Kamis, 17 Juli 2014

Perlunya Pengawasan Ketat terhadap Mahkamah Konstitusi (MK)




        Mahkamah Konstitusi (MK) perlu pengawasan internal maupun eksternal, agar menjadi lembaga peradilan yang berwibawa sekaligus bermartabat, kata pakar hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sri Hastuti Puspitasari.
       "Pengawasan terhadap MK perlu dilakukan, karena selama ini tidak ada yang mengawasi perilaku hakim konstitusi," ujar Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII itu di Yogyakarta, Minggu.
        Menurut dia, MK tidak mempunyai mekanisme pengawasan internal secara mapan.
Jika pun ada, dinilainya, wewenang itu ada pada Majelis Kehormatan Hakim (MKH), tetapi sifatnya lebih kepada pengawasan represif, karena majelis ini baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim. "MK juga tidak mau diawasi oleh lembaga pengawas eksternal. Ketika pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), MK membatalkan fungsi pengawasan KY, termasuk pengawasan terhadap MK," katanya.
       Ia mengatakan, sejak putusan itu MK menjadi lembaga yang sangat kuat (powerfull), dan seiring dengan berpindahnya penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dari Mahkamah Agung (MA) ke MK, maka lembaga peradilan konstitusi itu menjadi semakin powerfull.
"Bayangkan, masalah sengketa ratusan pilkada di seluruh Indonesia akan ditentukan nasibnya hanya oleh sembilan hakim konstitusi, belum lagi wewenang MK lainnya yang membuat kekuasaan MK begitu besar dalam menentukan nasib bangsa ini," katanya.
      Padahal, kata dia, ketika MK sangat kuat dan tidak ada lembaga yang memeriksa dan menyeimbangkan (check and balance), maka tidak ada lembaga yang mengawasi perilaku para hakimnya, sehingga berpotensi penyalahgunaan wewenang.Menurut dia, tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap pada Rabu (2/10), maka menjadi satu bukti bahwa pimpinan lembaga yang tidak mau diawasi itu menyalahgunaan kekuasaan.
      Atas dasar itulah, ia menilai, sudah saatnya MK diawasi oleh lembaga pengawas internal maupun eksternal."Pengawas eksternal dilakukan oleh KY, karena KY merupakan lembaga yang secara konstitusional berwenang untuk itu, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945," demikian Sri Hastuti Puspitasari.

 Pakar Hukum Dukung KY Kembali Awasi MK
     Bila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang akan diterbitkan Presiden mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial (KY) mengawasi Mahkamah Konstitusi, maka langkah ini mendapat dukungan.
      "Mahkamah Agung diawasi KY. Kalau mau konsisten maka MK jugaseyogyanya diawasi KY. Karena MA dan MK sama-sama lembaga kekuasaan kehakiman, maka idealnya diawasi oleh satu lembaga saja, yaitu KY," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Akhiar Salmi ketika dimintai pendapatnya melalui pesan singkat dari Jakarta, Sabtu (12/10).
     Dia mengatakan saat kewenangan pengawasan KY dalam undang-undang saat ini tidak maksimal, karena tidak bisa memberikan skorsing atau memecat hakim. Selain itu, dia juga mempertanyakan apakah DPR akan menyetujui Perpu tersebut nantinya.
      "Apabila tidak disetujui maka Perpu tersebut akan sia-sia," kata Akhiar. Meski ia mengatakan usulan agar Perpu mengatur hukuman mati tidak diperlukan, sebab menurut dia, hukuman mati koruptor sudah diatur dalam pasal 2 Undang-undang 31 tahun 1999 jo Undang-undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
      "Dalam undang-undang tersebut koruptor yang didakwa dalam keadaan tertentu bisa dihukum mati. Dan saya setuju hukuman mati buat koruptor," katanya.
     Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merencanakan penerbitan Perpu untuk mengembalikan pengawasan KY terhadap MK dan terkait proses seleksi Hakim MK. Rencana penerbitan Perpu itu menyusul tertangkapnya Ketua MK non-aktif Akil Mochtar oleh KPK, karena diduga menerima suap perkara sengketa pilkada.

