Rabu, 16 Juli 2014

Hukuman Mati Untuk Koruptor, Mengapa Indonesia Takut Menerapkannya



Mati adalah satu kata yang sangat menakutkan bagi koruptor.
        Secara umum para koruptor berani melakukan kegiatan hina itu karena dipicu oleh nafsu duniawi atau cinta dunia (hubuddunya). Sangat jarang atau bahkan tidak ada koruptor besar (katakanlah diatas milyar) melakukannya karena termotivasi oleh kebutuhan primer dan sekunder. Mereka melakukannya untuk memenuhi kebutuhan tertiernya, untuk memenuhi gaya hidup hedonis, bermewah-mewahan.
      Dus logikanya, mati adalah kata yang sangat menakutkan bagi para pecinta dunia, sehingga hukuman mati efektif sekali dijadikan sebagai hukuman yang dapat menimbulkan efek jera bagi para koruptor, dalam hal ini para pencuri uang rakyat.Mencuri uang rakyat efeknya sangat fatal, karena bersifat sistemik, kanker yang menggerus kesehatan suatu negara dan dapat berujung kepada kematian (cha0s)  jika tidak dikendalikan.

     Dalam beberapa dekade terakhir, Republik Rakyat Cina adalah salah satu negara yang pertumbuhan dan perkembangannya sangat pesat dari sisi militer, politik dan ekonomi.Tahun 2011, Situs Which Country.co menempatkan RRC di posisi kedua dalam daftar 10 negara yang paling kuat di dunia (Top Ten The Most Powerful Country in The World) dan tahun 2012 Central Intelligence Agency (CIA) Amerika, menempatkan RRC di posisi ke tiga sebagai negara dengan perekonomian yang terbaik, berdasarkan nilai gross domestic product (GDP).
     Banyak faktor yang menyebabkan maju atau hebatnya RRC, namun tidak bisa dipungkiri, kesuksesan pemberantasan dan pencegahan korupsi adalah faktor yang memberikan kontribusi  yang sangat signifikan bagi kemajuan RRC, dan penerapan hukuman mati adalah salah satu faktor utama penyebab kesuksesan dalam mengatasi permasalahan korupsi.
     Bulan Juli 2013 lalu RRC menghukum mati mantan menteri kereta api atas tuduhan penyuapan dan penyalahgunaan wewenang dalam skandal korupsi (Kompas), sedangkan Detik News dalam situsnya, melansir 10 Koruptor yang dihukum mati (Detik News).

Hukuman Mati Untuk Koruptor, Mengapa Indonesia Takut Menerapkannya?

      Wacana hukuman mati bagi koruptor ini sudah ada semenjak tahunan yang lalu, namun hingga kini belum terealisasi. Indonesia terkesan takut menerapkannya.
Tidak terealisasinya wacana ini secara umum disebabkan oleh dua hal.
    Pertama, adanya tokoh-tokoh humanisme yang kebablasan yang memiliki pengaruh dalam kebijaksanaan pemerintah, menganggap manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia apapun alasannya. Atau adanya tokoh-tokoh lokal dan internasional yang tidak menginginkan Indonesia maju, dan menjadikan alasan humanisme sebagai topeng.
      Kedua, tingkat korupsi yang sudah mencapai taraf yang sistemik, bahkan telah merasuki lembaga pondasi negara, lembaga yang sangat penting dalam menjaga kestabilan negara yaitu Mahkamah Konstitusi. Jika hukuman mati ini diterapkan dikhawatirkan bisa mengganggu sistem karena banyaknya koruptor-koruptor yang berada di posisi-posisi penting dalam sistem pemerintahan.
Sudah saatnya mengabaikan kedua penyebab itu.
      Dengan penerapan hukuman mati bagi koruptor ini, besar kemungkinan Indonesia akan maju dan berkembang lebih cepat, tidak perlu menunggu hingga beberapa generasi melalui cara yang lembut (dipenjara) dan melalui penerapan kurikulum pendidikan anti korupsi, yang selama ini sudah terbukti bahwa kedua cara itu tidak efektif dan efisien.
      Terkuaknya korusi yang terjadi di MK beberapa hari yang lalu, bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membuat undang-undang mengenai hukuman mati bagi koruptor, dengan kriteria tertentu, misalnya dari segi nilai korupsi dan akibatnya bagi sistem pemerintahan.
Jika tidak, Indonesia akan begini-begini aja, relatif jalan di tempat, atau bahkan mengalami kemunduran.

Wiranto: setuju hukuman mati untuk koruptor

Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Pertahanan Keamanan Jenderal TNI (Purn) Wiranto menyatakan setuju dengan usulan Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mengenai perlunya penerapan hukuman mati untuk para koruptor agar menimbulkan efek jera.
      "Ya, saya setuju saja, karena hukuman yang paling berat kan hukuman mati," ujar Wiranto yang juga Ketua Umum Partai Hanura saat dijumpai di gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Rabu.
Menurut Wiranto, bila para koruptor tidak mendapatkan hukuman yang berat maka mereka dapat berhitung atau mengambil banyak keuntungan untuk kepentingan pribadi dan golongan dari negeri ini.
     Ketika disinggung mengenai hak hidup bagi koruptor, Wiranto menjelaskan bahwa bila para koruptor dibiarkan hidup, maka dampak selanjutnya yang ditimbulkan adalah akan ada banyak kematian dari perilaku koruptor tersebut.
"Maka kemudian dia diberhentikan sebgaai manusia, konsepnya ke sana, bukan secara sepihak lalu konsepnya dibuat menjadi tampak sangat keji dan sangat kejam," ujar dia.

