehingga
tidak cocok dengan keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.
Kita ambil sebagai contoh pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan
hukum. Sebelum putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dapat dihukum akibat
perbuatan melawan hukum yaitu apabila perbuatan itu melanggar Undang-undang,
Namun berdasarkan perkembangan masyarakat, setelah putusan Hoge Raad 31 Januari
1919, yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar
UU, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban moral.
Penafsiran
Sistematis
Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang
satu dengan pasal yang lain dalam suatu Perundang-undangan yang bersangkutan
atau pada Perundang-undangan hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu
Perundang-undangan, sehingga mengerti maksudnya. Kita harus membaca UU dalam
keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya,
tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis.
Antara banyak peraturan terdapat hubungan, yang satu timbul dari yang lain.
Seluruhnya merupakan satu sistem besar.
Misalnya, Pasal 1330 KUHPerdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat
perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Apakah yang dimaksud
orang yang belum dewasa ?. Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis
dengan melihat Pasal 330 KUHPerdata yang memberikan batas belum berumur 21
tahun.
Penafsiran
Historis
Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah dari Undang-undang yang
bersangkutan. Tiap ketentuan Perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan
dari sejarah perundang-undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.
Ada dua macam penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah
Undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut
sejarah Undang-undang hendak dicari maksud seperti yang dilihat oleh
pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari
metode ini ialah bahwa Undang-undang adalah kehendak pembentuk Undang-undang
yang tercantum dalam teks Undang-undang.
Metode interprestasi yang hendak memahami Undang-undang dalam konteks
seluruh sejarah hukum disebut interprestasi menurut sejarah hukum.
Interprestasi ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem
hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari sIstem hukum lain yang sekarang
masih berlaku di negara lain, misalnya KUHPerdata yang berasal dari B.W negeri
Belanda. B.W berasal dari Code Civil Perancis atau Code Napoleon.
`Interprestasi Perbandingan
Penafsiran perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara
hukum lama dengan hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum
internasional dengan hukum asing.
a.
Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini mungkin hukum lama cocok
untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Misalnya, beberapa asas hukum
adat yang menggambarkan unsur kekeluargaan dapat diambil untuk dijadikan hukum
nasional.
b.
Hukum nasional dengan hukum asing. Hukum nasional tentu ada kekurangan. Apabila
ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing apakah hukum itu cocok dan
sesuai dengan kepentingan nasional, misalnya: Hak kekayaan Intelektual.
Interprestasi
Futuristis
Interprestasi futuristis adalah metode penemuan hukum yang bersifat
antisipasi, yaitu penjelasan ketentuan Undang-undang dengan berpedoman pada
Undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
Interprestasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi
tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga
hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang
khusus. Disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan Undang-undang
yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan
mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap
hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode argumentasi.
Metode
Argumentasi ada 3, yaitu:
1.
Argumentum Per analogiam
Analogi memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias
pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa
yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan hukum tersebut, misalnya, menyambung aliran listrik dianggap sama
dengan mengambil aliran listrik. Analogi boleh digunakan apabila menghadapi
peristiwa-peristiwa yang mirip. Tidak hanya sekedar kalau peristiwa yang akan
diputus itu mirip dengan peristiwa yang diatur UU, tetapi juga apabila
kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang sama. Analogi ini dapat
disebut juga interprestasi ekstensif, karena memperluas pengertian.
2.
Penyempitan Hukum
Kadang-kadang peraturan hukum lingkupnya terlalu umum atau luas, maka
perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu (Rechtsvervijning).
Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian atau penyimpangan baru
dari peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan
hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Contoh:
Pasal 1365 KUHPerdata , isinya pihak yang salah wajib mengganti kerugian kepada
yang menderita kerugian. Ada peristiwa tabrakan antara A dan B yang sama-sama
berkecepatan tinggi dan sama-sama rusak. Apabila A menuntut ganti rugi terhadap
B, maka B juga menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan demikian kedua-duanya
salah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu kompensasi.
3.
Argumentum a contrario
Penafsiran a contrario adalah penafsiran Undang-undang yang didasarkan
atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian soal yang dihadapi dengan soal
yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik
kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang
dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.