 MK Perlu Waktu Lama Bangun Citra Kembali
        Mahkamah Konstitusi (MK) perlu waktu yang cukup lama untuk kembali membangun citranya di mata masyarakat terkait dugaan suap yang melibatkan Akil Mochtar, kata sosiolog Universitas Sumatera Utara (USU), Prof DR Badaruddin.
      "Mengembalikan nama baik MK tersebut juga tidak semudah yang dibayangkan, dan tentunya harus memerlukan proses yang cukup panjang," ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) USU itu di Medan, Minggu.
     Bahkan, jelas Badaruddin, MK saat ini sepertinya tidak memiliki kekuatan akibat kasus hukum yang menjerat Akil Mochtar sebagai orang pertama di lembaga hukum penegak konstitusi itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (2/10) di rumah dinasnya di Jakarta.

      "Sejumlah elemen masyarakat, partai politik, akademisi dan institusi lainnya terus memberikan berbagai komentar miring atas kasus dugaan suap yang terjadi di MK," katanya.
Dia menyebutkan, biarkanlah kasus "permainan uang" di MK itu ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga hukum yang berwenang dalam masalah tersebut.

      Selain itu, katanya, KPK juga sebagai lembaga hukum yang bertanggung jawab dalam penanganan berbagai penyimpangan dan penyelewengan masalah keuangan yang terjadi di Tanah Air.
     "Biarkanlah KPK dapat bekerja keras dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan oleh bangsa dan negara," ucap Badaruddin.
Apalagi, katanya, kasus hukum di lingkungan MK itu dapat menjadi preseden bagi penegakan hukum dan penyelesaian masalah pemilihan kepala daerah (pilkada) di negeri ini.

      "Ini benar-benar mengejutkan bagi masyarakat dan para pejabat tidak menduga pimpinan di MK yang dipercaya sebagai penegak konstitusi ketahuan melakukan pelanggaran hukum," ujarnya.

     Ia menilai, di masa depan penyeleksian para calon hakim MK harus benar-benar selektif, transparans, jujur, dan memiliki kepribadian yang baik, serta teruji dalam melaksanakan tugas.

    "Kita tidak menginginkan lagi adanya oknum hakim MK yang berprilaku kurang terpuji, dan menjatuhkan nama baik lembaga hukum tersebut sebagai penegak konstitusi," demikian Badaruddin.

     Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (2/10) sekitar pukul 22 WIB menangkap sebanyak lima orang di dua tempat terpisah, yakni kommpleks Perumahan Widya Chandra, Jakarta Barat dan Hotel Redtop Jakarta Pusat.
Tiga diantaranya ditangkap di perumahan, antara lain Ketua MK,AM, Anggota Komisi II DPR RI dari Partai Golongan Karya, CH, dan seorang pengusaha berinisial CN.
Sedangkan di hotel, dua orang, yakni Bupati Gunung Emas, HB dan seorang lagi berinisial DH.Dalam kasus suap itu ditemukan barang bukti berupa uang Rp3 miliar.

 MK Direformasi, Bukan Dipangkas Kewenangannya

     Peneliti Lembaga Pemilih Indonesia, Karyono Wibowo, berpendapat kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menangani kasus sengketa Pilkada tidak perlu dipangkas. Namun, dibutuhkan reformasi radikal pada struktur lembaga itu untuk menghapuskan kultur politik kotor di dalamnya.
"Yang perlu dicatat, kasus Akil Mochtar (hakim tersangka penyuapan,-red) ini lebih patut dilihat secara personal dia sendiri, bukan secara lembaga. Peran MK masih sangat penting," kata Karyono setelah acara diskusi di Gedung Bawaslu, Jakarta, kemarin.
      Sebaliknya, Karyono menduga, wacana penghapusan wewenang MK terkait Pilkada ini gencar digembor-gemborkan karena memuat kepentingan politik elit tertentu. Dia juga melontarkan keraguan mengenai wacana Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang mengusulkan penanganan sengketa pilkada dilakukan di tingkat Pengadilan Negeri, untuk kapupaten dan kota dan Mahkamah Agung, untuk tingkat provinsi.
      "Perlu ditanyakan lagi usulan Mendagri ini, apa ada konteks politik di sini. Kasus Akil perlu dilihat ke personalnya," katanya.(IRIB Indonesia/Antaranews)

KY Siap Awasi Perilaku Hakim Konstitusi Lagi

Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial mendukung langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) penyelamatan Mahkamah Konstitusi khususnya pengawasan perilaku hakim konstitusi. Ketua KY Suparman Marzuki menegaskan lembaganya siap melaksanakan mandat yang diberikan di dalam Perppu tersebut apalagi sebelumnya KY sudah pernah melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim konstitusi sebelum judicial review terhadap  UU Nomor 22 tahun 2004 oleh 30 Hakim Agung.

      "Perpu itu memang kewenangan konstitusional Presiden. Kalau nanti mandat itu diberikan pada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi kita siap melakukannya,karena dulu memang pernah diberikan kewenangan itu di Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004. Tentu kita merespons rencana Presiden itu," kata Suparman di Jakarta, Selasa (8/10).

    Pria Kelahiran Liwa Lampung ini menegaskan pihaknya yakin tidak akan mengalami kesulitan untuk mengawasi hakim konstitusi. Ia menilai jumlah hakim MK yang sedikit memudahkan pihaknya melakukan pengawasan dibandingkan yang dilakukan KY selama ini yaitu mengawasi lebih dari delapan ribu tiga ratus hakim di seluruh Indonesia.

     "Saya rasa kita tidak akan mengalami kesulitan untuk pengawasan, karena jumlah yang akan diawasi itu sedikit. Berbeda dengan apa yang sudah kita lakukan selama ini pengawasan pada hakim-hakim lainnya. Lebih rumit, lebih complicated. Kalau di MK menurut saya tidak," jelasnya.

       Masih kata Suparman, selama ini banyak orang yang salah paham terhadap pengawasan terhadap dunia peradilan. Menurutnya pengawasan merupakan bagian terpenting dari penegakan hukum, terlebih lagi Indonesia masih berada dalam proses membangun menuju negara  hukum yang berdaulat. Karena itu pengawasan merupakan bagian dari sistem penegakan hukum untuk menjaga kepercayaan pada proses peradilan di MK.

     "Kadang orang salah persepsi tentang pengawasan. Pengawasan itu adalah bagian dari sistem penegakan hukum, tinggal bentuk substansi dan caranya yang berbeda-beda. Tergantung problemnya. Untuk di Indonesia ini kita dalam proses membangun, proses menuju ke negara hukum yang baik. Karena itu pengawasan itu bagian dari sistem penegakan hukum untuk menjaga trust pada sistem. Lebih sempit lagi trust pada proses peradilan di MK," tambahnya.

       Lebih lanjut dia mengatakan jika pihaknya mengawasi Hakim MK masyarakat bisa melaporkan dugaan pelanggaran kode etik kepada KY. Apalagi sebelumnya KY sudah seringkali menerima laporan dari masyarakat namun karena tidak mempunyai kewenangan, pihaknya hanya meneruskan laporan tersebut kepada MK dengan harapan bisa ditindaklanjuti. Apalagi putusan MK bersifat final dan mengikat. Terlebih lagi dampak putusan MK sangat besar dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

       "Iya tentu saja (bisa melapor ke KY). Kalau selama ini kan tidak ada mekanisme untuk melapor. Mereka mau melapor kemana, kalau mereka ada complain. Padahal putusan MK final dan mengikat, kalau putusannya cacat hukum, cacat moral, cacat prosedur, bagaimana?  Jangan salah dampak putusan MK itu besar sekali. Kalau MA putusannya bisa mempengaruhi pihak-pihak yang berperkara, tidak kehidupan politik, atmosfir di sekitarnya," tegasnya. (KY/Kus/Dinal)