      Wiranto menegaskan masyarakat seringkali lupa bahwa seorang koruptor bisa menimbulkan kesengsaraan yang mengakibatkan banyak kematian.
Sebelumnya Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso pada Kamis (26/9) menyatakan bahwa kasus korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan, karena itu pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor `kelas kakap` harus dihukum mati agar menimbulkan efek jera.
      Sehubungan dengan usulan ini, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini sedang dibahas DPR.

Hukuman Mati Koruptor Picu Pro-Kontra
Ada yang setuju dengan syarat, ada yang menolak.
      Hukuman mati bagi koruptor masih memicu pro dan kontra. Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, kemarin menyatakan mendukung hukuman mati dengan sejumlah syarat. "Saya sebagai anggota Satgas setuju (hukuman mati)," kata Achmad saat dihubungi kemarin.
      Achmad mengemukakan sejumlah alasan mengapa koruptor harus dihukum mati, antar lain korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi juga telah mendorong pemiskinan masyarakat, membuat bangsa Indonesia rentan dan lemah, serta menggerogoti kemampuan Indonesia dalam memobilisasi investasi.
     Namun, menurut Achmad, perlu ada kesepahaman dulu soal jenis korupsi seperti apa yang pelakunya pantas dihukum mati. Misalnya, korupsi yang didorong oleh keserakahan atau kerakusan serta korupsi yang memanfaatkan penderitaan.
Selain itu, menurut Achmad, penerapan hukuman mati tak bisa berdiri sendiri. Hukuman mati harus diimbangi dengan perbaikan sistem peradilan. Peradilan, kata dia, harus bersih dari praktek-praktek manipulasi. "Susah membayangkan jika hukuman mati dihasilkan dari proses yang tak bersih," ujar Achmad.
       Isu soal pentingnya hukuman mati bagi koruptor kembali digulirkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar pada Kamis lalu. Menurut Menteri, secara normatif, undang-undang yang mengatur hukuman mati koruptor sudah ada. Menteri merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
      Menurut Patrialis, orang yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu bisa dihukum mati. Keadaan tertentu itu, misalnya, saat negara dilanda bencana atau krisis, ada orang yang mengkorupsi dana bencana atau uang negara.
      Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin juga menyambut usulan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Agar tidak berhenti sebatas wacana, Azis menyarankan Kementerian Hukum dan HAM mempertegas dan mengusulkan pasal-pasal hukuman mati dalam rancangan undang-undang. "Jangan hanya digelindingkan, harus ada langkah konkretnya," ujar Aziz kemarin.
       Namun sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, berpendapat beda. "Hukuman mati harus ditolak," kata dia. Alasannya, tak ada manusia yang berhak mencabut nyawa manusia lainnya. Selain itu, dalam sistem pengadilan yang masih korup, orang yang tak bersalah bisa saja dihukum mati.
       Thamrin mengusulkan agar koruptor dihukum dengan cara-cara yang bisa membuat malu dan jera. Misalnya, dibuat penjara khusus koruptor yang bisa dilihat orang ramai. Selain itu, pengadilan kasus korupsi perlu menerapkan sistem pembuktian terbalik. Para tersangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa mereka bersih dari tuduhan korupsi. "Saya kira itu akan lebih mempunyai efek jera yang berkelanjutan," kata Thamrin.
      Sebelumnya, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi juga menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip hak asasi. Hak seseorang untuk hidup, menurut dia, tak dapat dilanggar dan ditunda pemenuhannya. 


Mungkinkah Hukuman Mati Koruptor?

Dr Hibnu Nugroho SH MH
       MUNGKINKAH hukuman mati dijatuhkan dalam vonis pengadilan Tipikor di Indonesia bagi koruptor? Pertanyaan ini muncul dan gencar diwacanakan berkait dengan ‘kegeraman’ publik atas tertangkapnya Ketua MK beberapa waktu lalu.
        Pembahasan mengenai vonis mati sebenarnya sudah sejak lama ada, vonis mati dan pemiskinan bagi koruptor pernah gencar diwacanakan. Menjadi pertanyaan yang cukup menimbulkan perdebatan apakah vonis mati tidak melanggar HAM? sementara dibeberapa negara lain eksistensi vonis pidana mati justru mulai dihapuskan. Namun kemudian muncul pertanyaan selanjutnya “Apakah pelaku tindak pidana korupsi justru lebih dan amat sangat lebih melanggar HAM bagi kehidupan seluruh bangsa Indonesia hari ini dan bagi generasi yang akan datang?”
        Pasal 2 ayat (2) UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor memberikan kemungkinan vonis mati hanya apabila korupsi dilakukan dalam ‘keadaan tertentu’. Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan tentang maksud ‘keadaan tertentu’ yaitu suatu keadaan yang yang dapat menjadi alasan pemberatan pidana bagi si pelaku, yaitu bila perbuatan korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi peanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial, krismon dan pengulangan tipikor.
        Dari ketentuan tersebut dapat digaris bawahi bahwa vonis mati hanya dijatuhkan bila tindak pidana yang dilakukan mengandung pemberatan berupa keadaan yang disyaratkan dalam pasal dimaksud. Sehingga dapat dikatakan UU TPK tidak memberikan ketentuan normatif mengenai vonis mati selain yang dipersyaratkan dalam Pasal 2 ayat (2).
       Tindak pidana korupsi sejak sebelum kelahiran UU No 31 tahun 1999 telah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa dan hingga saat ini setelah 14 tahun berlalu tipikor belum juga mereda apabila tidak ingin dikatakan justru semakin menjadi-jadi. Sepanjang diterapkannya UU ini belum pernah ada satu terpidana yang divonis mati, yang tertinggi adalah 20 tahun pada terpidana UTG yang salah satu alasan pemberatannya adalah karena dia seorang penegak hokum.
       Vonis merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh hakim, menjadi pertanyaan adalah beranikah hakim-hakim Tipikor menjatuhkan vonis mati bagi terdakwa yang memiliki faktor pemberat karena terdakwa adalah penegak hukum? Terlepas dari besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatannya tersebut? Hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan undang-undang disamping itu juga berwenang untuk menyimpangi ketentuan hukum tertulis yang ada. Apalagi apabila suasana kenegaraan dan rasa keadilan masyarakat menjadi tercedrai akibat tindak pidana tersebut maka hakim diberi kewenangan tersebut. Cara menyimpangi yang dilakukan oleh hakim disebut sebagai asas Contra legem.
      Asas Contra legem diberikan kepada hakim sebagai bagian dari hakim ikut membangun hukum melalui putusan yang dijatuhkan. Hakim menjadi garda terdepan memperbaharui peraturan perundangan yang dirasa telah tertinggal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Vonis yang lahir yang kemudian diikuti oleh vonis-vonis selanjutnya akan melahirkan Yurisprudensi yang akan menjadi dasar hukum.
       Penegakan hukum bagi penegak hukum yang korup harus menjadi catatan khusus. Karena akibat perbuatan tersebut rusaklah kewibawaan lembaganya. Bahkan lembaga penegak hukum menjadi sasaran pelecehan masyarakat, hal ini tentu sangat menyakitkan bagi para penegak hukum yang bersih dan juga menimbulkan rasa pesimis pencari keadilan. Saat ini penegak hukum telah mendapat prioritas dalam sistem penggajian oleh negara, sehingga perilaku korup yang timbul bukan karena kurangnya penghasilan tetapi lebih pada masalah moral yaitu kerakusan.
        Dalam kasus AM yang merupakan ketua lembaga tinggi negara hendaknya hakim tipikor bisa mempertimbangan dampak ganda dan luar biasa akibat perilaku korup ketua. Selama ini Mahkamah Konstitusi telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang sangat diperhitungkan dan relatif dinilai bersih, akibat nila setitik rusaklah kepercayaan masyarakat pada lembaga ini. Disisi lain timbul kecurigaan masal dari para mantan pencari keadilan yang telah diputus perkaranya ‘jangan-jangan’ perkara mereka telah diputus tidak berdasarkan pada fakta persidangan. Padahal kita ketahui bersama putusan MK salah satunya merupakan putusan yang berkait dengan sengketa pilkada, tentun bisa berdampak pada stabilitas suatu daerah.
        Itulah mengapa kasus AM tidak boleh dipandang sebagai dugaan tipikor dan atau pencucian uang biasa yang kemungkinan apabila dinilai dari jumlah kerugian negaranya masih ada terdakwa lain yang melebihi. Sehingga jangan hanya dinilai dari besar kecil jumlah kerugian negara yang ditimbulkan. Tetapi hendaknya faktor pelaku yang pejabat penegak hukumlah yang menjadi inti pemberatannya. Bukankah AM sendiri dalam suatu wawancara pernah mewacanakan vonis potong jari bagi palaku korupsi? Sehingga pada hakikatnya AM melakukan tindakannya dengan kesadaran penuh bahwa itu suatu yang dilarang namun dengan sadar dilanggarnya pula.
(Dr Hibnu Nugroho SH MH. Dosen Fak Hukum Unsoed Purwokerto)


Hukuman Mati bagi Koruptor, Perlukah?
Hukuman mati mungkin bisa jadi alternatif untuk mengatasi korupsi yang begitu parah di Indonesia. Ada aktivis yang berpendapat, para koruptor kelas kakap sudah sepatutnya dihukum mati. Namun, para aktivis HAM menolak hukuman mati terhadap koruptor.


       Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), mendukung hukuman mati bagi koruptor. "Saya setuju hukuman mati terhadap para koruptor. Seorang megakoruptor lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran," cetus Teten kepada hukumonline.
Di mata Teten, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
       Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis. Begitu pula, para koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancur perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut menanggung derita.
Teten berpendapat, para koruptor yang harus dihukum mati adalah para koruptor yang 'merampok' uang negara miliaran rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri, seperti karyawan yang mencuri di kantornya. "Saya sudah muak. Jadi, sebaiknya para koruptor itu dihukum mati," tegas Teten.
       Kegeraman Teten cukup beralasan. Banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah akhirnya divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko S. Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI bank Modern (Samadikun Hartono), Dana BPUI (Sudjiono Timan). Para koruptor itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum.

Bertentangan dengan HAM
      Namun, para aktivis di bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap para koruptor kakap sekalipun. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila.
      Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Demos, misalnya, mengusulkan agar hukuman mati dicabut. Alasannya, penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan internasional. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966 yang berlaku sejak 1976, antara lain menyebutkan larangan hukuman mati dan memberikan hak untuk hidup.
       Hingga 9 Desember 2002, tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi terhadap kovenan ini. Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula melakukan ratifikasi/aksesi terhadap Second Optional Protocol of  ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death Penalty.
Selain itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusian yang adil dan beradab." Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan Pasal 28A dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun.
       Menurut Asmara, ancaman hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan dendam kepada penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana lainnya. "Tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera di masyarakat," ujar mantan Sekjen Komnas HAM ini kepada hukumonline.


Tidak ada korelasi
     Asmara juga tidak setuju jika para koruptor dihukum mati. "Belum terbukti, negara yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit korupsinya. Tidak ada itu korelasinya. Korelasinya adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban," katanya.
    Bhatara Ibnu Reza, peneliti Imparsial, sependapat dengan Asmara bahwa tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Ia mencontohkan, Negeri China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati di China. Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling korupsi di dunia," katanya.
       Sejak 1999, Cina memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Pada akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.
     Pada 9 Maret 2001 nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh MA. Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum mati setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti senilai AS$200.000.
       Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina. "Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai," demikian semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu "Mr Clean". 

Sulit dilaksanakan
      Tampaknya, Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.  Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor.
       Belum lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Munarman dari YLBHI atau Munir dari Imparsial termasuk yang menolak hukuman mati. Bahkan, mengusulkan lebih baik Pemerintah mengefektifkan lembaga grasi sebagai alat untuk menolak penerapan pidana mati.
       Ada ungkapan menarik dari Ketua Mahkamah Agung (MA) terhadap mereka yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan UUD 1945. "Bagus juga teman-teman kita ini berpikir seperti itu. Tapi kalau saya tidak salah,  orang-orang yang sama beberapa waktu lalu menyatakan koruptor harus diberi hukuman mati. Tapi sekarang, mereka  mengatakan hukuman mati bertentangan dengan UUD. Tapi tidak apa-apa, orang Indonesia kan dinamis berpikir," ungkap Bagir.
Sayang, Bagir tidak menyebutkan orang-orang yang berubah pikiran. Bagir juga menyebutkan bahwa pengertian hak untuk hidup  dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena.
       Lalu, bagaimana dengan para koruptor yang telah melakukan kejahatan ekonomi. Pantaskah hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan masyarakat? Bagaimana pendapat Anda?

Pakar: koruptor musuh negara pantas dihukum mati

Jumat, 4 Nopember 2011 - 23:28
Medan (ANTARA News) - Pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Pedastaren Tarigan,SH, mengatakan para koruptor yang telah merugikan keuangan negara, sudah sepantasnya dijatuhi hukuman mati, sehingga dapat membuat efek jera.
      "Ganjaran hukuman mati itu, merupakan langkah yang dinilai paling tepat diterapkan bagi koruptor yang ada di negeri ini," katanya di Medan, Jumat.
     Sebab, menurut dia, tanpa diterapkannya hukuman mati terhadap koruptor di negeri tercinta ini, pelaku kejahatan atau "pencoleng" harta dan kekayaan negara itu akan terus berkembang semakin subur dan tidak akan pernah berhenti.
     "Jadi, perlu adanya ketegasan dalam menerapkan hukuman mati terhadap koruptor yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan perekonomian negara," kata Kepala Laboratorium Fakultas Hukum USU itu.
      Dia mengatakan, penerapan hukuman mati itu juga diatur dalam ketentuan hukum di Indonesia, namun sampai saat ini tidak pernah dilaksanakan terhadap koruptor yang nyata-nyata telah merugikan keuangan negara.
     Oleh karena itu, katanya, pemerintah juga perlu mengkaji ulang Undang-Undang yang menerapkan hukuman mati tersebut.
"Selama ini, pelaku yang terbukti korupsi itu, hanya dijatuhi hukuman lima tahun penjara.Ini dinilai terlalu ringan, dan tidak membuat efek jera terhadap mereka yang telah memperkaya diri sendiri atau dengan sengaja menyalahgunakan keuangan negara," kata staf pengajar di Fakultas Hukum USU itu.
Selanjutnya Pedastaren mengatakan, dengan penerapan hukuman mati terhadap koruptor itu, diyakini dapat membuat rasa takut atau kehilangan nyali korup, serta mereka tidak akan mengulangi lagi kejahatan tersebut.
       Penerapan hukuman mati itu, juga salah satu solusi untuk menyelamatkan keuangan negara dari koruptor yang juga sebagai musuh negara.
"Perlunya penerapan hukuman mati bagi koruptor itu, untuk terciptanya penegakan hukum tegas dan benar, sehingga minat untuk melakukan penyimpangan keuangan negara semakin berkurang," ujarnya.
      Ketika ditanya mengenai wacana hukuman minimal lima tahun penjara bagi koruptor, Pedastaren mengatakan, dirinya kurang sependapat, hal ini terlalu ringan dan tidak akan membuat efek jera terhadap koruptor itu.
      Hukuman lima tahun terhadap pelaku koruptor tersebut, jelas membuat senang bagi mereka yang melanggar hukum tersebut.
Karena, menurut Pedastaren, koruptor yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) itu, juga akan memperoleh remisi atau pengurangan hukuman. Koruptor tersebut juga tidak akan penuh menjalani hukuman di Lapas.
"Pemerintah juga perlu ketegasan mengenai penerapan hukuman terhadap koruptor itu, yakni apakah hukuman 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup atau hukuman mati," kata Pedastaren. (ANT)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mengusulkan perlunya penerapan hukuman mati untuk para koruptor agar menimbulkan efek jera.
"Kasus korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan, karena itu pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor `kelas kakap` harus dihukum mati agar menimbulkan efek jera," kata mantan Panglima TNI itu.
      Sehubungan dengan itu, lanjutnya, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini sedang dibahas DPR.
Selain itu, ke depan perlu dibentuk perwakilan (cabang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di masing-masing ibukota propinsi, sehingga penanganan masalah korupsi tidak menumpuk dan terpusat di KPK di ibukota negara.
       Djoko Santoso juga menjelaskan, Ormas Gerakan Indonesia ASA mengidentifikasi adanya tujuh faktor yang merupakan penghambat pembangunan nasional lima tahun ke depan. Salah satu di antaranya adalah masalah maraknya tindak pidana korupsi. Masalah lain adalah penyimpangan konstitusi dalam penyelenggaraan negara, produktivitas angkatan kerja, konflik pertanahan, subsidi energi, perumahan bagi rakyat miskin, dan pembayaran utang Pemerintah.

Hukuman Mati bagi Koruptor; Contohlah Latvia dan China
      Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar di Jakarta, Senin (5/4), menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan penyuapan. Hakim harus berani menerapkan hukuman itu karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
       UU No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Yang kini belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati.
      Patrialis di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, menyatakan, ”Undang-Undang Korupsi sudah mengatur soal itu dan membolehkan. Saya setuju penerapannya itu. Masa kita harus berdebat terus mengenai itu. Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani memutuskannya.”
       Perlunya sanksi yang keras pada pelaku korupsi muncul kembali karena meski sudah banyak pejabat dihukum terkait kasus korupsi, sanksi tidak membuat pejabat atau orang lain jera untuk korupsi. Korupsi, khususnya suap, bahkan kini dinilai sebagai budaya (Kompas, 5/4).
Menurut Patrialis, untuk mengikis korupsi dan penyuapan, pemerintah sebenarnya menerapkan aturan yang keras agar membuat kapok pelakunya. ”Jika sekarang masih terjadi, mungkin harus lebih keras lagi cara penerapan sanksinya,” ujarnya.
       Patrialis mengatakan, selain hukuman berat, kesejahteraan pegawai juga harus lebih baik dan memadai lagi. ”Kalau ada orang yang seperti Gayus HP Tambunan lagi, tentu harus dihajar dengan hukuman yang lebih berat dan keras lagi,” paparnya.
Latvia dan China
       Di Surabaya, Jawa Timur, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui, korupsi di negeri ini sudah parah dan merajalela. Karena itu, Indonesia perlu belajar dari Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar untuk menumpas korupsi di negaranya.
       Menurut Mahfud, sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi nasional atau UU pemotongan generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan dan semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi.
      Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati.
      ”Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China dijatuhi hukuman mati. Sekarang China menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini,” tambahnya.
Saat menjabat Menteri Kehakiman pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Mahfud pernah mengusulkan rancangan UU lustrasi dan UU pemutihan. Namun, usulan itu kandas karena Gus Dur lengser.
       Mahfud menilai korupsi di Indonesia sedemikian merajalela dan menjadi penyakit kronis, bahkan negara ini sudah rusak. ”Korupsi terjadi di mana-mana, mulai polisi, jaksa, hakim, hingga kantor sepak bola. Ironisnya, korupsi justru merajalela dan menjadi penyakit setelah kita mengamandemen UUD 1945 selama empat kali sejak tahun 1999 hingga 2002,” ujarnya.
Menurut Mahfud, sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sudah bagus. Namun, mentalitas dan moralitas masyarakat Indonesia telah rusak.
      Mahfud juga menyatakan, dia baru mendapat laporan dugaan kasus korupsi dari anggota DPR. Dugaan kasus korupsi yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan korupsi pegawai pajak Gayus Halomoan P Tambunan itu akan dibukanya.
Kejahatan pajak melebar
      Secara terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai praktik mafia hukum yang berkaitan  dengan pajak saat ini melebar dan masuk wilayah fundamental. Karena itu, Presiden meminta institusi penegak hukum bekerja untuk mengurai penyimpangan hingga tuntas.
”Saya terus terang terusik dengan kejadian ini. Meskipun yang dilaporkan kepada saya belum utuh, baru laporan sementara, tetapi saatnyalah kita tata secara sangat serius,” ujar Presiden saat membuka sidang kabinet paripurna di Jakarta, Senin.
        Presiden mengidentifikasi ada tiga jenis kejahatan di bidang pajak. Jenis kejahatan pajak pertama ialah wajib pajak yang tak memenuhi kewajibannya karena tidak membayar atau membayar tak sesuai ketentuan. Kedua, petugas pajak yang melakukan korupsi. Ketiga, dilakukan bersama oleh kedua pihak atau ”kongkalikong”.
      ”Ini yang sering saya sebut kongkalikong, ’damai’ yang jahat. Wajib pajak yang harusnya membayar 100 persen dari kewajiban pajaknya mungkin hanya membayar 60 persen. Yang 60 persen itu dikongkalikong lagi, disiasati oleh oknum di lingkungan pajak. Mungkin diambil lagi di situ, yang masuk ke negara tinggal 20-30 persen,” ujar Presiden.
Presiden menilai kasus kejahatan pajak yang sedang mengemuka saat ini tergolong kongkalikong.       ”SMS yang masuk ke saya banyak sekali, seolah-olah ini kejahatan tunggal yang dilakukan oleh petugas pajak. Ini berbeda. Ini jenis ketiga, semuanya kejahatan,” kata Presiden.
Terkait hal itu, Presiden meminta institusi penegak hukum bersama Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bekerja serius untuk menangani persoalan itu dan melaporkan perkembangannya. Dengan begitu, bisa dilakukan tindakan korektif yang efektif. Selain itu, dapat disusun pula langkah pencegahan untuk memastikan kejahatan seperti itu tak terulang.
”Ternyata pengadilan pajak bisa sarat dengan praktik mafia yang harus kita berantas,” papar Presiden lagi.

Dana ke Edmond Ilyas
         Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang di Jakarta, Senin, mengatakan, penyidik menemukan aliran dana ke Brigadir Jenderal (Pol) Edmond Ilyas, mantan Direktur II Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, dalam penyidikan kasus Gayus Tambunan. ”Uang itu berasal dari sumbangan orang lain bagi bantuan gempa bumi di Sumatera Barat. Selain itu belum ditemukan lagi adanya aliran dana,” kata Aritonang.
Saat ditanyakan apakah Edmond mengakui itu, Aritonang menyatakan, itu baru keterangan. Penyelidikan secara simultan masih berjalan.
      Aritonang belum menjelaskan tindakan bagi Direktur II Bareksrim Brigjen (Pol) Raja Erizman yang diduga terlibat kasus Gayus. Sanksi itu tergantung keputusan pimpinan. (ABK/ONG/HAR/DAY/DWA)
Sumber: Kompas, 6 April 2010

Legislator: Hukum Indonesia memungkinkan koruptor dihukum mati

Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Tjatur Sapto Edy menyatakan bahwa hukum di Indonesia memungkinkan bagi koruptor untuk bisa dihukum mati.
"Memang sudah ada undang-undang ke arah situ. Cuma tidak pernah dipakai oleh hakim," kata Tjatur saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat malam.
       Tjatur menjelaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 memiliki celah yang memungkinkan untuk dilakukannya hukuman mati bagi koruptor.
"Saya tidak tahu kenapa tidak pernah dipakai, apa mungkin hakim-hakim kurang percaya diri untuk melakukan vonis tersebut," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI itu.
Tjatur berpendapat, celah tersebut mungkin tertutupi, karena selama ini memang belum pernah ada vonis yang menjatuhkan hukuman mati terhadap para koruptor.
Sebelumnya pada Kamis (26/9) Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso menyatakan perlunya penerapan hukuman mati untuk para koruptor agar menimbulkan efek jera.
      Dia menyatakan bahwa kasus korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan, karena itu pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor `kelas kakap` harus dihukum mati agar menimbulkan efek jera.
     Sehubungan dengan usulan ini, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini sedang dibahas DPR.
Editor: Tasrief Tarmizi

 

EFEKTIFKAH ??....PENERAPAN SANKSI HUKUMAN MATI TERHADAP KORUPTOR


Maraknya genderang Perang terhadap para pelaku korupsi di negeri ini tampaknya sudah cukup kuat.Tanda perlawanan tersebut banyak bentuknya dimulai dari aksi simpatik masyarakat yang mendukung penguatan lembaga KPK, saweran membantu pembangunan gendung KPK, dan terakhir munculnya wacana untuk mengenakan sanksi bagi para koruptor  melalui penjatuhan sanksi hukuman mati. pilihan pengenanaan sanksi pengenaan hukuman mati ini merupakan salah satu wacana yang pernah diajukan oleh para penggiat masyarakat anti korupsi yang mengusulkan penjatuhan hukuman minimal yang dinilai lebih efektif untuk menurunkan praktik-praktik korupsi di tanah air, mereka menilai melalui penerapan hukuman mati bagi para koruptor saat ini dinilai relevan, karena praktik korupsi di tanah air sudah sangat akut dan sudah sangat merusak sendi-sendi  pembangunan nasional tidak hanya di segi sosial, politik dan budaya tapi memperlembat penguatan ekonomi menuju negara sejahtera.
Melihat pada besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik korupsi di berbagai institusi dan lembaga di  negeri ini. mengakibatkan para penggiat anti korupsi merasa geram terhadap segala bentuk praktik korupsi di negeri ini, dan parahnya lagi para pelaku korupsi selama ini tidak pernah dikenakan hukuman yang seberat mungkin dan cenderung para kriminal pencuri uang negara tersebut hanya dikenakan hukuman ringan dan adapula yang dibebaskan. 
Wajah buram peneggakan hukum bagi para pencuri uang negara tersebut juga tidak terlepas lemahnya komimen aparatur penegak hukum termasuk para pemegang kebijakan di negara ini untuk bersama-sama serisu melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan ironisnya hampis sebagian besar aparatur peneggak hukum yang diharapkan sebagai sapu pembersih lantai yang kotor malah ikut terlibat sebagai aktor pelaku pencuri uang negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu mengapa masyarakat mulai pesimis terhadapa keseriusana para penegak hukum dalam melakukan tugasnya memberantas perktik-praktik kourpsi.
Wujud pesimistis terhadap penegakkan hukum terhadap para koruptor yang cenderung tidak menampakkan ketegasan dalam pemberian afek jera memunculkan wacana yang terus menguat dari masyarakat pengiat anti korupsi agar negara berani untuk menerapkan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Sebagai pembanding ,awalnya pengenaan hukum mati terhadap para pelaku tindak pidana korupsi  telah dipraktikkan di negara-negara komunis seperti RRC, walau kebijakan berani negara komunis tersebut dalam mengenakan sanksi hukum mati terhadap para pelaku telah membuahkan hasil yang cukup positif ditandai dengan menurunnya jumlah angka  tindak pidana korupsi di negaranya, namun hal tersebut tidak pula serta merta  tidak menuai perotes baik dari internal negara tersebut dan juga dari penggiat HAM internasional. Masyarakat penggiat HAM menilai bahwa penerapan hukuman mati terhadap para koruptor bukanlah termasuk kondisi pengecualian untuk dapatnya hukuman mati diterapkan sebagai suatu bentuk penghukuman  namun hal ini lebih beefek pada munculnya tindak pembunhan dan penghilangan hak hidup seseorang atas tindakan yang telah dilakukannya, namun disisilan lain cukup dilematis bila koruptor tidak di kenakan hukuman mati maka apakah seseorang yang telah nyata melakukan tindak pidana koruspi cukup diancam dengan sanksi penghilangan hak-hak kemerdekaan saja. Sementara cukup besar dampak negatif yang ditimbulkan akibat pencurian uang negara yang telah mereka lakukan. Alasan-alasan tersebutlah yang cukup kuat bergulir dalam setiap perdebatan diantara dua kelompok masyarakat yaitu kelompok penggiat HAM dan Kelompok anti korupsi.
Masyarakat penggiat anti korupsi menilai bahwa pengenaan hukuman mati terhadap para koruptor merupakan penerapan hukum yang dinilai adil dan cukup relevan bila dihadapkan pada akibat yang ditimbulkannya. Kerugian yang cukup luas karrna adanya praktik pencurian uang negara yang dilakukan oleh para koruptor. Pemikiran tersebut senada dengan apa yang telah disampaikan oleh  mantan pimpinan KPK Busro Muqodasa didalam sebuah presentasi ia menguraikan  bahwa “Pada hakikatnya praktik korupsi secara tidak langsung juga merupakan pelanggaran HAM selain tindak pidana sebagi pelanggaran pokoknya karena adanya hak-hak masyarakat yang tecedrai akibat dari prilaku para koruptor seperti hilangnya hak-hak masyarakat untuk mencapai kesejahteraan" atau apa yang lebih dikenal dengan HAK atas kesejahteraan dalam UU HAM(pen).Tertutupnya jaminan dari negara terhadap masyarakat untuk mencapai pemenuhan hak atas kesejahteraan dalam kehidupannya  akibat berkurangnya porsi anggaran untuk pembangunan akibat pencurian yang telah dilakukan olah aparatur negara. Sehingga pembangunan yang langsung menyentuh peningkatan kualitas hidup masyarakat tidak dapat terpenuhi secara maksimal, sehingga banyak hak-hak masyarakat yang dilanggara akibat praktik korupsi yang telah dilakukan dan akibat praktik tersebut perlu adanya penanganan hukum yang luar biasa juga”, karena itu pulalah mengapa banyak pula pendapat bahwa tindak pidana kuorupsi juga dapat dikategorikan kedalam bentuk kejahatan luar biasa (Extra ordinary Crimes) karena adanya sifat meluas dan/atau sistimitis dari akibat hukum yang ditimbulkannya.
Pendapat yang mengusulkan penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut, akan  berbedahalnya bila kita hadapkan dengan pendapat menganai penerapan hukuman mati berdasarkan prespektif prinsip-prinsi perlindungan dan/atau penghormatan HAM sebagaimana yang tertuang dalam DUHAM 1948.  pada hakikatnya Prinsip-Prinsip HAM telah tegas menentang keras terhadap segala bentuk praktik penghukuman mati yang sampai saat ini masih diberlakukan dalam beberapa beberapa praktik hukum negara-negara anggota terutama negara-negara yang masih menganut asas penghukuman mati dalam sistim penghukuman nasional di negaranya.dan menuntutu negara-negara yang masih mengakui penerapan hukuman mati dalam hukum nasional negaranya agara dapat segara dikurangi dan pada akhirnya dihapuskan karena akibat dari penerapan hukuman mati tersebut akan menimbulkan pelanggaran baru lagi yakni hak hidup.yang dalam penafsirannya bahwa dalam keadaan apapun kehidupan seseorang tidaklah dapat diakhiri kecuali terahadap bentuk-bentuk pelanggarann ham yang berat sebagaiman yang telah diatur dalam Hak Sipol dan Konvensi Roma.

Curahan Hati Jurit: Saya Dihukum Mati Karena Miskin
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Nurkholis memiliki kenangan khusus soal Jurit, Terpidana mati kasus pembunuhan berencana di Palembang. Jurit sempat menumpahkan curahan hati kepada Nurkholis saat menjadi pengacara.
"Saya mendapat hukuman mati karena saya orang miskin," kata Nurkholis mereka ulang ucapan Jurit.
Nurkholis menangani Jurit semenjak tahun 2003 hingga 2007, sebelum dirinya menjadi anggota Komnas HAM. Curahan hati tersebut keluar dari mulut Jurit saat Nurkholis terakhir menemuinya tahun 2007.
"Itu menunjukkan bahwa mereka yang notabene kaum miskin ini merasa diperlakukan tidak adil di Indonesia," ungkapnya.
Ibrahim pun sempat bergurau dengan Nurkholis. Rekan Jurit saat membunuh Soleh itu justru berkelakar perihal dirinya yang masih menjomblo. Nurkholis terakhir bersua Ibrahim tahun 2006 di penjara Palembang. "Kayaknya saya ketemu jodoh nih di penjara," kata Nurkholis.
Kejaksaan Agung kembali menjalani eksekusi hukuman mati. Kali ini, Kejaksaan mengeksekusi mati tiga terpidana kasus pembunuhan. Tiga terpidana yang dieksekusi adalah Suryadi, Jurit dan Ibrahim.
"Ekseskusi sudah dilaksanakan terhadap tiga terpidana mati," kata Jaksa Agung Basrief Arief di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (17/5).
Eksekusi mati dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Suryadi dieksekusi di tanah kosong. Lokasi tanah kosong itu berjarak 2 km dari lokasi eksekusi Jurit dan Ibrahim. Jurit dan Ibrahim dieksekusi di Lembah Nirbaya, antara pukul 00.00 -01.00 WIB.
Usai dieksekusi, Basrief mengemukakan, ketiga jenazah dimakamkan terpisah. Jurit dan Ibrahim dimakamkan di Palembang. Sementara Suryadi dimakamkan di Cilicap.
Suryadi merupakan terpidana kasus pembunuhan terhadap satu keluarga di kawasan Pupuk Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, pada 1991.
Sementara Jurit dan Ibrahim bersama-sama melakukan pembunuhan berencana di Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pada 2003. Ketiga terpidana mati tersebut telah dijerat oleh pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan divonis mati.
Eksekusi mati terhadap Suryadi, Jurit dan Ibrahim berjalan setelah ketiganya menghuni hotel prodeo beberapa tahun. Suryadi dieksekusi mati setelah 20 tahunan menghuni penjara. Sedangkan Jurit dan Ibrahim ditembak regu tembak setelah 15 tahunan dibui.  "Nah inilah yang menjadi persoalan kita, dari awal dulu begitu," kata Basrief.
Basrief mengatakan, terpidana mati baru dieksekusi telah hak-haknya sebagai terpidana terpenuhi. "Kalau sudah terpenuhi semua maka baru eksekusi dilaksanakan," ucapnya.
Setelah menjalani masa hukuman beberapa tahun di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, tiga terpidana mati kasus pembunuhan sadis asal Sumatera Selatan dieksekusi di depan regu tembak.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia Provinsi Jawa Tengah, Suwarso mengatakan ketiga terpidana dibawa eksekutor pada Kamis malam, sekitar pukul 23.00 WIB.
"Pada pukul 23.00, kami menyerahkan ketiga terpidana mati kepada eksekutor. Kewenangan kami hanya sampai situ," kata Suwarso.
Setelah itu, sekitar pukul 00.15 WIB, ketiga terpidana mati dikabarkan sudah dieksekusi di depan regu tembak. "Sekitar pukul 02.30, ketiga jenazah dalam mobil ambulans diseberangkan dari Dermaga Sodong dan dibawa ke rumah duka," ungkapnya.
Dua jenazah yakni Jurit dan Ibrahim dibawa ke Palembang melalui Bandara Adisutjipto Yogyakarta. Sedangkan jenazah Suryadi dimakamkan di TPU Rawapasung, Sidanegara, Cilacap.
Eksekusi terpidana mati menambah panjang deret eksekusi mati oleh Kejaksaan Agung. Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi mati perkara narkotika Adam Wilson. Wilson, warga negara Malawi, dieksekusi di Kepulauan Seribu pada bulan Maret 2013. Ia dieksekusi setelah dipenjara selama 10 tahun.

4 komentar:

  1. masuk akal, menurut saya indonesia memang harus menerapkan hukuman mati untuk para koruptor. biar jera bikin orang lain susah

    BalasHapus
  2. Logika, mengatur 250jt org itu sngt sulit..diperlukan hukum yg "tegas". Ilustrasi: kita spt hidup diatas kapal, para koruptor yg " melubangi" kapal kita..cepat ato lambat "pasti"?? Tenggelam???

    BalasHapus
  3. Logika, mengatur 250jt org itu sngt sulit..diperlukan hukum yg "tegas". Ilustrasi: kita spt hidup diatas kapal, para koruptor yg " melubangi" kapal kita..cepat ato lambat "pasti"?? Tenggelam???

    BalasHapus
  4. SELAMAT ANDA MENDAPATKAN UNDANGAN RESMI DARI SUMOQQ.ORG Kunjungi skrg Live Chat nya u/Info lbh Lanjut,Dan Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma-Cuma BBM : D8ACD825

    BalasHapus