Penafsiran a contrario bertolak belakang dengan penafsiran analogis ,
dimana penafsiran analogis membawa hasil positif sedangkan a contrario hasilnya
negatif. Contoh: Pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang wanita tidak
diperbolehkan kawin lagi lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian. Apakah
seorang juga harus menunggu selama 300 hari?. Berdasarkan penafsiran a
contrario, jawabnya tidak. Alasannya, peraturan Pasal 34 KUHPerdata hanya
berlaku khusus bagi seorang perempuan dan terhadap laki-laki ketentuan seperti
ini tidak berlaku.
C.
Penegakan
Hukum
Penegakan Hukum merupakan suatu
proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan.
Dalam hukum pidana menurut Kadri Husin, penegakan hukum adalah suatu sistem
pengendalian kejahatan yang dilakukan oleh lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan
hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
rangkain penjabaran nilai tahap akhir. Selanjutnya, Soerjono Soekanto menjelaskan
bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan
diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh
kaedah-kaedah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum :
Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor-faktor tersebut ada
lima, yaitu:
1. Hukumnya sendiri, dibatasi
pada undang-undang saja
2.
Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
3. Sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum
4. Masyarakat, yakni
lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5.
Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup
Faktor penghambat dan pendorong di dalam pelaksanaan
tugasnya, yaitu:
1.
Faktor Hukum
Pertentangan
antara kepastian hukum dan keadilan disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan
suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu
prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Penyelenggaraan hukum bukan
hanya mencakup law enforcement saja, namun juga peace maintenance,
karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara
nilai kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
Tidak setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang
tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat
mengatur seluruh tingkah laku manusia. Hukum mempunyai unsur-unsur antara lain
hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum
ilmuwan atau doktrin.
2.
Faktor Penegakan Hukum
Keberhasilan dalam penegakan hukum
adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. Hukum identik dengan tingkah
laku nyata petugas atau penegak hukum. Peningkatan kualitas merupakan salah
satu kendala yang dialami di berbagai instansi.
3.
Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor
sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras.
Perangkat lunak adalah pendidikan dan perangkat keras adalah sarana fisik yang
berfungsi sebagai faktor pendukung. Sarana atau fasilitas mempunyai peranan
yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau
fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang
seharusnya dengan peranan yang aktual.
4.
Faktor Masyarakat
Penegakan
hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,
atau kurang.
5.
Faktor Kebudayaan
Fungsi
kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mengatur agar manusia dapat mengerti
bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan
apa yang dilarang.
BAB 8
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Hukum
sebagai sarana untuk mengatur kepentingan masyarakat dengan segala tugas dan
fungsinya tentu saja harus ditegakan, dan oleh karena itu diperlukannya aparat
atauu lembaga Negara yang harus mengawasi pelaksanaan/penegakan hukum tersebut.
Dalam
penjelasan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
dikatakan; Undang-Undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 menegaskan
Indonesia adaalah Negara hukum,. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah
satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya penajaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang medeka.
A.
Asas Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman
Asas kekuasaan
kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia
adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka
salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Untuk memahami
asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin Montesquieu
mengenai tujuan dan perlunya ‘pemisahan’ kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya
dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu
memberikan arti kebebasan politik sebagai “a tranquility of mind arising
from the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty,
it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid
of another”. Kebebasan
politik ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin
keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebut
maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang tidak merasa
takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang
lain di sekitarnya.
Penataan badan
negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut
Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga
cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan.
Dikemukakan oleh Montesquieu dalam ‘The Spirit of The Laws’ dalam
pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power), bahwa: “When
the legislative and executive powers are united in the same person, or in the
same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehensions may
arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute
than in a tyranical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power
be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the
legislative, the live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary
control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to
executive power, the judge might behave with violence and oppression. There
would be an end of everything, were to some man, or the somebody, weather of
the nobbles or of the people, to the exercise those three powers, that of
enacting laws, that of executing the public resolution and of trying the causes
of individuals.”
Apabila kekuasaan kehakiman
digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang
akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan
kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu
bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran
pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan kehakiman yang
merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah
kesewenang-wenangan.
B. Penyelenggaraan
Peradilan
Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation
of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu.
Tetapi dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang
membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan (separation of powers)
dan kewenangan masing-masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check)
terhadap kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam
kesetaraan dan kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization
of powers) berada dalam keseimbangan (balances), atau ‘check and
balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan
atau penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam membangun
doktrin-doktrin hukum sedemikian ini, dapat dikatakan sebagai inti dari
keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia.Dengan konsep check and
balances dimungkinkan adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap
kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan
demi tercapainya harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan untuk mencegah
kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam
keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran penggunaan
konsep check and balances, berkenaan dengan kewenangan pengawasan
terhadap kekuasaan kehakiman.