Selamatkan MK, Pemerintah Perlu Keluarkan Perppu

JAKARTA, suaramerdeka.com - Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia, Alvon Kurnia Palma menyatakan pemerintah harus menyelamatkan Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu), meski itu menjadi pilihan yang penuh risiko konstitusional.
      Sikap YLBHi ini menyangkut tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di rumah dinasnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2 Oktober lalu. Hal itu merupakan keruntuhan lembaga tersebut dan sekaligus sebagai titik balik pembenahan Mahkamah Konstitusi. Menurut Alvon, YLBHI memandang perlu tidaknya Perppu itu sangat bergantung dengan pemenuhan kebutuhan pembenahan terhadap Mahkamah Konstitusi.
       "Oleh sebab itu, pilihan adanya Perppu merupakan suatu keniscayaan. Perppu pembenahan MK, setidaknya mengatur tentang pengawasan dan Rekruitmen Hakim MK," tegas Alvon.
Dijelaskan dia persoalan awal dari keruntuhan MK adalah tidak terimplementasinya asas transparan dan partisipatif dalam sistem rekruitmen Hakim sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 UU MK.
Ketentuan tersebut, kata lAlvon, adalah menjadi suatu syarat utama untuk mencari Hakim yang berjiwa Negarawan, dan kedepannya juga bukan hanya kenegarawanan saja tapi juga berprilaku layaknya seorang sufi sehingga tidak mudah tergoda oleh godaan duniawi dari para pihak yang ingin menghancurkan MK.
     "Dengan adanya penangkapan Akil Mochtar, ini menjadi momentum untuk perbaikan sistem rekruitmen hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif. Rekruitmen juga harus dilakukan oleh panitia seleksi bagi seluruh calon hakim konstitusi," papar Alvon.
Dia mengatakan, patut juga dipertimbangkan dalam proses seleksi kedepan untuk tidak memasukan unsur dari partai politik sebagai calon hakim konstitusi, meskipun sudah mengundurkan diri selama lima tahun.
        Dalam upaya berkontribusi dalam pembenahan ini, YLBHI dan Tim Penyelamat MK juga sedang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Keppres No. 87/P Tahun 2013 tentang pengangkatan jabatan hakim konstitusi Patrialis Akbar sebagai bentuk kontribusi masyarakat sipil dalam membenahi kelembagaan MK.
      Gugatan tersebut dilakukan karena presiden dinilai telah melanggar Pasal 19 UU MK yang menyatakan “Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif”, yang dalam penjelasannya menyatakan, “Berdasarkan  ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan”.
       Selanjutnya, Hakim konstitusi meski dalam pertimbangan putusan MK nomor 005/PUU-IV/2006   sebagai manusia setengah dewa, dirinya juga tetap harus diawasi, baik secara internal melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi maupun oleh pihak eksternal.
      "Pengawasan bertujuan untuk memastikan si manusia setengah dewa itu tidak melenceng dari fitrahnya," kata Alvon.
Khusus pengawasan eksternal, Alvon mengatakan Perppu harus mampu menjawab kebuntuan kelembagaan pengawasan. Sebab, putusan MK terdahulu mengkebiri kewenangan KY.
Pilihan untuk membentuk kelembagaan selain KY atau menghidupkan kembali peran KY bisa menjadi suatu jawaban dalam Perpu tersebut. Pilihan ini bisa berlandaskan pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
       Sementara, dasar hukum untuk pengawasan internal merupakan amanah dari UU Nomor 8/2011 tentang perubahan atas UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (6) bahwa Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
       Sedangkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi itu sendiri jika merujuk pada UU yang sama di Pasal 1 butir ke-4 yang fungsinya untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar