Mati
adalah satu kata yang sangat menakutkan bagi koruptor.
Secara
umum para koruptor berani melakukan kegiatan hina itu karena dipicu oleh nafsu
duniawi atau cinta dunia (hubuddunya). Sangat jarang atau bahkan tidak ada
koruptor besar (katakanlah diatas milyar) melakukannya karena termotivasi oleh
kebutuhan primer dan sekunder. Mereka melakukannya untuk memenuhi kebutuhan
tertiernya, untuk memenuhi gaya hidup hedonis, bermewah-mewahan.
Dus
logikanya, mati adalah kata yang sangat menakutkan bagi para pecinta dunia,
sehingga hukuman mati efektif sekali dijadikan sebagai hukuman yang dapat
menimbulkan efek jera bagi para koruptor, dalam hal ini para pencuri uang
rakyat.Mencuri uang rakyat efeknya sangat fatal, karena bersifat sistemik,
kanker yang menggerus kesehatan suatu negara dan dapat berujung kepada kematian
(cha0s) jika tidak dikendalikan.
Dalam
beberapa dekade terakhir, Republik Rakyat Cina adalah salah satu negara yang
pertumbuhan dan perkembangannya sangat pesat dari sisi militer, politik dan
ekonomi.Tahun 2011, Situs Which Country.co menempatkan RRC di posisi kedua dalam daftar 10 negara yang
paling kuat di dunia (Top Ten The Most Powerful Country in The World)
dan tahun 2012 Central Intelligence
Agency (CIA) Amerika, menempatkan RRC di posisi ke tiga
sebagai negara dengan perekonomian yang terbaik, berdasarkan nilai gross
domestic product (GDP).
Banyak
faktor yang menyebabkan maju atau hebatnya RRC, namun tidak bisa dipungkiri,
kesuksesan pemberantasan dan pencegahan korupsi adalah faktor yang memberikan
kontribusi yang sangat signifikan bagi kemajuan RRC, dan penerapan
hukuman mati adalah salah satu faktor utama penyebab kesuksesan dalam mengatasi
permasalahan korupsi.
Bulan
Juli 2013 lalu RRC menghukum mati mantan menteri kereta api atas tuduhan
penyuapan dan penyalahgunaan wewenang dalam skandal korupsi (Kompas), sedangkan
Detik News dalam situsnya, melansir 10 Koruptor yang dihukum mati (Detik News).
Hukuman
Mati Untuk Koruptor, Mengapa Indonesia Takut Menerapkannya?
Wacana
hukuman mati bagi koruptor ini sudah ada semenjak tahunan yang lalu, namun
hingga kini belum terealisasi. Indonesia terkesan takut menerapkannya.
Tidak
terealisasinya wacana ini secara umum disebabkan oleh dua hal.
Pertama,
adanya tokoh-tokoh humanisme yang kebablasan yang memiliki pengaruh dalam
kebijaksanaan pemerintah, menganggap manusia tidak berhak mencabut nyawa
manusia apapun alasannya. Atau adanya tokoh-tokoh lokal dan internasional yang
tidak menginginkan Indonesia maju, dan menjadikan alasan humanisme sebagai
topeng.
Kedua,
tingkat korupsi yang sudah mencapai taraf yang sistemik, bahkan telah merasuki
lembaga pondasi negara, lembaga yang sangat penting dalam menjaga kestabilan
negara yaitu Mahkamah Konstitusi. Jika hukuman mati ini diterapkan
dikhawatirkan bisa mengganggu sistem karena banyaknya koruptor-koruptor yang
berada di posisi-posisi penting dalam sistem pemerintahan.
Sudah
saatnya mengabaikan kedua penyebab itu.
Dengan
penerapan hukuman mati bagi koruptor ini, besar kemungkinan Indonesia akan maju
dan berkembang lebih cepat, tidak perlu menunggu hingga beberapa generasi
melalui cara yang lembut (dipenjara) dan melalui penerapan kurikulum pendidikan
anti korupsi, yang selama ini sudah terbukti bahwa kedua cara itu tidak efektif
dan efisien.
Terkuaknya
korusi yang terjadi di MK beberapa hari yang lalu, bisa dijadikan sebagai
momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membuat undang-undang mengenai hukuman
mati bagi koruptor, dengan kriteria tertentu, misalnya dari segi nilai korupsi
dan akibatnya bagi sistem pemerintahan.
Jika
tidak, Indonesia akan begini-begini aja, relatif jalan di tempat, atau
bahkan mengalami kemunduran.
Wiranto: setuju hukuman mati untuk koruptor
Jakarta
(ANTARA News) - Mantan Menteri Pertahanan Keamanan Jenderal TNI (Purn) Wiranto
menyatakan setuju dengan usulan Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil,
Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mengenai perlunya
penerapan hukuman mati untuk para koruptor agar menimbulkan efek jera.
"Ya,
saya setuju saja, karena hukuman yang paling berat kan hukuman mati," ujar
Wiranto yang juga Ketua Umum Partai Hanura saat dijumpai di gedung MPR/DPR/DPD
RI Jakarta, Rabu.
Menurut Wiranto, bila para koruptor tidak mendapatkan hukuman yang berat maka mereka dapat berhitung atau mengambil banyak keuntungan untuk kepentingan pribadi dan golongan dari negeri ini.
Menurut Wiranto, bila para koruptor tidak mendapatkan hukuman yang berat maka mereka dapat berhitung atau mengambil banyak keuntungan untuk kepentingan pribadi dan golongan dari negeri ini.
Ketika
disinggung mengenai hak hidup bagi koruptor, Wiranto menjelaskan bahwa bila
para koruptor dibiarkan hidup, maka dampak selanjutnya yang ditimbulkan adalah
akan ada banyak kematian dari perilaku koruptor tersebut.
"Maka
kemudian dia diberhentikan sebgaai manusia, konsepnya ke sana, bukan secara
sepihak lalu konsepnya dibuat menjadi tampak sangat keji dan sangat
kejam," ujar dia.
Wiranto menegaskan masyarakat seringkali lupa bahwa seorang koruptor bisa menimbulkan kesengsaraan yang mengakibatkan banyak kematian.
Wiranto menegaskan masyarakat seringkali lupa bahwa seorang koruptor bisa menimbulkan kesengsaraan yang mengakibatkan banyak kematian.
Sebelumnya
Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso pada Kamis (26/9) menyatakan bahwa kasus
korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan, karena itu pelaku korupsi harus
dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor `kelas kakap` harus dihukum mati agar
menimbulkan efek jera.
Sehubungan dengan usulan ini, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini sedang dibahas DPR.
Sehubungan dengan usulan ini, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini sedang dibahas DPR.
Hukuman Mati Koruptor Picu Pro-Kontra
Ada
yang setuju dengan syarat, ada yang menolak.
Hukuman
mati bagi koruptor masih memicu pro dan kontra. Anggota Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, kemarin menyatakan mendukung
hukuman mati dengan sejumlah syarat. "Saya sebagai anggota Satgas setuju
(hukuman mati)," kata Achmad saat dihubungi kemarin.
Achmad
mengemukakan sejumlah alasan mengapa koruptor harus dihukum mati, antar lain
korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi juga telah mendorong pemiskinan
masyarakat, membuat bangsa Indonesia rentan dan lemah, serta menggerogoti
kemampuan Indonesia dalam memobilisasi investasi.
Namun,
menurut Achmad, perlu ada kesepahaman dulu soal jenis korupsi seperti apa yang
pelakunya pantas dihukum mati. Misalnya, korupsi yang didorong oleh keserakahan
atau kerakusan serta korupsi yang memanfaatkan penderitaan.
Selain
itu, menurut Achmad, penerapan hukuman mati tak bisa berdiri sendiri. Hukuman
mati harus diimbangi dengan perbaikan sistem peradilan. Peradilan, kata dia,
harus bersih dari praktek-praktek manipulasi. "Susah membayangkan jika
hukuman mati dihasilkan dari proses yang tak bersih," ujar Achmad.
Isu
soal pentingnya hukuman mati bagi koruptor kembali digulirkan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar pada Kamis lalu. Menurut Menteri, secara
normatif, undang-undang yang mengatur hukuman mati koruptor sudah ada. Menteri
merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut
Patrialis, orang yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu bisa dihukum
mati. Keadaan tertentu itu, misalnya, saat negara dilanda bencana atau krisis,
ada orang yang mengkorupsi dana bencana atau uang negara.
Wakil
Ketua Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin juga
menyambut usulan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Agar tidak berhenti
sebatas wacana, Azis menyarankan Kementerian Hukum dan HAM mempertegas dan
mengusulkan pasal-pasal hukuman mati dalam rancangan undang-undang.
"Jangan hanya digelindingkan, harus ada langkah konkretnya," ujar
Aziz kemarin.
Namun
sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, berpendapat beda.
"Hukuman mati harus ditolak," kata dia. Alasannya, tak ada manusia
yang berhak mencabut nyawa manusia lainnya. Selain itu, dalam sistem pengadilan
yang masih korup, orang yang tak bersalah bisa saja dihukum mati.
Thamrin
mengusulkan agar koruptor dihukum dengan cara-cara yang bisa membuat malu dan
jera. Misalnya, dibuat penjara khusus koruptor yang bisa dilihat orang ramai.
Selain itu, pengadilan kasus korupsi perlu menerapkan sistem pembuktian
terbalik. Para tersangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa mereka bersih
dari tuduhan korupsi. "Saya kira itu akan lebih mempunyai efek jera yang
berkelanjutan," kata Thamrin.
Sebelumnya,
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi juga menyatakan hukuman mati
bertentangan dengan prinsip hak asasi. Hak seseorang untuk hidup, menurut dia,
tak dapat dilanggar dan ditunda pemenuhannya.
Mungkinkah Hukuman Mati Koruptor?
Dr Hibnu Nugroho SH MH
MUNGKINKAH hukuman mati dijatuhkan dalam vonis pengadilan Tipikor di
Indonesia bagi koruptor? Pertanyaan ini muncul dan gencar diwacanakan berkait
dengan ‘kegeraman’ publik atas tertangkapnya Ketua MK beberapa waktu lalu.
Pembahasan
mengenai vonis mati sebenarnya sudah sejak lama ada, vonis mati dan pemiskinan
bagi koruptor pernah gencar diwacanakan. Menjadi pertanyaan yang cukup
menimbulkan perdebatan apakah vonis mati tidak melanggar HAM? sementara
dibeberapa negara lain eksistensi vonis pidana mati justru mulai dihapuskan.
Namun kemudian muncul pertanyaan selanjutnya “Apakah pelaku tindak pidana korupsi
justru lebih dan amat sangat lebih melanggar HAM bagi kehidupan seluruh bangsa
Indonesia hari ini dan bagi generasi yang akan datang?”
Pasal
2 ayat (2) UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor memberikan
kemungkinan vonis mati hanya apabila korupsi dilakukan dalam ‘keadaan
tertentu’. Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan tentang maksud ‘keadaan
tertentu’ yaitu suatu keadaan yang yang dapat menjadi alasan pemberatan pidana
bagi si pelaku, yaitu bila perbuatan korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukan bagi peanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
kerusuhan sosial, krismon dan pengulangan tipikor.
Dari
ketentuan tersebut dapat digaris bawahi bahwa vonis mati hanya dijatuhkan bila
tindak pidana yang dilakukan mengandung pemberatan berupa keadaan yang
disyaratkan dalam pasal dimaksud. Sehingga dapat dikatakan UU TPK tidak
memberikan ketentuan normatif mengenai vonis mati selain yang dipersyaratkan
dalam Pasal 2 ayat (2).
Tindak
pidana korupsi sejak sebelum kelahiran UU No 31 tahun 1999 telah dianggap
sebagai kejahatan yang luar biasa dan hingga saat ini setelah 14 tahun berlalu
tipikor belum juga mereda apabila tidak ingin dikatakan justru semakin
menjadi-jadi. Sepanjang diterapkannya UU ini belum pernah ada satu terpidana
yang divonis mati, yang tertinggi adalah 20 tahun pada terpidana UTG yang salah
satu alasan pemberatannya adalah karena dia seorang penegak hokum.
Vonis
merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh hakim, menjadi pertanyaan adalah
beranikah hakim-hakim Tipikor menjatuhkan vonis mati bagi terdakwa yang
memiliki faktor pemberat karena terdakwa adalah penegak hukum? Terlepas dari
besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatannya tersebut?
Hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan undang-undang disamping itu juga
berwenang untuk menyimpangi ketentuan hukum tertulis yang ada. Apalagi apabila
suasana kenegaraan dan�
rasa keadilan masyarakat menjadi tercedrai akibat tindak pidana tersebut maka
hakim diberi kewenangan tersebut. Cara menyimpangi yang dilakukan oleh hakim
disebut sebagai asas Contra legem.
Asas
Contra legem diberikan kepada hakim sebagai bagian dari hakim ikut membangun
hukum melalui putusan yang dijatuhkan. Hakim menjadi garda terdepan
memperbaharui peraturan perundangan yang dirasa telah tertinggal dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat. Vonis yang lahir yang kemudian diikuti oleh vonis-vonis
selanjutnya akan melahirkan Yurisprudensi yang akan menjadi dasar hukum.
Penegakan
hukum bagi penegak hukum yang korup harus menjadi catatan khusus. Karena akibat
perbuatan tersebut rusaklah kewibawaan lembaganya. Bahkan lembaga penegak hukum
menjadi sasaran pelecehan masyarakat, hal ini tentu sangat menyakitkan bagi
para penegak hukum yang bersih dan juga menimbulkan rasa pesimis pencari keadilan.
Saat ini penegak hukum telah mendapat prioritas dalam sistem penggajian oleh
negara, sehingga perilaku korup yang timbul bukan karena kurangnya penghasilan
tetapi lebih pada masalah moral yaitu kerakusan.
Dalam
kasus AM yang merupakan ketua lembaga tinggi negara hendaknya hakim tipikor
bisa mempertimbangan dampak ganda dan luar biasa akibat perilaku korup ketua.
Selama ini Mahkamah Konstitusi telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang
sangat diperhitungkan dan relatif dinilai bersih, akibat nila setitik rusaklah
kepercayaan masyarakat pada lembaga ini. Disisi lain timbul kecurigaan masal
dari para mantan pencari keadilan yang telah diputus perkaranya ‘jangan-jangan’
perkara mereka telah diputus tidak berdasarkan pada fakta persidangan. Padahal
kita ketahui bersama putusan MK salah satunya merupakan putusan yang berkait
dengan sengketa pilkada, tentun bisa berdampak pada stabilitas suatu daerah.
Itulah
mengapa kasus AM tidak boleh dipandang sebagai dugaan tipikor dan atau
pencucian uang biasa yang kemungkinan apabila dinilai dari jumlah kerugian
negaranya masih ada terdakwa lain yang melebihi. Sehingga jangan hanya dinilai
dari besar kecil jumlah kerugian negara yang ditimbulkan. Tetapi hendaknya
faktor pelaku yang pejabat penegak hukumlah yang menjadi inti pemberatannya.
Bukankah AM sendiri dalam suatu wawancara pernah mewacanakan vonis potong jari
bagi palaku korupsi? Sehingga pada hakikatnya AM melakukan tindakannya dengan
kesadaran penuh bahwa itu suatu yang dilarang namun dengan sadar dilanggarnya
pula.
(Dr Hibnu Nugroho SH MH. Dosen Fak
Hukum Unsoed Purwokerto)
Hukuman Mati bagi Koruptor,
Perlukah?
Hukuman mati mungkin bisa jadi
alternatif untuk mengatasi korupsi yang begitu parah di Indonesia. Ada aktivis
yang berpendapat, para koruptor kelas kakap sudah sepatutnya dihukum mati.
Namun, para aktivis HAM menolak hukuman mati terhadap koruptor.
Teten
Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), mendukung hukuman mati
bagi koruptor. "Saya setuju hukuman mati terhadap para koruptor. Seorang
megakoruptor lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran," cetus
Teten kepada hukumonline.
Di
mata Teten, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap
kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM
memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran
HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis.
Begitu pula, para koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah
menghancur perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati
malah ikut menanggung derita.
Teten
berpendapat, para koruptor yang harus dihukum mati adalah para koruptor yang
'merampok' uang negara miliaran rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan
kelas teri, seperti karyawan yang mencuri di kantornya. "Saya sudah muak.
Jadi, sebaiknya para koruptor itu dihukum mati," tegas Teten.
Kegeraman
Teten cukup beralasan. Banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar
rupiah akhirnya divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko
S. Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI bank Modern (Samadikun
Hartono), Dana BPUI (Sudjiono Timan). Para koruptor itu tetap bisa
bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum.
Bertentangan
dengan HAM
Namun,
para aktivis di bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap
para koruptor kakap sekalipun. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati
bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila.
Asmara
Nababan, Direktur Eksekutif Demos, misalnya, mengusulkan agar hukuman mati
dicabut. Alasannya, penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan
internasional. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966 yang
berlaku sejak 1976, antara lain menyebutkan larangan hukuman mati dan
memberikan hak untuk hidup.
Hingga
9 Desember 2002, tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi terhadap
kovenan ini. Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula
melakukan ratifikasi/aksesi terhadap Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition
of Death Penalty.
Selain
itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua,
"Kemanusian yang adil dan beradab." Selain itu, hukuman mati juga
tidak taat dengan Pasal 28A dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak
bisa dikurangi dengan alasan apapun.
Menurut
Asmara, ancaman hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan dendam
kepada penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun, hukuman mati tidak
akan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana lainnya. "Tidak
ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera di masyarakat,"
ujar mantan Sekjen Komnas HAM ini kepada hukumonline.
Tidak
ada korelasi
Asmara
juga tidak setuju jika para koruptor dihukum mati. "Belum terbukti, negara
yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu
korelasinya. Korelasinya adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban,"
katanya.
Bhatara
Ibnu Reza, peneliti Imparsial, sependapat dengan Asmara bahwa tidak ada
korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Ia
mencontohkan, Negeri China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati
di China. Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh
besar paling korupsi di dunia," katanya.
Sejak 1999, Cina
memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Pada
akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang
melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84
orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.
Pada 9 Maret 2001 nasib buruk menimpa Hu Changqing
yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh MA.
Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum mati setelah terbukti bersalah
menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti senilai AS$200.000.
Hukuman mati yang
dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy
oleh pemimpin-pemimpin Cina. "Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup
dan mati partai," demikian semboyan yang terus didengung-dengungkan
pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai
salah satu "Mr Clean".
Sulit dilaksanakan
Tampaknya, Indonesia
belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam
penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak
para koruptor.
Belum lagi, masih ada
beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Munarman dari YLBHI atau
Munir dari Imparsial termasuk yang menolak hukuman mati. Bahkan, mengusulkan lebih baik Pemerintah
mengefektifkan lembaga grasi sebagai alat untuk menolak penerapan pidana mati.
Ada
ungkapan menarik dari Ketua Mahkamah Agung (MA) terhadap mereka yang menyatakan
bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan UUD 1945. "Bagus juga teman-teman
kita ini berpikir seperti itu. Tapi kalau saya tidak salah, orang-orang yang sama beberapa waktu lalu
menyatakan koruptor harus diberi hukuman mati. Tapi sekarang, mereka mengatakan hukuman mati bertentangan dengan
UUD. Tapi tidak apa-apa, orang Indonesia kan dinamis berpikir," ungkap
Bagir.
Sayang,
Bagir tidak menyebutkan orang-orang yang berubah pikiran. Bagir juga
menyebutkan bahwa pengertian hak untuk hidup
dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh
secara semena-mena.
Lalu,
bagaimana dengan para koruptor yang telah melakukan kejahatan ekonomi.
Pantaskah hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan
menyengsarakan masyarakat? Bagaimana pendapat Anda?
Pakar: koruptor musuh negara pantas dihukum mati
Jumat, 4 Nopember 2011 - 23:28
Medan (ANTARA News) - Pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara
(USU) Dr Pedastaren Tarigan,SH, mengatakan para koruptor yang telah merugikan
keuangan negara, sudah sepantasnya dijatuhi hukuman mati, sehingga dapat
membuat efek jera."Ganjaran hukuman mati itu, merupakan langkah yang dinilai paling tepat diterapkan bagi koruptor yang ada di negeri ini," katanya di Medan, Jumat.
Sebab, menurut dia, tanpa diterapkannya hukuman mati terhadap koruptor di negeri tercinta ini, pelaku kejahatan atau "pencoleng" harta dan kekayaan negara itu akan terus berkembang semakin subur dan tidak akan pernah berhenti.
"Jadi, perlu adanya ketegasan dalam menerapkan hukuman mati terhadap koruptor yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan perekonomian negara," kata Kepala Laboratorium Fakultas Hukum USU itu.
Dia mengatakan, penerapan hukuman mati itu juga diatur dalam ketentuan hukum di Indonesia, namun sampai saat ini tidak pernah dilaksanakan terhadap koruptor yang nyata-nyata telah merugikan keuangan negara.
Oleh karena itu, katanya, pemerintah juga perlu mengkaji ulang Undang-Undang yang menerapkan hukuman mati tersebut.
"Selama ini, pelaku yang terbukti korupsi itu, hanya dijatuhi hukuman lima tahun penjara.Ini dinilai terlalu ringan, dan tidak membuat efek jera terhadap mereka yang telah memperkaya diri sendiri atau dengan sengaja menyalahgunakan keuangan negara," kata staf pengajar di Fakultas Hukum USU itu.
Selanjutnya Pedastaren mengatakan, dengan penerapan hukuman mati terhadap koruptor itu, diyakini dapat membuat rasa takut atau kehilangan nyali korup, serta mereka tidak akan mengulangi lagi kejahatan tersebut.
Penerapan hukuman mati itu, juga salah satu solusi untuk menyelamatkan keuangan negara dari koruptor yang juga sebagai musuh negara.
"Perlunya penerapan hukuman mati bagi koruptor itu, untuk terciptanya penegakan hukum tegas dan benar, sehingga minat untuk melakukan penyimpangan keuangan negara semakin berkurang," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai wacana hukuman minimal lima tahun penjara bagi koruptor, Pedastaren mengatakan, dirinya kurang sependapat, hal ini terlalu ringan dan tidak akan membuat efek jera terhadap koruptor itu.
Hukuman lima tahun terhadap pelaku koruptor tersebut, jelas membuat senang bagi mereka yang melanggar hukum tersebut.
Karena, menurut Pedastaren, koruptor yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) itu, juga akan memperoleh remisi atau pengurangan hukuman. Koruptor tersebut juga tidak akan penuh menjalani hukuman di Lapas.
"Pemerintah juga perlu ketegasan mengenai penerapan hukuman terhadap koruptor itu, yakni apakah hukuman 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup atau hukuman mati," kata Pedastaren. (ANT)
"Kasus korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan, karena itu pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor `kelas kakap` harus dihukum mati agar menimbulkan efek jera," kata mantan Panglima TNI itu.
Sehubungan dengan itu, lanjutnya, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini sedang dibahas DPR.
Selain itu, ke depan perlu dibentuk perwakilan (cabang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di masing-masing ibukota propinsi, sehingga penanganan masalah korupsi tidak menumpuk dan terpusat di KPK di ibukota negara.
Djoko Santoso juga menjelaskan, Ormas Gerakan Indonesia ASA mengidentifikasi adanya tujuh faktor yang merupakan penghambat pembangunan nasional lima tahun ke depan. Salah satu di antaranya adalah masalah maraknya tindak pidana korupsi. Masalah lain adalah penyimpangan konstitusi dalam penyelenggaraan negara, produktivitas angkatan kerja, konflik pertanahan, subsidi energi, perumahan bagi rakyat miskin, dan pembayaran utang Pemerintah.
Hukuman Mati bagi Koruptor; Contohlah Latvia dan China
Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar di Jakarta, Senin (5/4), menyetujui
penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan penyuapan. Hakim harus berani
menerapkan hukuman itu karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999.
UU
No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan
antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana
alam, atau dalam keadaan tertentu. Yang kini belum ada adalah keberanian
majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati.
Patrialis
di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, menyatakan, ”Undang-Undang Korupsi sudah
mengatur soal itu dan membolehkan. Saya setuju penerapannya itu. Masa kita
harus berdebat terus mengenai itu. Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim
menafsirkan dan berani memutuskannya.”
Perlunya
sanksi yang keras pada pelaku korupsi muncul kembali karena meski sudah banyak
pejabat dihukum terkait kasus korupsi, sanksi tidak membuat pejabat atau orang
lain jera untuk korupsi. Korupsi, khususnya suap, bahkan kini dinilai sebagai
budaya (Kompas, 5/4).
Menurut
Patrialis, untuk mengikis korupsi dan penyuapan, pemerintah sebenarnya
menerapkan aturan yang keras agar membuat kapok pelakunya. ”Jika sekarang masih
terjadi, mungkin harus lebih keras lagi cara penerapan sanksinya,” ujarnya.
Patrialis
mengatakan, selain hukuman berat, kesejahteraan pegawai juga harus lebih baik
dan memadai lagi. ”Kalau ada orang yang seperti Gayus HP Tambunan lagi, tentu
harus dihajar dengan hukuman yang lebih berat dan keras lagi,” paparnya.
Latvia
dan China
Di
Surabaya, Jawa Timur, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui,
korupsi di negeri ini sudah parah dan merajalela. Karena itu, Indonesia perlu
belajar dari Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar untuk
menumpas korupsi di negaranya.
Menurut
Mahfud, sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk memberantas
korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi nasional atau UU
pemotongan generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan dan
semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif
kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari
korupsi.
Di
China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun
1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi begitu ada korupsi
sehari sesudah pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati.
”Hingga
Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China dijatuhi hukuman mati. Sekarang
China menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini,”
tambahnya.
Saat
menjabat Menteri Kehakiman pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
Mahfud pernah mengusulkan rancangan UU lustrasi dan UU pemutihan. Namun, usulan
itu kandas karena Gus Dur lengser.
Mahfud
menilai korupsi di Indonesia sedemikian merajalela dan menjadi penyakit kronis,
bahkan negara ini sudah rusak. ”Korupsi terjadi di mana-mana, mulai polisi,
jaksa, hakim, hingga kantor sepak bola. Ironisnya, korupsi justru merajalela
dan menjadi penyakit setelah kita mengamandemen UUD 1945 selama empat kali
sejak tahun 1999 hingga 2002,” ujarnya.
Menurut
Mahfud, sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sudah bagus. Namun,
mentalitas dan moralitas masyarakat Indonesia telah rusak.
Mahfud
juga menyatakan, dia baru mendapat laporan dugaan kasus korupsi dari anggota
DPR. Dugaan kasus korupsi yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan korupsi
pegawai pajak Gayus Halomoan P Tambunan itu akan dibukanya.
Kejahatan
pajak melebar
Secara
terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai praktik mafia hukum yang
berkaitan dengan pajak saat ini melebar dan masuk wilayah fundamental. Karena
itu, Presiden meminta institusi penegak hukum bekerja untuk mengurai
penyimpangan hingga tuntas.
”Saya
terus terang terusik dengan kejadian ini. Meskipun yang dilaporkan kepada saya
belum utuh, baru laporan sementara, tetapi saatnyalah kita tata secara sangat
serius,” ujar Presiden saat membuka sidang kabinet paripurna di Jakarta, Senin.
Presiden
mengidentifikasi ada tiga jenis kejahatan di bidang pajak. Jenis kejahatan
pajak pertama ialah wajib pajak yang tak memenuhi kewajibannya karena tidak
membayar atau membayar tak sesuai ketentuan. Kedua, petugas pajak yang
melakukan korupsi. Ketiga, dilakukan bersama oleh kedua pihak atau
”kongkalikong”.
”Ini
yang sering saya sebut kongkalikong, ’damai’ yang jahat. Wajib pajak yang harusnya
membayar 100 persen dari kewajiban pajaknya mungkin hanya membayar 60 persen.
Yang 60 persen itu dikongkalikong lagi, disiasati oleh oknum di lingkungan
pajak. Mungkin diambil lagi di situ, yang masuk ke negara tinggal 20-30
persen,” ujar Presiden.
Presiden
menilai kasus kejahatan pajak yang sedang mengemuka saat ini tergolong
kongkalikong. ”SMS yang masuk ke saya banyak sekali, seolah-olah ini kejahatan
tunggal yang dilakukan oleh petugas pajak. Ini berbeda. Ini jenis ketiga,
semuanya kejahatan,” kata Presiden.
Terkait
hal itu, Presiden meminta institusi penegak hukum bersama Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum bekerja serius untuk menangani persoalan itu dan
melaporkan perkembangannya. Dengan begitu, bisa dilakukan tindakan korektif
yang efektif. Selain itu, dapat disusun pula langkah pencegahan untuk
memastikan kejahatan seperti itu tak terulang.
”Ternyata
pengadilan pajak bisa sarat dengan praktik mafia yang harus kita berantas,”
papar Presiden lagi.
Dana
ke Edmond Ilyas
Secara
terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang di
Jakarta, Senin, mengatakan, penyidik menemukan aliran dana ke Brigadir Jenderal
(Pol) Edmond Ilyas, mantan Direktur II Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)
Polri, dalam penyidikan kasus Gayus Tambunan. ”Uang itu berasal dari sumbangan
orang lain bagi bantuan gempa bumi di Sumatera Barat. Selain itu belum
ditemukan lagi adanya aliran dana,” kata Aritonang.
Saat
ditanyakan apakah Edmond mengakui itu, Aritonang menyatakan, itu baru
keterangan. Penyelidikan secara simultan masih berjalan.
Aritonang
belum menjelaskan tindakan bagi Direktur II Bareksrim Brigjen (Pol) Raja
Erizman yang diduga terlibat kasus Gayus. Sanksi itu tergantung keputusan
pimpinan. (ABK/ONG/HAR/DAY/DWA)
Sumber: Kompas, 6 April 2010
Sumber: Kompas, 6 April 2010
Legislator: Hukum Indonesia memungkinkan koruptor dihukum mati
Jakarta
(ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Tjatur Sapto Edy menyatakan bahwa
hukum di Indonesia memungkinkan bagi koruptor untuk bisa dihukum mati.
"Memang sudah ada undang-undang ke arah situ. Cuma tidak pernah dipakai oleh hakim," kata Tjatur saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat malam.
"Memang sudah ada undang-undang ke arah situ. Cuma tidak pernah dipakai oleh hakim," kata Tjatur saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat malam.
Tjatur
menjelaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999
memiliki celah yang memungkinkan untuk dilakukannya hukuman mati bagi koruptor.
"Saya tidak tahu kenapa tidak pernah dipakai, apa mungkin hakim-hakim kurang percaya diri untuk melakukan vonis tersebut," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI itu.
Tjatur berpendapat, celah tersebut mungkin tertutupi, karena selama ini memang belum pernah ada vonis yang menjatuhkan hukuman mati terhadap para koruptor.
Sebelumnya pada Kamis (26/9) Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso menyatakan perlunya penerapan hukuman mati untuk para koruptor agar menimbulkan efek jera.
"Saya tidak tahu kenapa tidak pernah dipakai, apa mungkin hakim-hakim kurang percaya diri untuk melakukan vonis tersebut," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI itu.
Tjatur berpendapat, celah tersebut mungkin tertutupi, karena selama ini memang belum pernah ada vonis yang menjatuhkan hukuman mati terhadap para koruptor.
Sebelumnya pada Kamis (26/9) Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso menyatakan perlunya penerapan hukuman mati untuk para koruptor agar menimbulkan efek jera.
Dia
menyatakan bahwa kasus korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan, karena itu
pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor `kelas kakap`
harus dihukum mati agar menimbulkan efek jera.
Sehubungan
dengan usulan ini, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya
memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini
sedang dibahas DPR.
Editor: Tasrief Tarmizi
EFEKTIFKAH ??....PENERAPAN SANKSI HUKUMAN MATI TERHADAP KORUPTOR
Maraknya genderang Perang terhadap para pelaku korupsi di
negeri ini tampaknya sudah cukup kuat.Tanda perlawanan tersebut banyak
bentuknya dimulai dari aksi simpatik masyarakat yang mendukung penguatan
lembaga KPK, saweran membantu pembangunan gendung KPK, dan terakhir munculnya
wacana untuk mengenakan sanksi bagi para koruptor melalui penjatuhan sanksi hukuman mati.
pilihan pengenanaan sanksi pengenaan hukuman mati ini merupakan salah satu
wacana yang pernah diajukan oleh para penggiat masyarakat anti korupsi yang
mengusulkan penjatuhan hukuman minimal yang dinilai lebih efektif untuk
menurunkan praktik-praktik korupsi di tanah air, mereka menilai melalui
penerapan hukuman mati bagi para koruptor saat ini dinilai relevan, karena
praktik korupsi di tanah air sudah sangat akut dan sudah sangat merusak
sendi-sendi pembangunan nasional tidak
hanya di segi sosial, politik dan budaya tapi memperlembat penguatan ekonomi
menuju negara sejahtera.
Melihat pada besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik korupsi di berbagai institusi dan lembaga di negeri ini. mengakibatkan para penggiat anti korupsi merasa geram terhadap segala bentuk praktik korupsi di negeri ini, dan parahnya lagi para pelaku korupsi selama ini tidak pernah dikenakan hukuman yang seberat mungkin dan cenderung para kriminal pencuri uang negara tersebut hanya dikenakan hukuman ringan dan adapula yang dibebaskan.
Melihat pada besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik korupsi di berbagai institusi dan lembaga di negeri ini. mengakibatkan para penggiat anti korupsi merasa geram terhadap segala bentuk praktik korupsi di negeri ini, dan parahnya lagi para pelaku korupsi selama ini tidak pernah dikenakan hukuman yang seberat mungkin dan cenderung para kriminal pencuri uang negara tersebut hanya dikenakan hukuman ringan dan adapula yang dibebaskan.
Wajah buram peneggakan hukum bagi para pencuri uang
negara tersebut juga tidak terlepas lemahnya komimen aparatur penegak hukum
termasuk para pemegang kebijakan di negara ini untuk bersama-sama serisu
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan ironisnya hampis sebagian besar
aparatur peneggak hukum yang diharapkan sebagai sapu pembersih lantai yang
kotor malah ikut terlibat sebagai aktor pelaku pencuri uang negara baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kondisi inilah yang kemudian menjadi salah satu
pemicu mengapa masyarakat mulai pesimis terhadapa keseriusana para penegak
hukum dalam melakukan tugasnya memberantas perktik-praktik kourpsi.
Wujud pesimistis terhadap penegakkan hukum terhadap para
koruptor yang cenderung tidak menampakkan ketegasan dalam pemberian afek jera
memunculkan wacana yang terus menguat dari masyarakat pengiat anti korupsi agar
negara berani untuk menerapkan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana
korupsi. Sebagai pembanding ,awalnya pengenaan hukum mati terhadap para pelaku
tindak pidana korupsi telah dipraktikkan
di negara-negara komunis seperti RRC, walau kebijakan berani negara komunis
tersebut dalam mengenakan sanksi hukum mati terhadap para pelaku telah
membuahkan hasil yang cukup positif ditandai dengan menurunnya jumlah
angka tindak pidana korupsi di
negaranya, namun hal tersebut tidak pula serta merta tidak menuai perotes baik dari internal
negara tersebut dan juga dari penggiat HAM internasional. Masyarakat penggiat
HAM menilai bahwa penerapan hukuman mati terhadap para koruptor bukanlah
termasuk kondisi pengecualian untuk dapatnya hukuman mati diterapkan sebagai
suatu bentuk penghukuman namun hal ini
lebih beefek pada munculnya tindak pembunhan dan penghilangan hak hidup
seseorang atas tindakan yang telah dilakukannya, namun disisilan lain cukup
dilematis bila koruptor tidak di kenakan hukuman mati maka apakah seseorang
yang telah nyata melakukan tindak pidana koruspi cukup diancam dengan sanksi
penghilangan hak-hak kemerdekaan saja. Sementara cukup besar dampak negatif
yang ditimbulkan akibat pencurian uang negara yang telah mereka lakukan.
Alasan-alasan tersebutlah yang cukup kuat bergulir dalam setiap perdebatan
diantara dua kelompok masyarakat yaitu kelompok penggiat HAM dan Kelompok anti
korupsi.
Masyarakat penggiat anti korupsi menilai bahwa pengenaan
hukuman mati terhadap para koruptor merupakan penerapan hukum yang dinilai adil
dan cukup relevan bila dihadapkan pada akibat yang ditimbulkannya. Kerugian
yang cukup luas karrna adanya praktik pencurian uang negara yang dilakukan oleh
para koruptor. Pemikiran tersebut senada dengan apa yang telah disampaikan
oleh mantan pimpinan KPK Busro Muqodasa
didalam sebuah presentasi ia menguraikan
bahwa “Pada hakikatnya praktik korupsi secara tidak langsung juga
merupakan pelanggaran HAM selain tindak pidana sebagi pelanggaran pokoknya
karena adanya hak-hak masyarakat yang tecedrai akibat dari prilaku para
koruptor seperti hilangnya hak-hak masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan" atau apa yang lebih dikenal dengan HAK atas kesejahteraan
dalam UU HAM(pen).Tertutupnya jaminan dari negara terhadap masyarakat
untuk mencapai pemenuhan hak atas kesejahteraan dalam kehidupannya akibat berkurangnya porsi anggaran untuk
pembangunan akibat pencurian yang telah dilakukan olah aparatur negara. Sehingga
pembangunan yang langsung menyentuh peningkatan kualitas hidup masyarakat tidak
dapat terpenuhi secara maksimal, sehingga banyak hak-hak masyarakat yang
dilanggara akibat praktik korupsi yang telah dilakukan dan akibat praktik
tersebut perlu adanya penanganan hukum yang luar biasa juga”, karena itu
pulalah mengapa banyak pula pendapat bahwa tindak pidana kuorupsi juga dapat
dikategorikan kedalam bentuk kejahatan luar biasa (Extra ordinary Crimes) karena adanya sifat meluas dan/atau
sistimitis dari akibat hukum yang ditimbulkannya.
Pendapat yang mengusulkan penerapan hukuman mati terhadap
pelaku tindak pidana korupsi tersebut, akan berbedahalnya bila kita
hadapkan dengan pendapat menganai
penerapan hukuman mati berdasarkan prespektif prinsip-prinsi perlindungan
dan/atau penghormatan HAM
sebagaimana yang tertuang dalam DUHAM 1948. pada hakikatnya Prinsip-Prinsip HAM telah
tegas menentang keras terhadap segala bentuk praktik penghukuman mati yang
sampai saat ini masih diberlakukan dalam beberapa beberapa praktik hukum
negara-negara anggota terutama negara-negara yang masih menganut asas
penghukuman mati dalam sistim penghukuman nasional di negaranya.dan menuntutu
negara-negara yang masih mengakui penerapan hukuman mati dalam hukum nasional
negaranya agara dapat segara dikurangi dan pada akhirnya dihapuskan karena
akibat dari penerapan hukuman mati tersebut akan menimbulkan pelanggaran baru
lagi yakni hak hidup.yang dalam penafsirannya bahwa dalam keadaan apapun
kehidupan seseorang tidaklah dapat diakhiri kecuali terahadap bentuk-bentuk
pelanggarann ham yang berat sebagaiman yang telah diatur dalam Hak Sipol dan
Konvensi Roma.
Curahan Hati Jurit: Saya Dihukum Mati Karena Miskin
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), Nurkholis memiliki kenangan khusus soal Jurit, Terpidana
mati kasus pembunuhan berencana di Palembang. Jurit sempat menumpahkan curahan
hati kepada Nurkholis saat menjadi pengacara.
"Saya
mendapat hukuman mati karena saya orang miskin," kata Nurkholis mereka
ulang ucapan Jurit.
Nurkholis
menangani Jurit semenjak tahun 2003 hingga 2007, sebelum dirinya menjadi
anggota Komnas HAM. Curahan hati tersebut keluar dari mulut Jurit saat
Nurkholis terakhir menemuinya tahun 2007.
"Itu
menunjukkan bahwa mereka yang notabene kaum miskin ini merasa diperlakukan
tidak adil di Indonesia," ungkapnya.
Ibrahim pun
sempat bergurau dengan Nurkholis. Rekan Jurit saat membunuh Soleh itu justru
berkelakar perihal dirinya yang masih menjomblo. Nurkholis terakhir bersua
Ibrahim tahun 2006 di penjara Palembang. "Kayaknya saya ketemu jodoh nih
di penjara," kata Nurkholis.
Kejaksaan
Agung kembali menjalani eksekusi hukuman mati. Kali ini, Kejaksaan mengeksekusi
mati tiga terpidana kasus pembunuhan. Tiga terpidana yang dieksekusi adalah
Suryadi, Jurit dan Ibrahim.
"Ekseskusi
sudah dilaksanakan terhadap tiga terpidana mati," kata Jaksa Agung Basrief
Arief di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (17/5).
Eksekusi
mati dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Suryadi dieksekusi di
tanah kosong. Lokasi tanah kosong itu berjarak 2 km dari lokasi eksekusi Jurit
dan Ibrahim. Jurit dan Ibrahim dieksekusi di Lembah Nirbaya, antara pukul 00.00
-01.00 WIB.
Usai
dieksekusi, Basrief mengemukakan, ketiga jenazah dimakamkan terpisah. Jurit dan
Ibrahim dimakamkan di Palembang. Sementara Suryadi dimakamkan di Cilicap.
Suryadi
merupakan terpidana kasus pembunuhan terhadap satu keluarga di kawasan Pupuk
Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, pada 1991.
Sementara
Jurit dan Ibrahim bersama-sama melakukan pembunuhan berencana di Sekayu,
Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pada 2003. Ketiga terpidana mati
tersebut telah dijerat oleh pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan
divonis mati.
Eksekusi
mati terhadap Suryadi, Jurit dan Ibrahim berjalan setelah ketiganya menghuni
hotel prodeo beberapa tahun. Suryadi dieksekusi mati setelah 20 tahunan
menghuni penjara. Sedangkan Jurit dan Ibrahim ditembak regu tembak setelah 15
tahunan dibui. "Nah inilah yang menjadi persoalan kita, dari awal
dulu begitu," kata Basrief.
Basrief
mengatakan, terpidana mati baru dieksekusi telah hak-haknya sebagai terpidana
terpenuhi. "Kalau sudah terpenuhi semua maka baru eksekusi
dilaksanakan," ucapnya.
Setelah
menjalani masa hukuman beberapa tahun di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa
Tengah, tiga terpidana mati kasus pembunuhan sadis asal Sumatera Selatan
dieksekusi di depan regu tembak.
Kepala
Divisi Pemasyarakatan Kantor Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia Provinsi
Jawa Tengah, Suwarso mengatakan ketiga terpidana dibawa eksekutor pada Kamis
malam, sekitar pukul 23.00 WIB.
"Pada
pukul 23.00, kami menyerahkan ketiga terpidana mati kepada eksekutor.
Kewenangan kami hanya sampai situ," kata Suwarso.
Setelah itu,
sekitar pukul 00.15 WIB, ketiga terpidana mati dikabarkan sudah dieksekusi di
depan regu tembak. "Sekitar pukul 02.30, ketiga jenazah dalam mobil
ambulans diseberangkan dari Dermaga Sodong dan dibawa ke rumah duka,"
ungkapnya.
Dua jenazah
yakni Jurit dan Ibrahim dibawa ke Palembang melalui Bandara Adisutjipto
Yogyakarta. Sedangkan jenazah Suryadi dimakamkan di TPU Rawapasung, Sidanegara,
Cilacap.
Eksekusi
terpidana mati menambah panjang deret eksekusi mati oleh Kejaksaan Agung.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi mati perkara
narkotika Adam Wilson. Wilson, warga negara Malawi, dieksekusi di Kepulauan
Seribu pada bulan Maret 2013. Ia dieksekusi setelah dipenjara selama 10 tahun.
masuk akal, menurut saya indonesia memang harus menerapkan hukuman mati untuk para koruptor. biar jera bikin orang lain susah
BalasHapusLogika, mengatur 250jt org itu sngt sulit..diperlukan hukum yg "tegas". Ilustrasi: kita spt hidup diatas kapal, para koruptor yg " melubangi" kapal kita..cepat ato lambat "pasti"?? Tenggelam???
BalasHapusLogika, mengatur 250jt org itu sngt sulit..diperlukan hukum yg "tegas". Ilustrasi: kita spt hidup diatas kapal, para koruptor yg " melubangi" kapal kita..cepat ato lambat "pasti"?? Tenggelam???
BalasHapusSELAMAT ANDA MENDAPATKAN UNDANGAN RESMI DARI SUMOQQ.ORG Kunjungi skrg Live Chat nya u/Info lbh Lanjut,Dan Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma-Cuma BBM : D8ACD825
BalasHapus