Meskipun UUD
1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias
Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan
kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum,
maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak
terlaksana secara sewenang-wenang. Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation
of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya
untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain,
kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah,
sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan
tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan
kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation
of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power),
tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara
hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya
pemerintahan negara.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka
dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human
Rights’, dan ‘International Covenant on Civil and Political Rights’,[14]
yang di dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“.
Di dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article
10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public hearing
by in independent and impartial tribunal in the determination of his rights and
obligations and of any criminal charge against him”. Setiap orang berhak
dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil
oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak
dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. Di
dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article
14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge against
him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be
entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial
tribunal established by law”.
Unsur-unsur yang dapat ditarik dari
rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal)
yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent,
tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan
diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka
(public hearing). Semua
unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945
sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari konsep
negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang
kekuasaan pemerintahan negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi
wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses
peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General Theory of
Judicial Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic
and analytically useful cannot be concerned with every inside and outside
influence on judges”.[16] Dalam hal hakim yang bebas
dalam proses peradilan, menurut Kelsen: “The judges are, for instance,
ordinarily ‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to
the orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”. Dalam proses peradilan hakim hanya
tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ
yudisial atau administratif yang lebih tinggi. Betapa
pentingnya kekuasaan kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics”
mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance of the
mechanism of justice”. Dalam kaitannya
kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam ‘De Rechtsstaat’,
mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen
door en onafhankelijkerechter is de basis voor een goed functionerend
rechtssystem. Wil men ook garanderen dat de overheid zich houdt aan het
geldende recht, dan zal onafhankelijke rechter over klachten van burgers
dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”[19]
Dalam penyelesaian sengketa hukum
oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar
bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak
sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang
berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.
Di Indonesia
kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan
lingkungan peradilan masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan
Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan
wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Kekuasaan
kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat
dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam
aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang
baik (general principles of proper justice), dan peraturan-peraturan
yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya
berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah
keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang
individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang
merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan
kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan
kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus
konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman
terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum
Acara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim
dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya
ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta norma-norma
tidak tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general
principles of proper justice). Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat
pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural
yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan
peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas
normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam
proses peradilan.
Kekuasaan
kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada
kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum
dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu
keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu
perkara hukum yang juga individual konkret. Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman
dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan
bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan
kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara. Dengan demikian dalam sistem
hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual
konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian
berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan
persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga
berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan
pemerintah.
Dari uraian di
atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa dalam kekuasaan kehakiman yang
merdeka terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu:
(1)Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power)
atau pembagian kekuasaan(distribution
of power) di antara badan-badan penyelenggara negara.
(2) Sebagai bagian dari upaya untuk
menjamin dan melindungi kebebasan rakyat.
(3) Untuk mencegah kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari pemerintah.
(4)Sebagai suatu ‘conditio sine
quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan pengendalian atas jalannya
pemerintahan negara.
C. Mahkamah Agung
Mahkamah
Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi
dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung
membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua,
dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil
ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang
yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda
agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang
nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan. Ketua
Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal
60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karier atau sistem non karier.
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian
mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Tugas Hakim Agung adalah
Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi.
D.
Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Agung.
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu
pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen
hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui tahapan seleksi sesuai
mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-masing
lebaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk
ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,
S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna,
S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya,
S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H.,
MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica
Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.
Pada 15
Agustus 2003,
pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun
2003 yang
dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung
bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi
membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat
administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk
pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris
Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR,
sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional
para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis
MPR, Janedjri M. Gaffar,
ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustus
2003 hingga 31 Desember
2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka
Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif. Dalam
perkembangganya, Oka Mahendra
mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus
2004 terpilih Janedjri M. Gaffar
sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas
membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial.
Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran
permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pencatatan
permohonan yang sudah lengkap dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu
pelaksanaan persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera
mendampingi Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari, S.H. yang
di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil
Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK,
pada 15
Oktober 2003,
yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai
beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam
melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan
Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama
(2003-2008) telah memutus 205
perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut
meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi berakhir pada 16 Agustus 2008.
Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti
karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU
MK, usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.)
H. Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud
MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang posisinya diganti
oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya
diganti oleh DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru
menggantikan tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi
untuk periode kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H.
Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad
Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden.
Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad
Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali
Maruarar Siahaan, S.H. yang sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode
pertama. Dengan demikian di periode kedua MK terdapat tiga nama lama dan enam
nama baru. Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi yang berlaku efektif mulai tanggal 1
November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan
sumpah pada tanggal 24 Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar,
S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari 2010 memasuki usia
pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. H. Ahmad
Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 7 Januari 2010.
Formasi sembilan hakim konstitusi inilah yang sekarang menjalankan tugas-tugas
konstitusional Mahkamah Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara
pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan pelayanan
dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi. Demikian pula
belum ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim Konstitusi. Pada saat itu,
alamat surat menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly
Asshiddiqie, S.H.
E.
Komisi
Yudisial
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU
no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama
calon hakim agung.
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan
Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam
mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan
dengan pengangkatan, promosi, pindahan rumah, pemberhentian dan
tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil
dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin
kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya
memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk
mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR
tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang
berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada
tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang
ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan
Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005,
ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai
awal memulai masa tugasnya.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari,
seperti ditulis dalam buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan
(Jakarta: ELSAM, 2004), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai
akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:
- Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.
- Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
- Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
- Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
- Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Masih menurut A. Ahsin Thohari,
tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah:
- Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
- Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
- Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
- Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
- Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.
Wewenang Komisi Yudisial
1. Mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan;
2. Menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
3. Menetapkan
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah
Agung;
4. Menjaga
dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH);
Tugas Komisi Yudisial
1. Melakukan
pendaftaran calon Hakim Agung;
2. Melakukan
seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. Menetapkan
calon Hakim Agung; dan
4. Mengajukan
calon Hakim Agung ke DPR.
BAB
9
ILMU
KENYATAAN
Saat terciptanya suatu hubungan antara masyarakat
satu dan individu lainnya maka akan terciptanya suatu pandangan dari kenyataan,
dimana peletekan dasar itu ada difakta yang didepan mata, dilihat, dirasakan
atau dialami sendiri, ilmu kenyataan dalam konteks sosiologi lebih kepada
penerapan yang reaksi sosialnya benar dapat dipahami dan terjadi beradasarkan
kaedah-kaedah tertentu.
Bila kita kaji arti dari pada kenyataan merupakan
hal yang pasti dalam perwujudan nialai-nilai budaya, dari budaya itulah yang
mempengaruhi hukum sehingga terjadinya reaksi sosial.
A.
Ilmu
Kenyataan Hukum
Ilmu hukum
sebagai ilmu kenyataan membahas hukum dari sisi sikap tindak atau
perilaku.Artinya hukum akan dilihat dari segi penerapannya yang diwujudkan
dalam bentuk tingkah laku atau sikap tindak (das sein). Di dunia ini
manusia terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau disertai
sanksi.Bilamana seseorang melanggar seseatu norma, maka orang itu akan
mengalami sanksi yang berbagai-bagai sifat dan beratnya.
B.
llmu
Hukum Sebagai Ilmu Kenyataan
Sebagimana telah dikemukakan bahwa
ilmu tentang kenyataan atau Tatsachenwissenschaft menyoroti hukum sebagai
perilakuan atau sikap tindak.Termasuk sebagai ilmu-ilmu kenyataan tentang hukum
adalah:
1)
Sosiologi Hukum
Sosiologi
hukum adalah adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan
analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai sosial dengan
gejala-gejala sosial lainnya.Studi yang demikian ini memiliki beberapa
karakteristik. Ciri-cirinya adalah :
a. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberi penjelasan tentang
praktek-praktek hukum, praktek peradilan dan pembuatan undang-undang. Menurut
Marx Weber cara ini dinamakan sebagai interpratif-understanding yang tidak
dikenal dalam studi konvesional. Sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah
laku yang tampak dari luar saja, melainkan ingin memperoleh pula penjelasan
yang bersifat internal, yaitu yang meliputi motif-motif tingkah laku seseorang.
b. Sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahan empiris dengan
usaha mengetahui antara isi kaidah dan dalam kenyataanya, baik dengan data
empiris maupun data non empiris.
c.
Sosiologi hukum, tidak melakukan
penilaian terhadap hukum.
Ciri-ciri khas di atas menurut
Satjipto Rahardjo, dalam bukunya “Ilmu Hukum” (1982) sekaligus merupakan kunci
bagi orang yang berminat untuk melakukan penyeidikan dalam bidang sosiologi
hukum. Dengan cara-cara menyelidiki hukum yang demikian itu, orang langsung
berada di tengah-tengah sosiologi hukum.
Sosiologi hukum juga memiliki
ciri-ciri khas yang sedemikian rupa sehingga ia mengemban tugas yang khas pula,
bagi amalan hukum dan masyarakat, terutama masyarakat yang sedang membangun dan
hukum diharapkan peranannya dalam proses pembangunan tersebut.
Adapun objek yang disoroti sosiologi hukum antara lain :
· Hukum dan sistem sosial masyarakat
· Persamaan dan perbedaan
sistem-sistem hukum
· Hukum dan kekuasaan
· Hukum dan nilai-nilai sosial budaya
· Kepastian hukum dan kesebandingan
· Peranan hukum sebagai alat untuk merubah
masyarakat
Berdasarkan objek yang disoroti
tersebut maka dapat dikatakan bahwa :
“Sosiologi Hukum adalah ilmu
pengetahuan yang secara teoritis, analitis dan empiris, menyoroti pengaruh
gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya”.
2)
Antropologi Hukum
Antropologi
hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan, yang mempelajari pola-pola sengketa
dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana maupun masyarakat yang
sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan. Metode pendekatan
antropologi hukum menurut Euber: “Suatu segi yang menonjol dari ilmu
antropoligi adalah pendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap
manusia.”
Konsep
kebudayaan dan antropologi, sering dikaitkan namun secara pasti, antropologi
tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman
seperti penari atau pelukis.juga memakai istilah ini, atau diasosiasikan dengan
istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini,
memang sangat sering digunakan oleh antropolog dan telah tersebar ke masyarakat
luas, bahwa antropologi bekerja dan meneliti apa yang sering disebut dengan
kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh antropolog dalam pekerjaannya,
bukan berarti para ahli antropolog mempunyai pengertian yang sama tentang
istilah tersebut.
Antopologi
hukum menggunakan pendekatan secara menyeluruh dalam menyelidiki manusia dan
masyarakatnya dan menemukan bahwa melalui manifestasinya sendiri yang khas ,
“hukum” itu selalu hadir dalam masyarakat.
Peranan Antropologi Hukum
Kalangan
ahli antropologi memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam
pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam
kehidupan masyarakat. Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai
produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh, aspek-aspek kebudayaan yang
lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dan lain-lain.
(Pospisil, 1971) atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung
dalam kehidupan masyarakat ( Moore, 1978 ). Karena itu, hukum dalam perspektif
antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang
diciptakan oleh Negara atau State Law, tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai
peraturan-peraturan okal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (
costumary law/folk law ), termasuk pula didalamnya mekanisme-mekanisme
pengaturan dalam masyarakat ( self regulation ) yang juga berfungsi sebagai
sarana pengendalian sosial atau legal order. Hukum dalam perspektif
antropologis merupakan aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana
pengendalian sosial, atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial dalam
masyarakat. Karena itu, hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari
kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai institusi otonom yang
terpisah dari segi-segi kebudayaan yang lain. ( Pospisil, 1971). Jadi, untuk
memahami tempat hukum, dalam struktur masyarakat, maka harus dipahami terlebih
dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan.
Kenyataan ini memeperlihatkan bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan
yang tak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain, seperti politik,
ekonomi, struktur, dan organisasi sosial, ideologi, religi dan lain-lain.
Sebagai suatu cabang ilmu sejarah , sejarah hukum terus berkembang dari zaman
ke zaman.
3)
Psikologi Hukum
Psikologi
hukum adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai
suatu perwujudan jiwa manusia. Psikologi hukum mengkaji persepsi-persepsi
seseorang tentang berbagai fenomena hukum:contoh pro kontra pidana mati, pro
kontra kriminalisasi pornografi.
Contoh
manfaaat psikologi hukum
adalah digunakannya alat psikologi hukum yang dikenal sebagai”pendeteksi
kebohongan” yang merupakan bagian dari “neuro-science” sebagai salah satu
cabang psikologi hukum.
Ada kemiripan objek antara ilmu
hukum dan psikologi. Baik hukum maupun psikologi, keduanya menarik minat
terhadap perilaku manusia, menganalisis perilaku itu, memprediksinya,
memahaminya, dan kadang-kadang mengendalikan perilaku tersebut.
4)
Sejarah Hukum
Sejarah
hukum adalah suatu bidang study hukum yang mempelajari perkembangan dan
asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan
dengan hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. Dalam sejarah
hukum juga ditekankan bahwa , hukum suatu bangsa adalah ekspresi jiwa bangsa
yang bersangkutan dan oleh karenanya hukum diberbagai negara berbeda-beda.
Fungsi dan Kegunaan Sejarah Hukum
1. Mempertajam pemahaman dan penghaytan
tentang hukum yang berlaku sekarang.
2. Mempermudah para pembuat hukum
sekarang, menghindari kesalahan dimasa lalu serta mengambil manfaat dari
perkembangan positif hukum dimasa lalu.
3. Mengetahui makan hukum positif bagi
para akademisi maupun praktisi hukum dengan melakukan penelusuran dan
penafsiran sejarah.
4. Sejarah hukum mengungkap atau
setidaknya memberi suatu indikasi dari mana hukum tertentu berasal, bagaimana
posisinya sekarang, dan hendak kemana perkembangannya.
5. Mengungkapkan fungsi daaan
efektivitas dari lembaga-lembaga hukum tertentu. Artinya , dalam keadaan yang
bagaimana suatu lembaga hukum dapat efektif menyelesaikan persoalan hukum dan
dalam keadaan yang bagaiman pila lembaga tersebut gagal. Hal ini dapat dilihat
dari kenyataan yang ada dalam sejarah hukum tersebut ( Soerjono Soekanto, 1983:
41).
Jhon Gilison dan menambahkan
beberapa fungsi dari sejarah hukum yaitu sebagai berikut.
1. Hukum tidak hanya berubah menurut
dimensi ruang dan letak tetapi juga berubah menurut dimensi waktu dari masa ke
masa.
2. Norma-norma hukum dewasa ini sering
kali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum.
3. Pengetahuan hukum tentang sejarah
hukum penting bagi ahli hukum pemula untuk mengetahui budaya dan pranata hukum.
4. Mempelajari sejarah hukum erat
kaitannya dengan perlidungan HAM. Pelanggaran-pelanggaran HAM, seperti dalam
sejarah hukum masa lampau, bukan zamannya lagi untuk diberlakukan masa kini.
5)
Perbandingan Hukum
Perbandingan
hukum adalah suatu metode studi hukum, yang mempelajari perbedaan sistem
hukum antara negara yang satu dengan yang lain. Atau
membanding-bandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa
yang lain. Dilihat dari posisi yang demikian itu, orang akan mengatakan ; bahwa
studi perbandingan hukum adalah studi tentang hukum asing.
Menurut
Rudolf D. Schlesinger dalam bukunya Comparative Law (1959), mengemukakan bahwa
perbandingan hukum, merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam tentang bahan hukum tertentu. Selanjutnya
dikatakan bahwa perbandingan hukum bukanlah satu perangkat peraturan dan
asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum, melainkan suatu cara menggarap unsur
hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum.
C. Penerapan Ilmu Hukum Sebagai Ilmu
Kenyataan di Indonesia
Hukum
sebagai kenyataannya hidup di dalam pergaulan hidup manusia dan tercermin dalam
sikap tindak masyarakat untuk mengatur hidup manusia antara manusia yang lain
dalam hubungan timbal balik antara manusia sebagai gejala sosial.
Penerapan Ilmu Hukum sebagai Ilmu
Kenyataan di Indonesia dapat kita lihat dimana hukum tersebut diterapkan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia untuk mengatur hubungan sosial dalam masyarakat
dan Indonesia juga menganut sistem negara hukum (Rechtstaat) dan juga terdapat
Undang-undang yang mengatur negara tersebut sehingga hukum hidup di dalam
pergaulan di negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Petrus
C.K.L Bello, Ideologi Hukum :Refleksi
Filsafat Atas Ideologi
Dibalik
Hukum, Insan Merdeka, Bogor, 2013.
Katuuk, Neltje F, Aspek
Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Gunadarma, 1994
Lebacqz, Karen, Teori-Teori
Keadilan : Six Theories of Justice, Augusbung
Publishing
House, Indianapolis, 1986
Zaeni Asyhadi dkk, Pengantar
Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013
Sumber Web :
tushukum.com/fungsi-hukum.html
http://soemali.dosen.narotama.ac.id/files/2011/08/Asas-dan-Sistem-Hukum.ppt
http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/asas-hukum.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar